apakabar.co.id, JAKARTA – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa Indonesia tidak perlu terburu-buru dalam melakukan transisi energi dan menegaskan keengganannya untuk terjebak dalam skema Perjanjian Paris.
Ia juga menyoroti lambatnya pencairan dana dari Just Energy Transition Partnership (JETP) sebagai alasan untuk tidak mendorong pemensiunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) tanpa dukungan dana internasional.
Sikap ini mendapat kritik dari Trend Asia, yang menilai pernyataan Bahlil Lahadalia menunjukkan kurangnya pemahaman dan kepedulian terhadap ketahanan nasional dalam menghadapi krisis iklim dan bencana ekologis yang mengancam keselamatan rakyat Indonesia.
Novita Indri, juru kampanye energi fosil dari Trend Asia, menegaskan bahwa langkah mundur Amerika Serikat dari Perjanjian Paris seharusnya menjadi dorongan bagi Indonesia untuk meningkatkan upaya mitigasi dan adaptasi, mengingat kerentanan negara ini terhadap dampak krisis iklim seperti badai, banjir, kekeringan, dan krisis pangan.
“Seharusnya Bahlil menyadari betapa anti-sains dan kontroversial langkah Trump di mata dunia internasional. Jangan malah meniru dan terjebak dalam race to the bottom,” ujar Novita.
Novita menambahkan, “Ini seharusnya mendorong Indonesia meningkatkan usaha mitigasi dan adaptasi karena kita rentan terhadap krisis iklim.”
Sebagai negara kepulauan tropis, Indonesia mengalami banyak ancaman terhadap lingkungan, mulai dari badai, kekeringan, banjir, hingga krisis pangan. “Kita harus semakin serius menyikapi transisi energi untuk melindungi ketahanan nasional,” papar Novita.
Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa antara 1 Januari hingga 31 Januari 2025, terjadi 165 kejadian banjir, 13 kejadian cuaca ekstrem, dan 18 kejadian tanah longsor. Bencana telah menyebabkan 635.336 jiwa menderita dan harus mengungsi.
“Bencana-bencana itu memiliki korelasi erat dengan dampak krisis iklim,” tegasnya.
Mundurnya Amerika Serikat dari Perjanjian Paris berisiko menghambat misi transisi energi global untuk memerangi krisis iklim, terutama karena Amerika adalah salah satu negara dengan kontribusi emisi tertinggi secara global.
Indonesia, menurut Novita, seharusnya tidak mengendurkan upaya transisi energi, namun perlu mencari sumber pendanaan alternatif dari dalam negeri, seperti peningkatan pungutan produksi batu bara.
Produksi batu bara Indonesia pada tahun 2024 mencapai lebih dari 833 juta ton dan diprediksi akan melebihi 900 juta ton ke depannya, dengan potensi penerimaan negara dari peningkatan pungutan produksi batu bara mencapai USD23,58 miliar per tahun, yang lebih besar dari komitmen JETP.
“Sedari awal, pendanaan JETP memang buram realisasi. Ia hanya pengemasan ulang dari komitmen lama yang didominasi oleh skema utang dan berpotensi membebani Indonesia,” terang Novita.
Novita juga menegaskan bahwa hilangnya kepemimpinan Amerika Serikat dalam isu iklim membuka peluang bagi kepemimpinan alternatif yang lebih kolaboratif. Kini kepemimpinan dalam kemitraan JETP diambil alih oleh Jerman dan Jepang.
Indonesia, ujar Novita, perlu mempertimbangkan skema kerja sama yang adil dengan negara-negara lain, termasuk negara-negara berkembang, untuk mencapai target Perjanjian Paris. Perjanjian Paris seharusnya dipandang sebagai komitmen untuk menyelamatkan kemanusiaan, mengingat krisis iklim sudah terjadi dan dampaknya telah di depan mata.
“Perjanjian Paris harus dipandang bukan hanya sebagai janji di atas kertas yang berisi bahasa-bahasa teknis untuk menurunkan emisi, tapi Perjanjian tersebut merupakan komitmen untuk menyelamatkan kemanusiaan,” bebernya.
Krisis iklim sudah terjadi dan dampaknya telah didepan mata. Karena itu, keluar Indonesia dari Perjanjian Paris merupakan sebuah kejahatan kemanusian.
Indonesia, terang Novita, bukan berarti harus mengendorkan upaya transisi energi di tengah ancaman krisis iklim. Sementara mundurnya AS dari Perjanjian Paris telah menghambat misi transisi energi dunia dalam memerangi krisis iklim.