Kesepakatan Dagang AS-China: Implikasi Global dan Peluang RI

Presiden China Xi Jinping. Foto: Bloomberg

Oleh: Syafruddin Karimi*

Kesepakatan dagang antara Amerika Serikat dan China yang diumumkan pada 12 Mei 2025 menandai titik balik penting dalam dinamika ekonomi global. Kedua negara sepakat untuk menurunkan tarif secara timbal balik dalam jangka waktu 90 hari, membuka jalan bagi deeskalasi konflik dagang yang selama ini menciptakan ketidakpastian luas di pasar keuangan, memperlemah rantai pasok, dan mendorong lonjakan harga global (Farge & Revill, 2025). Keputusan ini tidak hanya berdampak pada hubungan bilateral AS-Tiongkok, tetapi juga menciptakan efek berantai ke berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Momentum Baru dalam Perdagangan Global

Perjanjian yang dihasilkan dalam pertemuan di Jenewa mencerminkan “kemajuan substansial” dalam meredakan perang dagang antara dua ekonomi terbesar dunia. USTR Jamieson Greer menyebut pertemuan ini sebagai “kesepakatan yang kami capai dengan mitra China” yang bertujuan mengurangi defisit perdagangan AS sebesar USD 1,2 triliun (Farge & Revill, 2025). Sementara Wakil Perdana Menteri Tiongkok He Lifeng menegaskan bahwa kedua pihak mencapai “konsensus penting” dan akan meluncurkan forum konsultasi ekonomi baru.

Dengan latar belakang tarif AS yang sebelumnya melonjak hingga 145% untuk produk China dan pembalasan China dengan tarif 125%, kesepakatan ini secara langsung menstabilkan ekspektasi pasar. Bursa Eropa merespons positif, dengan indeks STOXX 600 naik 1,1% dan DAX Jerman mencetak rekor tertinggi baru (Gupta, 2025). Sentimen ini menunjukkan bahwa pelaku pasar menyambut peluang berakhirnya era proteksionisme agresif yang telah mencederai kepercayaan global.

Peluang dan Tantangan untuk Indonesia

Indonesia perlu memanfaatkan peluang dari penurunan ketegangan dagang ini untuk memperluas pasar ekspor dan memperkuat posisi tawar dalam rantai pasok global. Dengan berkurangnya tekanan harga dari gangguan pasokan dan melonjaknya biaya produksi akibat tarif, dunia usaha Indonesia berpotensi mendapatkan akses yang lebih kompetitif ke pasar global.

Dalam sektor manufaktur, peluang untuk meningkatkan ekspor ke China dan AS bisa terbuka jika kedua negara mulai mencari mitra dagang baru untuk menggantikan produk yang sebelumnya terkena tarif tinggi.

Di sisi lain, Indonesia harus waspada terhadap kemungkinan pembelokan arus perdagangan (trade diversion). Dengan normalisasi hubungan dagang AS-China, beberapa peluang ekspor yang selama ini mengalir ke Indonesia akibat disrupsi tarif bisa kembali direbut oleh China. Oleh karena itu, strategi negosiasi bilateral dan peningkatan daya saing domestik menjadi sangat penting untuk menjaga momentum perdagangan nasional.

Sinyal Negosiasi Tarif yang Lebih Luas

Kesepakatan ini memberi sinyal bahwa pendekatan diplomatik masih memiliki ruang dalam menghadapi tekanan ekonomi global. Sebelumnya, China enggan memulai pembicaraan, menyebut kebijakan tarif Trump sebagai bentuk “pemaksaan sepihak” (Slodkowski & Chen, 2025). Namun, kekhawatiran atas dampak ekonomi dalam negeri—termasuk potensi kehilangan hingga 16 juta pekerjaan akibat terhentinya perdagangan dengan AS—memaksa Beijing untuk lebih fleksibel.

Trump juga menunjukkan tanda-tanda pelunakan. Ia menyebut tarif 80% sebagai “angka yang masuk akal”, jauh di bawah 145% yang sudah diberlakukan (Farge & Revill, 2025). Ini menunjukkan bahwa tekanan politik dan volatilitas pasar dapat mendorong kompromi bahkan dalam strategi yang sebelumnya sangat konfrontatif.

Fakta bahwa Trump dan Presiden China Xi Jinping belum bertemu langsung, tetapi masing-masing pihak mengirim negosiator tingkat tinggi, mengindikasikan kehati-hatian diplomatik dan komitmen untuk menjaga stabilitas sistem perdagangan internasional (Slodkowski & Chen, 2025). Strategi ini menciptakan ruang untuk perundingan lebih lanjut, termasuk dengan negara-negara seperti Indonesia yang terdampak secara tidak langsung.

Dinamika Ekonomi Domestik di AS dan China

Kesepakatan tarif juga mencerminkan tekanan domestik yang besar, terutama di AS. Federal Reserve mengakui bahwa tarif meningkatkan risiko inflasi dan pengangguran, sehingga sulit menentukan arah kebijakan suku bunga (Schneider & Saphir, 2025). Chair Jerome Powell menegaskan bahwa bank sentral tidak dapat merespons secara pasti hingga dampak tarif benar-benar terlihat dalam data ekonomi.

Di China, tekanan ekonomi juga meningkat. Pemerintah mengumumkan pemotongan rasio cadangan wajib perbankan (RRR) sebesar 50 basis poin untuk menyuntikkan likuiditas sebesar 1 triliun yuan, sebagai respons terhadap dampak tarif (Yao & Cash, 2025). Langkah ini menunjukkan bahwa Beijing serius dalam menstimulasi pertumbuhan domestik demi mengimbangi perlambatan ekspor.

Reposisi Strategis China di Asia dan Eropa

Sebagai bagian dari strategi mengurangi ketergantungan terhadap pasar AS, China memperkuat hubungan dagang dengan ASEAN dan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC). Perdana Menteri Li Qiang dijadwalkan mengunjungi Malaysia akhir Mei untuk menghadiri KTT ASEAN-GCC-China. Pertemuan ini bertujuan membentuk aliansi ekonomi yang dapat melawan tekanan tarif dari Washington (Slodkowski & Chen, 2025).

Sementara itu, hubungan dengan Uni Eropa juga menjadi sasaran pendekatan China. Presiden Xi Jinping menyerukan kerja sama Eropa-China dalam melawan “tindakan sepihak dan intimidatif” (Chen, 2025). Upaya membujuk Uni Eropa agar tidak mengikuti jejak tarif AS mencerminkan betapa pentingnya pasar Eropa bagi ekspor China.

Kepentingan Indonesia: Netralitas Aktif dan Kesiapan Struktural

Indonesia harus mempertahankan posisi “bebas aktif” dalam menghadapi konflik dagang global. Ketimbang terjebak dalam kutub AS atau China, Indonesia perlu fokus memperkuat diversifikasi pasar ekspor, meningkatkan efisiensi logistik, dan memperbaiki iklim investasi. Kebijakan tarif yang fluktuatif menciptakan ketidakpastian yang hanya dapat ditangkal dengan fundamental ekonomi yang kuat.

Dengan partisipasi aktif dalam forum regional seperti ASEAN, Indonesia dapat memperkuat bargaining power-nya dalam menyusun perjanjian dagang yang adil. Dukungan terhadap multilateralisme dan penegakan peraturan perdagangan berbasis WTO juga menjadi penting agar negara berkembang tidak menjadi korban perseteruan negara besar.

Kesimpulan: Kesepakatan Ini Momentum, Bukan Akhir

Kesepakatan dagang AS-China yang mengurangi tarif dalam 90 hari membuka peluang stabilisasi bagi ekonomi global. Indonesia harus memanfaatkan celah ini untuk mendorong ekspor, memperkuat daya saing, dan memposisikan diri sebagai mitra strategis yang adaptif. Kesepakatan ini bukanlah tujuan akhir, melainkan pintu masuk untuk negosiasi lebih luas dan reformasi struktural yang lebih dalam.

Langkah konkret dan visi strategis menjadi kunci agar Indonesia tidak hanya menjadi penonton dalam dinamika global, tetapi berperan aktif membentuk arah baru perdagangan internasional.

*) Guru Besar Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas

9 kali dilihat, 9 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *