Efektivitas Gebrakan Menkeu Purbaya Mendongkrak Pertumbuhan Ekonomi

Efektivitas Gebrakan Menkeu Purbaya Mendongkrak Pertumbuhan Ekonomi

Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa. Foto: AFP

Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf*

Gebrakan pertama Menteri Keuangan (Menkeu) baru, Purbaya Yudhi Sadewa membawa harapan baru bagi perekonomian nasional yang sedang menghadapi tekanan, baik secara domestik maupun global.

Kebijakan Menkeu Purbaya yang mendapat respons publik paling besar adalah penempatan dana Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp200 triliun di bank-bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebelumnya, dana SAL tersimpan pada rekening pemerintah di Bank Indonesia (BI).

Pemindahan dana SAL dari BI ke bank umum dimaksudkan untuk menambah likuiditas bank. Likuiditas berlebih di bank BUMN akan mendorong bank BUMN menyalurkan kredit dalam rangka menggerakkan sektor riil.

Menkeu Purbaya secara eksplisit menyebutkan bahwa kebijakan menambah likuiditas ke sistem perekonomian didasarkan pada pandangan Milton Friedman, peraih hadiah Nobel Ekonomi tahun 1976.

Gagasan utama Friedman yang terkenal dengan Friedman Quantity Theory of Money menekankan pada pentingnya mengelola jumlah uang beredar (JUB) untuk menggerakkan sektor riil (sektor produksi).

Ekonom Friedman yang menjadi rujukan Menkeu Purbaya termasuk dalam kelompok monetaris. Formula utama dari kelompok monetaris adalah keseimbangan antara JUB dan kecepatan perpindahan uang dengan harga dan output.

Baca juga: Relevansi Membangkitkan Kembali Ekonomi Rakyat/Bumiputera

Dalam hal ini, penempatan dana SAL ke bank BMUN menambah likuiditas bank sehingga memberikan insentif bagi bank BUMN untuk menyalurkan kredit dan berdampak pada peningkatan JUB. Dalam jangka pendek, peningkatan JUB secara langsung ditransmisikan ke sektor riil dalam bentuk peningkatan output atau pertumbuhan ekonomi.

Gebrakan Menkeu Purbaya adalah quick win yang hasilnya segera dapat dirasakan dalam menggerakkan sektor riil, paling tidak dalam 3 – 6 bulan ke depan. Hal ini sejalan dengan pandangan kelompok monetaris bahwa dalam jangka pendek, perubahan JUB akan langsung berdampak pada peningkatan output karena velocity of money (kecepatan perpindahan uang) dan harga bersifat kaku atau tidak sensitif terhadap perubahan JUB.

Sebagai Menkeu baru, dalam jangka pendek, Purbaya harus mencari cara untuk segera menggerakkan sektor riil. Faktanya, terdapat dana SAL yang menganggur karena tidak dapat disalurkan dalam bentuk kredit ke sektor riil.

Gebrakan Purbaya yang didasarkan pada pikiran Friedman, kelompok monetaris tidak akan efektif dalam jangka panjang. Kelompok monetaris menganut prinsip neutrality of money, yaitu penambahan likuiditas ke dalam perekonomian tidak akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi malah menyebabkan kenaikan harga (inflasi) dalam jangka panjang.

Merujuk pada great depression tahun 1930-an, kelompok monetaris, Friedman menyalahkan kebijakan The Fed sebagai pemicu krisis besar, yaitu pada saat The Fed memperketat pasokan uang, dalam istilah Menkeu Purbaya, mematikan mesin pertumbuhan dengan menurunkan likuiditas. Seharusnya, The Fed meningkatkan likuiditas untuk merangsang pertumbuhan ekonomi.

Kelompok monetaris, Friedman meyakini bahwa kebijakan moneter ekspansif atau kontraktif sebagai instrumen paling efektif untuk mempengaruhi perekonomian dibandingkan kebijakan fiskal, dalam hal ini mengutak atik pajak dan belanja negara.

Baca juga: Pelajaran dari Maaf Pejabat

Baca juga: Mengurai Jerat Kemiskinan dan Kerentanan Pangan

Friedman memperkenalkan K-Percent Rule dalam mempengaruhi sektor riil. Dimana, bank sentral seharusnya menjaga pertumbuhan JUB sebesar k-persen sehingga terdapat lebih banyak uang dalam perekonomian (likuiditas meningkat).

Peningkatan likuiditas perekonomian menurunkan suku bunga. Hal ini akan mendorong pertumbuhan kredit perbankan yang pada akhirnya meningkatkan permintaan barang dan jasa. Selanjutnya, meningkatkan kesempatan kerja di sektor riil.

Sejalan dengan K-Percent Rule dari Friedman, dalam konteks perekonomian Indonesia, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 6 – 8 persen dengan menjaga inflasi sebesar 2,5 persen, maka pertumbuhan JUB paling tidak terjaga sekitar 8,5 – 10,5 persen secara tahunan (year on year) dari saat ini hanya sekitar 7,0 persen.

Tantangan terbesar yang dihadapi oleh Menkeu Purbaya dengan pendekatan monetaris Friedman adalah fakta bahwa hubungan antara inflasi dengan JUB bersifat tidak langsung yang menyebabkan kegagalan pendekatan Friedman mengendalikan inflasi tahun 1980-an.

Selain itu, terdapat fakta bahwa permintaan uang sangat fluktuatif bahkan dalam triwulanan. Juga terdapat time lag (jeda waktu) yang panjang hingga perubahan JUB mempengaruhi sektor riil. Fakta-fakta ini membuat monetarisme kehilangan kredibilitas.

Fenomena ini juga dapat terjadi berkaitan dengan gebrakan Menkeu Purbaya memindahkan dana SAL Rp200 trilIun dari BI ke bank BUMN. Dimana, bank BUMN membutuhkan jeda waktu (time lag) untuk menyalurkan kelebihan likuiditas menjadi kredit ke sektor riil.

Baca juga: Marak Siswa Keracunan, MBG Perlu Redesain Berbasis Komunitas

Faktanya, saat ini, bank-bank besar tidak bermasalah dari sisi likuiditas, tercermin pada loan to deposit ratio (LDR) yang masih sekitar 85 persen dari ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentang LDR dapat mencapai maksimum 95 persen. Selain itu, terdapat undisbursed loan (kredit tidak dicairkan) sebesar Rp. 2.372, 11 trilyun di perbankan nasional.

Solusinya, penggunaan kelebihan likuiditas dalam bentuk kredit di bank-bank BUMN yang mendapatkan penempatan dana SAL pemerintah tidak akan efektif jika menggunakan mekanisme pasar. Penyaluran kredit bank BUMN harus dilakukan dengan pengawasan ketat dan terfokus pada sektor tertentu yang menjadi prioritas pemerintah.

Akhirnya, sebagai quick win, penempatan dana SAL Rp200 triliun tidak akan maksimal mendorong pertumbuhan jika suku bunga minimumnya 4,0 persen sesuai permintaan pemerintah. Jika ditambah dengan net profit margin dan biaya operasional bank sebesar 3,0 persen maka suku bunga pinjaman menjadi 7,0 persen yang masuk kategori tinggi.

Ada baiknya, Menkeu Purbaya juga mendengar peringatan ekonom yang lahir di Swedia, Gunnar Myrdal, peraih hadiah nobel ekonomi tahun 1974, dua tahun lebih cepat dari Milton Friedman yang menyatakan bahwa permasalahan ekonomi sangat kompleks dan saling terkait dengan aspek sosial dan institusional. Aspek institusional mencakup sistem hukum, politik, dan budaya yang ekslusif serta ekstraktif. Termasuk transaction cost yang sangat tinggi.

*) Dosen Fakultas Ekonomi dan Binis (FEB) Universitas Hasanuddin, Ketua KPPU RI 2015-2018

10 kali dilihat, 10 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *