Membatasi Politik Kepolisian

ILUSTRASI polisi. Foto via casispolri.id

Wacana yang dilontarkan politisi PDIP terkait peran politik kepolisian dalam pesta demokrasi, Pemilu, Pilpres, Pileg maupun Pilkada menarik untuk didiskusikan.

Oleh Bambang Rukminto 

PENEMPATAN kepolisian tidak langsung di bawah presiden seperti saat ini pasti akan memunculkan resistensi dari Polri yang sangat besar. Meskipun di negara-negara maju penempatan kepolisian di bawah kementerian itu adalah wacana positif yang akan mendorong sebagai lembaga makin profesional.

Polri adalah lembaga operasional, pelaksana yang harusnya memang dipisahkan dengan lembaga penyusun anggaran maupun peraturan. Persoalan kementerian mana yang akan membawahi kepolisian itu memang masih perlu didiskusikan.

Ada beberapa opsi, masuk kementerian dalam negeri, kementerian hukum, atau di bawah kementerian keamanan sendiri.

Sebaliknya, menempatkan kepolisian di bawah Panglima TNI, itu kemunduran dari semangat reformasi. Polisi bukan militer, dia harus tunduk pada aturan hukum sipil.

Bahkan kalau belajar dari sejarah, Kapolri pertama Jenderal Raden Said Soekanto, mundur dari jabatan Polri ketika Polri dimasukkan dalam ABRI pada tahun 1959. RS Soekanto sangat menyadari potensi besar kepolisian untuk dijadikan alat politik kekuasaan saat itu.

Di era reformasi pasca-dicabutnya Dwi Fungsi ABRI dan pemisahan TNI-Polri, diharapkan Polri semakin profesional dengan tidak terlibat politik seperti ABRI di masa orde baru.

Ironinya saat ini kepolisian dirasakan semakin besar dalam berperan dalam politik.

Wacana penempatan Polri di bawah kementerian adalah upaya membatasi kepolisian secara langsung dari upaya politisasi kekuasaan.

Tak bisa dipungkiri peran politik Polri saat ini terjadi karena ada perselingkuhan politisi dengan Polri. Upaya menarik-narik polisi dalam politik praktis kekuasaan, adalah dampak dari lemahnya negara membuat sistem kontrol dan lemahnya pengawasan legislatif pada kepolisian sehingga bisa ditarik-tarik dalam politik kekuasaan rezim yang berkuasa.

Ada hegemoni rezim untuk membuat Polri secara tidak langsung harus tunduk pada kekuasaan yang ada di tangannya. Penempatan personel aktif dalam lembaga-lembaga pemerintahan di luar struktur Polri adalah salah satu alat hegemoni kekuasaan pada institusi Polri.

Siapapun dan apapun partai politik pemegang kekuasaan memiliki kecenderungan untuk memanfaatkan kepolisian sebagai alat politik. Dengan kewenangan sebagai penegak hukum, kepolisian menjadi alat yang sangat efektif untuk menekan musuh politik.

Dengan struktur organisasi menyebar di seluruh pelosok penjuru negeri dan jumlah anggota 450.000 personel, belum termasuk keluarga, tentu memiliki potensi mempengaruhi suara yang cukup signifikan.

Penggunaan “mesin kepolisian” sebagai alat politik bukan terjadi di Pemilu 2024, tetapi sejak di awal Pemilihan Presiden secara langsung tahun 2004, dan berulang di setiap Pemilu. Hanya saja semakin signifikan di tahun 2019 dengan dibentuknya Satgas Merah Putih yang ternyata sangat efektif. Dan kemudian dilanjutkan lebih terstruktur dan massif lagi di tahun 2024.

Karena itulah perlu upaya untuk membatasi hubungan politik kekuasaan dengan Polri. Membaca pernyataan yang dilontarkan politisi PDIP Deddy Sitorus untuk menempatkan kepolisian di bawah Kementerian dalam negeri atau di bawah TNI, tentunya harus dicermati.

Memang tak bisa dipungkiri, kepolisian sebagai institusi pelaksana masuk dalam kementerian juga pernah diusulkan oleh mantan Gubernur Lemhanas Letjen (Purn) Agus Widjojo, 2 tahun lalu.

Untuk membangun kepolisian yang profesional ke depan dan yang juga sudah diterapkan di banyak negara-negara maju, lembaga kepolisian ditempatkan di bawah kementerian. Meski kapolri dipilih dan diangkat oleh presiden, struktur kepolisian berada di bawah kementerian.

Peran kepolisian yang sangat strategis di bidang keamanan memerlukan lembaga strategis untuk menentukan arah kebijakan, termasuk perumusan anggaran keamanan minimal setingkat dengan kapolri. Tidak seperti saat ini, kepolisian sebagai pelaksana teknis juga menjadi perumus strategi kebijakan maupun merumuskan anggaran.

Soal kementerian mana yang layak untuk membawahi kepolisian, itu memang harus dikaji lebih matang. Tetapi bukan menempatkan kepolisian di bawah panglima TNI. Penempatan Polri di bawah TNI, selain mengingkari amanat reformasi, melanggar TAP VI/MPR/2000, sekaligus mengingkari kultur dan paradigma Polri sebagai institusi sipil.

Pembatasan kewenangan kepolisian memang menjadi keharusan agar Polri tak menjadi alat politik.

Jalan selain memasukkan dalam kementerian adalah sesuai TAP VII/ MPR/2000 pasal 8 tentang lembaga kepolisian nasional adalah memperkuat peran lembaga kepolisian nasional yakni Komisi Kepolisian Nasional dengan menerbitkan UU Lembaga Kepolisian Nasional tersendiri, bukan masuk dalam UU Kepolisian Negara RU seperti saat ini yang membuat lembaga kepolisian menjadi seolah sub kordinasi Polri. Sehingga ada kontrol dan pengawasan lebih kuat pada kepolisian.

Di sisi lain terkait pernyataan tersebut jangan sekedar bentuk reaksi sesaat merespons kekalahan dalam Pemilu. Ada yang lebih urgen untuk dilakukan parlemen untuk mengoreksi kepolisian yakni pelanggaran TAP VII/MPR/2000 pasal 10, tentang Keikutsertaan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Negara, terutama ayat (1) dan ayat (3).

Ayat (1) Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.

(3) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

TAP MPR tersebut dikuatkan pasal 28 UU 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mengatur tentang larangan menduduki jabatan di luar struktur Polri.

Pelanggaran amanat UU oleh pemerintah dan pembiaran oleh parlemen itulah yang sebenarnya menjadi akar masalah netralitas Polri dalam Pemilu.

Ada begitu banyak anggota Polri aktif yang menempati jabatan birokrasi di luar struktut Polri yang jelas-jelas bertentangan dengan pasal UU maupun TAP MPR dibiarkan oleh DPR.

Tak bisa dipungkiri, potensi peran politik kepolisian memang sangat besar dalam dinamika politik dan itulah yang harus dicermati bila menginginkan iklim demokrasi di negeri ini lebih baik, yang juga berarti membangun Polri semakin lebih baik.

Substansi dari pemisahan TNI-Polri maupun penghapusan Dwi Fungsi ABRI sebagai wujud amanat reformasi 1998 adalah pembatasan politik TNI-Polri. Bukan sekadar meletakkan Polri di bawah kementerian atau TNI.

Lebih penting dari itu semua adalah konsistensi pada penegakan pada pelanggaran UU yang nyata-nyata sudah ada yang selama ini juga diabaikan DPR sendiri.

Bila pelanggaran pelaksanaan pasal 28 (3) UU 2 tahun 2002 dan pasal 10 (3) TAP VII/MPR/2000 niscaya kepolisian sebagai alat politik kekuasaan selamanya akan terjadi. (*)

Penulis adalah Pengamat dan Peneliti Isu Kepolisian Institute for Security and Strategic Studies. 

28 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Fariz Fadillah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *