Rapuhnya Genjatan Senjata Israel-Iran, Bagaimana RI Mengantisipasi?

Seorang petugas di Iran melakukan evakuasi di sejumlah bangunan tempat tinggal di Teheran yang rusak akibat serangan Israel. Foto: Vahid Salemi/Picture Alliance

Oleh: Achmad Nur Hidayat*

Semakin rapuhnya gencatan senjata di Timur Tengah membuka jalan bagi eskalasi militer masif. Jika gencatan senjata Israel-Iran dilanggar — misalnya Israel kembali menyerang Teheran — kita bisa menyaksikan konflik cepat meluas.

Iran pasti merespons, misalnya dengan menyerang pangkalan Israel atau AS di wilayah sekitarnya. Bila Presiden Trump kembali mengerahkan kekuatan demi membela sekutunya, pertempuran bisa meledak menjadi perang kawasan.

Para analis sudah memperingatkan bahwa ini berbahaya. Misalnya F. Lukyanov, pemimpin redaksi dalam Global Affairs, menyebut Israel dan lobi neokon di AS bisa mendesak menggulingkan rezim Iran yang lemah akibat serangan, dan pemerintahan Trump mungkin terperosok dalam perang terbuka.

Alexander Dugin lebih keras: “Jika Iran jatuh, Rusia selanjutnya” — artinya Barat tak segan menargetkan kekuatan nuklir lainnya. Intinya, dalam skenario terburuk ini kita meluncur ke Perang Dunia III.

Resiko Perang Nuklir dan Konflik Global

Perang yang melibatkan Iran dan sekutu Barat bisa berujung pada tabrakan nuklir. Presiden Trump baru saja mengibaratkan serangan AS ke situs nuklir Iran layaknya pengeboman atom di Hiroshima dan Nagasaki: “Itu pada dasarnya hal yang sama. Itu mengakhiri perang tersebut”.

Ucapan Trump di Konferensi NATO 25/06 tersebut menggemparkan dunia, karena mempertontonkan bagaimana menggunakan senjata nuklir terkesan dihalalkan demi mengakhiri konflik. Para penyintas bom atom Jepang bahkan marah, melihatnya sebagai pengabaian norma internasional.

Menurut pakar keuangan, ancaman perang nuklir harus dipandang serius: studi PBB 2024 memperkirakan perang nuklir akan “melumpuhkan rantai pasok global, mematikan produksi pangan, dan menghilangkan triliunan nilai ekonomi”.

Dengan pemikiran semacam ini telah menguapnya tabu nuklir, potensi perang dunia ketiga nuklir nyata terasa di cakrawala.

Dampak Ekonomi Global: Krisis Multi-Dimensi

Skenario perang besar ini akan menciptakan kejutan ekonomi global yang dahsyat. Harga minyak dunia pasti melesat bila Iran – dan mungkin sekutunya OPEC – menutup kran ekspor minyak (misalnya menutup Selat Hormuz).

Sejarah mengingat 1970-an: pemotongan produksi OPEC memicu lonjakan harga dan stagflasi berkepanjangan. Para ekonom mengingatkan bahwa ketegangan geopolitik seperti ini selalu menaikkan harga minyak, meningkatkan inflasi, dan meredupkan investasi global.

Sebagai ilustrasi, penelitian terbaru memperkirakan kenaikan harga minyak $10 per barel (berkelanjutan selama 2 tahun) bisa menambah inflasi hingga ≈0,7 poin persentase diseluruh dunia. Dampak tekanan pada rantai pasok akan bertambah buruk.

Baca juga: Deeskalasi dan Reeskalasi Timur Tengah, Bagaimana Perekonomian RI?

Serangan Houthi di Laut Merah tahun 2023 misalnya memaksa kapal dagang berputar melewati Tanjung Harapan, dan indeks biaya angkut kontainer melonjak 260% dalam waktu singkat.

Dalam perang luas, gangguan pengiriman dan penutupan jalur energi utama akan mengerek biaya logistik dan memperpanjang rantai produksi.

Analisis NiGEM menunjukkan kenaikan 10% biaya angkut laut dapat menambah inflasi konsumen sekitar 0,5 poin persentase. Akibatnya, konsumen di hampir semua negara harus mengurangi belanja, sementara perusahaan menunda investasi.

Kepercayaan pelaku usaha jatuh, dan banyak proyek ekonomi skala besar akan ditunda atau dibatalkan. Secara keseluruhan, kombinasi krisis energi, disrupsi perdagangan, dan perang yang meluas bisa menyeret ekonomi dunia ke jurang resesi global.

Bank sentral mungkin terpaksa mengetatkan kebijakan alias menaikan suku bunga acuannya, demi menahan inflasi dan akan mengekang pertumbuhan. Sejumlah studi bahkan menyoroti bahwa dalam jangka panjang perang global akan memperbesar anggaran militer dan krisis pengungsi, menggerus infrastruktur serta investasi produktif.

Baca juga: Risiko Penutupan Selat Hormuz dan Peran Strategis RI di Tengah Krisis

Banyak pemerintah melewati batas defisit mereka untuk membiayai perang, dan ekonomi dunia yang sudah lesu bisa terjebak dalam resesi berkepanjangan.

Kenaikan harga minyak dan komoditas: Konflik bisa menurunkan pasokan minyak secara signifikan. Jika pemotongan produksi OPEC terjadi lagi, harga bisa melambung seperti krisis minyak 1973—inflasi melonjak dan resesi menyusul.

Gangguan rantai pasok dan logistik. Penyerangan Selat Hormuz atau laut strategis lainnya memaksa reroute kapal tanker. Pada 2023, rerouting tersebut membuat indeks biaya angkut naik 260%. Modeling menunjukkan kenaikan 10% biaya pengiriman menambah inflasi sekitar 0,5%.

Pasar Finansial Terpukul

Ketidakpastian geopolitik drastis umumnya memicu crash di bursa saham dan kejatuhan modal. Investor global pasti panik menjauhi aset berisiko, melumpuhkan pasar modal, dan menghentikan pertumbuhan ekonomi dunia.

Dalam skenario terburuk ini, sistem keuangan internasional bahkan bisa ambruk. Seluruh rantai nilai jual menyusut mendadak, dan kerusakan infrastruktur serta industri di kawasan konflik mempercepat jatuhnya output.

Demikian pula pembatasan perdagangan luas dan pemburukan iklim bisnis (akibat terhentinya investasi dan ekonomi nasional bangkrut) memicu krisis berkali lipat dari krisis keuangan 2008.

Penelitian mutakhir mendapati bahwa konflik nuklir global akan menghancurkan kapitalisasi pasar dunia dan produksi pangan, menciptakan kehancuran ekonomi senilai triliunan dollar.

Pendek kata, meski perang dunia sebelumnya (PD II) diikuti ekspansi ekonomi pasca-perang, era nuklir dan ketergantungan rantai pasok global kini membuat pemulihan demikian tidak terduga – lebih mungkin berakhir guncangan berkepanjangan.

Dampak Ekonomi Langsung bagi Indonesia

Indonesia, sebagai negara ekonomi besar dan pengimpor minyak, akan terpukul berat. Data terkini bahkan menunjukkan rupiah melemah menembus Rp16.213 per dollar AS akibat kekhawatiran konflik Timur Tengah dan melonjaknya harga minyak dunia.

Jika Iran menutup Selat Hormuz sebagai pembalasan, harga energi global akan meledak dan “menghantam Indonesia yang sangat bergantung pada impor minyak”.

Inflasi impor kita pasti meroket, dan biaya BBM serta pangan akan sulit dikendalikan. Di sisi lain, perdagangan luar negeri berkurang karena gangguan jalur niaga internasional;

Ekspor komoditas seperti Sawit, Batubara dan Nickle Ore menurun sementara impor bahan baku industri terhambat. Kami menyarankan pemerintah memperkuat daya beli domestik dan mensubsidi kebutuhan pokok agar inflasi terkendali.

Namun dalam krisis global ini, langkah itu sulit menahan arus tekanan inflasi dari luar. Posisi diplomasi Indonesia juga diuji.

Baca juga: Gejolak Perang Israel-Iran dan Dampaknya bagi Ekonomi Nasional

Pemerintah sudah konsisten mengutuk serangan Israel sebagai pelanggaran internasional dan menyerukan semua pihak menahan diri.

Posisi netral dan moderat Jakarta masih menjadi aset: meski pengaruh diplomasi terbatas, Indonesia dapat terus mendorong gencatan senjata dan bantuan kemanusiaan, misalnya lewat ASEAN, OKI, atau PBB.

Persiapan antisipatif juga diperlukan: Pertamina misalnya telah menyiapkan jalur logistik alternatif untuk mengamankan pasokan energi jika lalu lintas di Teluk menjadi berbahaya.

Pemerintah harus menjaga likuiditas fiskal agar mampu menstabilkan rupiah dan inflasi, misalnya dengan cadangan devisa dan ketersediaan BBM subsidi.

Proteksi bagi warga pun krusial: pemerintah sudah evakuasi WNI dari Iran dan mengimbau warga tunda perjalanan ke zona konflik.

Indonesia Harus Berbuat Apa: Rekomendasi?

Di tengah kekacauan global, yang terbaik bagi Indonesia adalah bertindak bijaksana dan preventif.

Pertama, pertahankan sikap netral dan aktif diplomasi. Jakarta perlu mendorong gencatan senjata permanen dan dialog internasional.

Upaya ini bukan hanya berwujud pernyataan politik; kestabilan global juga melindungi ekonomi Indonesia. Fokus ke ASEAN, G20 dan Global South misalnya dapat menggalang solusi bersama.

Kedua, perkuat ketahanan ekonomi domestik. Pemerintah harus mempersiapkan cadangan strategis bahan pokok dan energi, serta mempercepat diversifikasi sumber energi (misal komoditas non-minyak dan energi baru terbarukan).

Baca juga: Eskalasi Trump di Iran: Ancaman Serius terhadap Perdamaian Global

Kebijakan fiskal perlu akomodatif tapi hati-hati, menjaga likuiditas tanpa menyulut inflasi baru. Pengawasan ketat atas pasar valuta dan komoditas juga penting untuk mencegah spekulasi.

Ketiga, lindungi warga dan perusahaan lokal. Perkuat proteksi terhadap pelaku usaha yang bergantung impor, misalnya melalui fasilitas kredit murah atau asuransi risiko perang.

Besar kemungkinan perusahaan rintisan (start-up) dan UMKM terkena guncangan finansial; mereka butuh insentif darurat untuk menahan laju kenaikan harga.

Terakhir, waspadai efek jangka panjang. Pemerintah harus bersiap mengatasi pengangguran jika ekonomi dunia merosot: perlu relokasi tenaga kerja dan program padat karya.

Baca juga: Bila AS Menyerang Iran, Apa Selanjutnya?

Karena tekanan perang bisa lama, Indonesia disarankan memperkuat kerjasama regional (misal RCEP/ASEAN) agar aliran barang dan modal tetap lancar di kawasan Asia.

Dengan langkah-langkah tersebut, Indonesia sekurang-kurangnya dapat “mengampu payung” ekonomi dan keamanan nasional. Meskipun dunia bergerak ke jurang konflik luas, tanggung jawab pemerintah adalah meminimalkan dampak terburuk.

Sejauh ini posisi diplomatik Indonesia yang independen dan upaya pengamanan dalam negeri menunjukkan langkah awal yang tepat.

Untuk jangka panjang, perlindungan ekonomi dalam negeri dan penguatan diplomasi multilateral adalah kunci agar rakyat kita tidak menjadi korban paling telak saat badai geopolitik melanda.

Tulisan ke-3 dari 3 ini untuk memperingatkan bahwa eskalasi perang besar-besaran berimplikasi ekonomis dahsyat.

*) Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

9 kali dilihat, 9 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *