Oleh: Suroto*
Demokrasi Indonesia tengah berada di persimpangan penting. Perjalanan panjang reformasi politik dan tata kelola negara memberi bangsa ini banyak pelajaran tentang bagaimana kekuasaan seharusnya dijalankan.
Salah satu pelajaran terpenting adalah bahwa demokrasi tidak berhenti pada proses pemilu, melainkan bagaimana keputusan-keputusan besar negara diambil dengan melibatkan rakyat secara bermakna.
Dalam konteks itulah muncul gagasan perlunya perubahan mendasar dalam mekanisme penganggaran negara, yaitu menggeser praktik lama yang cenderung elitis menuju model penganggaran partisipatif yang lebih terbuka, inklusif, dan berpihak pada kepentingan publik.
Selama ini, hak budget yang melekat pada DPR menjadi salah satu aspek penting dalam desain sistem politik negeri ini.
Secara teoritis, kewenangan ini dimaksudkan untuk memastikan adanya keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif, sehingga tidak ada satu pihak pun yang memonopoli keputusan terkait anggaran negara.
Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa hak budget seringkali menempatkan DPR pada posisi ganda yakni sebagai pengawas kebijakan sekaligus sebagai penentu alokasi anggaran.
Baca juga: Pelajaran Demokrasi dari ‘Tuntutan 17+8’
Baca juga: Mengenang Arif Budimanta
Peran ganda ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan melemahkan fungsi pengawasan yang seharusnya dijalankan secara independen.
Dalam banyak kasus, proses penyusunan anggaran negara menjadi arena kompromi politik yang kurang transparan dan kerap jauh dari kebutuhan masyarakat luas.
Karena itu, gagasan untuk mereformasi peran DPR dalam penganggaran negara layak dipertimbangkan sebagai bagian dari upaya memperkuat demokrasi.
Menghapus hak budget DPR bukanlah bentuk pelemahan lembaga legislatif, melainkan langkah untuk mengembalikan fokus DPR pada peran strategisnya sebagai penyambung aspirasi rakyat dan pengawas kebijakan publik.
Dengan tidak lagi terlibat langsung dalam pembagian anggaran, DPR dapat menjalankan fungsi check and balance secara lebih optimal dan bebas dari potensi konflik kepentingan.
Perubahan ini bukan soal mengurangi kekuasaan parlemen, melainkan soal memperkuat integritas dan efektivitasnya.
Reformasi Hak Budget
Namun, penghapusan hak budget DPR hanyalah satu sisi dari reformasi. Di sisi lain, bangsa ini memerlukan paradigma baru dalam penyusunan anggaran yang lebih demokratis dan partisipatif. Di sinilah pentingnya mendorong penerapan participatory budgeting atau penganggaran partisipatif.
Dalam mekanisme ini, pemerintah sebagai eksekutif membangun dialog langsung dengan masyarakat untuk merumuskan prioritas anggaran sesuai kebutuhan nyata di lapangan.
Rakyat tidak lagi menjadi objek kebijakan semata, melainkan subjek yang ikut menentukan arah pembangunan. Bayangkan jika pemerintah hendak mengatasi persoalan kampung kumuh, proses perencanaannya dilakukan melalui musyawarah bersama warga setempat.
Jika pemerintah ingin membangun fasilitas kesehatan di daerah terpencil, maka masyarakat di wilayah tersebut dilibatkan sejak awal untuk memastikan kebijakan benar-benar relevan dengan kebutuhan mereka.
Dengan cara ini, alokasi anggaran tidak hanya lebih tepat sasaran, tetapi juga meningkatkan rasa memiliki masyarakat terhadap hasil pembangunan. Transparansi dan akuntabilitas proses pun semakin kuat karena publik terlibat langsung dalam pengambilan keputusan.
Baca juga: Biaya Peluang Aksi Massa
Konsep penganggaran partisipatif bukan sekadar wacana, melainkan praktik yang telah terbukti berhasil di berbagai negara. Kota Porto Alegre di Brasil, misalnya, menjadi pelopor mekanisme ini sejak 1989 dan berhasil menunjukkan dampak nyata.
Melalui forum musyawarah publik, masyarakat setempat menentukan prioritas anggaran kota mereka. Hasilnya, pelayanan publik meningkat, ketimpangan sosial menurun, dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah melonjak signifikan.
Keberhasilan ini memberi inspirasi bahwa Indonesia pun dapat mengadopsi pendekatan serupa dengan menyesuaikan pada kondisi sosial, ekonomi, dan budaya kita sendiri.
Dalam model ini, DPR tetap memiliki peran yang sangat penting. Fungsi pengawasan parlemen justru menjadi lebih strategis karena dijalankan berdasarkan aspirasi dan kebutuhan nyata masyarakat, bukan sekadar berdasarkan hasil kompromi politik.
DPR memastikan proses dialog publik berjalan transparan, mendorong akuntabilitas pemerintah, dan memastikan setiap rupiah anggaran negara benar-benar digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat.
Dengan demikian, relasi antara DPR, pemerintah, dan masyarakat akan lebih sehat karena dibangun di atas prinsip keterbukaan dan kepercayaan.
Penganggaran Partisipatif
Implementasi penganggaran partisipatif juga membuka peluang besar untuk memperkuat kualitas demokrasi di negeri ini.
Selama ini, banyak warga merasa kebijakan anggaran terlalu jauh dari realitas kehidupan mereka karena keputusan dibuat di ruang-ruang tertutup.
Padahal, demokrasi seharusnya memberikan ruang sebesar-besarnya bagi partisipasi publik. Melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses perencanaan anggaran adalah cara efektif untuk membangun kesadaran bersama, memperkuat solidaritas sosial, dan menumbuhkan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga negara.
Demokrasi menjadi lebih hidup ketika rakyat benar-benar dilibatkan dalam menentukan arah pembangunan. Tentu, perubahan ini memerlukan komitmen kuat dari semua pihak. Pemerintah perlu menyiapkan infrastruktur partisipasi yang efektif, mulai dari forum musyawarah publik, kanal digital interaktif, hingga sistem informasi anggaran yang terbuka dan mudah diakses.
DPR perlu menegaskan perannya sebagai pengawas independen yang mengutamakan kepentingan rakyat di atas segalanya. Sementara itu, masyarakat sipil, akademisi, dan media massa memiliki peran penting dalam memastikan transparansi, memfasilitasi diskusi publik, dan mengawal proses agar tetap berjalan sesuai prinsip-prinsip akuntabilitas.
Baca juga: Menjaga Profesionalisasi DPR
Reformasi ini adalah bagian dari upaya membangun tata kelola pemerintahan yang lebih inklusif dan responsif. Bangsa ini sedang berbicara tentang demokrasi yang tidak hanya prosedural, tetapi juga substantif, demokrasi yang bukan sekadar soal pemilu, melainkan soal keterlibatan rakyat dalam setiap tahap pengambilan keputusan.
Menghapus hak budget DPR dan menggantinya dengan sistem penganggaran partisipatif adalah langkah nyata untuk memastikan kebijakan negara benar-benar mencerminkan kebutuhan dan aspirasi publik.
Saatnya semua memandang demokrasi sebagai ruang kolaborasi, bukan sekadar kontestasi kekuasaan. Dengan mengembalikan kedaulatan anggaran kepada rakyat, menegaskan kembali esensi konstitusi, kekuasaan berasal dari rakyat dan harus digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.
Perubahan ini adalah momentum untuk membangun sistem politik yang lebih transparan, akuntabel, dan berkeadilan.
Dengan keberanian bersama, Indonesia dapat melangkah menuju masa depan demokrasi yang lebih matang, di mana pembangunan dijalankan bukan atas dasar transaksi elite, melainkan atas dasar suara rakyat.
*) Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR), Direktur Cooperative Research Center (CRC) Institut Teknologi Keling Kumang