RI Perlu Mengubah Strategi Negosiasi Perdagangan Internasional

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (tengah), didampingi Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno (kiri), Menteri Perdagangan Budi Santoso (kedua kiri), Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Mari Elka Pangestu (kedua kanan), dan Wakil Menteri Luar Negeri Arrmanatha Nasir (kanan), memberikan keterangan terkait perkembangan dan persiapan pertemuan dengan Amerika Serikat (AS) terkait tarif perdagangan, di Jakarta, Senin (14/4/2025). Indonesia akan memberangkatkan tim negosiasi yang beranggotakan diantaranya Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menlu Sugiono, Menkeu Sri Mulyani, hingga Wakil Ketua DEN Marie Elka Pangestu pada 16-23 April 2025 untuk berunding tentang tarif dagang Indonesia dengan AS. Foto: Antara

Oleh: Achmad Nur Hidayat*

Mengapa Indonesia Tak Kunjung Berhasil Menurunkan Tarif Trump? Sudah berbulan-bulan negosiasi Indonesia dengan Amerika Serikat untuk menurunkan tarif Trump berjalan tanpa kepastian.

Tarif tinggi yang diberlakukan sejak era Presiden Donald Trump melalui kebijakan Section 301 masih membebani ekspor Indonesia. Padahal beberapa negara lain, termasuk Cina, berhasil mencapai kesepakatan untuk menurunkan tarif mereka secara signifikan.

Pertanyaannya, mengapa Indonesia gagal meniru keberhasilan Cina? Apa sebenarnya yang membuat Cina bisa melakukan negosiasi dengan sangat efektif, sementara Indonesia hanya menunggu di pinggir lapangan global, berharap belas kasih negara maju?

Negosiasi Dagang adalah Permainan Catur, Bukan Permainan Engklek

Negosiasi perdagangan internasional ibarat permainan catur. Setiap langkah harus strategis, penuh perhitungan, dan terintegrasi. Sayangnya, Indonesia masih memainkannya seperti permainan Engklek Melompat: hanya melompat-lompat tanpa rencana besar, mudah ditebak, dan mudah dimatikan langkahnya.

Cina mampu menurunkan tarif melalui Phase One Deal karena mereka memahami bahwa negosiasi dagang bukan sekadar soal permohonan penurunan tarif.

Mereka menyiapkan paket kesepakatan komprehensif, memiliki daya tawar yang beda dan menawarkan pembelian produk AS khususnya teknologi sebagai trade-off atas penurunan tarif sektor industrinya. Pendekatan barter strategis inilah yang tidak pernah dilakukan Indonesia.

Rumus Masalah: Daya Tawar Indonesia Lemah dan Strateginya Terfragmentasi

Jika kita rumuskan masalahnya, maka akar persoalan Indonesia adalah daya tawar yang lemah dan strategi negosiasi yang terfragmentasi.

Ekspor Indonesia ke AS hanya sekitar USD 20-30 miliar per tahun, jauh dibandingkan Cina yang mencapai USD 500 miliar. Artinya, AS memiliki ketergantungan impor pada Cina yang jauh lebih tinggi, memberi leverage besar pada negosiasi mereka.

Namun bukan hanya soal ukuran perdagangan. Cina menjalankan negosiasi sebagai state grand strategy. Mereka menyiapkan data mikro dan makro rinci, memahami titik lemah supply chain AS, dan menawarkan kompensasi yang menarik.

Indonesia sebaliknya hanya meminta belas kasihan dan membawa argumen moral: kita negara berkembang, kita membutuhkan penurunan tarif. Sayangnya, dalam negosiasi global, moral tidak cukup – hanya kekuatan tawar dan strategi yang menentukan hasil.

Bayangkan kita ingin membeli mobil. Tidak cukup hanya mengatakan, “Pak, kasih diskon dong, saya langganan di sini.” Penjual mobil akan menanggapi dengan senyum sopan, tetapi diskon besar tak akan diberikan.

Namun jika kita datang membawa paket, “Pak, saya beli dua mobil, satunya untuk perusahaan, satunya untuk pribadi, dan saya rekomendasikan dealer ini ke kantor-kantor mitra kami,” maka diskon signifikan bisa diperoleh.

Begitu pula dalam negosiasi dagang. Indonesia selama ini hanya meminta “diskon tarif” tanpa menawarkan insentif konkret bagi AS. Negara lain, seperti Cina, datang dengan paket pembelian besar yang secara ekonomi dan politik menguntungkan AS, sehingga penurunan tarif menjadi bagian dari kesepakatan win-win.

Mengapa Strategi Indonesia Selalu Gagal?

Strategi negosiasi Indonesia selama ini terlalu commodity-based. Kita hanya menawar karet, tekstil, mineral jarang, atau sawit. Padahal negara maju menginginkan sesuatu yang lebih strategis. Selain itu, negosiasi kita terpecah di banyak kementerian dengan kepentingan sektoral masing-masing.

Kementerian Perdagangan fokus pada market access, BKPM fokus investasi, Kementerian Koordinator fokus koordinasi yang seringkali justru menambah kerumitan. Belum lagi Dubes Indonesia di AS masih kosong. Ini bila kita mau melakukan negosiasi kembali pasti hasilnya akan sama.

Ironisnya, negosiasi ini sering kali dipimpin oleh menteri yang reputasi negosiasinya buruk seperti Airlangga Hartarto dan Sri Mulyani. Negosiasi Airlangga dalam mempertahankan ketua Golkar saja gagal, apalagi dalam konteks global.

Sri Mulyani juga tidak memiliki “bargain” yang bagus di pemerintahan Trump. Pernyataan Sri Mulyani selama ini dianggap pro kepada musuhnya politik Trump, Partai Demokrat AS.

Tetap memilih Airlangga dan Sri Mulyani sudah pasti tidak akan membuahkan hasil yang lebih baik. Patut diingat bahwa negosiasi dagang sangat strategis sehingga tidak bisa dijadikan agenda sampingan yang dipimpin oleh orang lama dengan reputasi yang buruk.

Indonesia Butuh Tim Baru, Strategi Baru dan Tim Negosiasi yang Benar-Benar Fokus

Negosiasi perdagangan harus dipimpin oleh tim negosiasi nasional baru yang kredibel, profesional, dan fokus penuh pada kepentingan nasional.

Tim ini sebaiknya langsung berada di bawah Presiden, dengan satu komando strategis, bukan sekadar forum koordinasi lintas kementerian. Selain itu, pendekatan negosiasi Indonesia harus diubah total.

Jangan lagi menawar diskon tarif komoditas tunggal. Siapkan package deal negotiation yang menawarkan insentif konkret bagi AS.

Misalnya, pembelian teknologi atau produk teknologi AS tertentu, relokasi investasi sektor EV battery ke Indonesia, hingga kerja sama strategis di kawasan industri hijau yang menjadi prioritas global saat ini.

Negosiasi juga harus berbasis data. Indonesia perlu mengintegrasikan semua data mikro industri: ekspor-impor detail, elastisitas permintaan, potensi substitusi domestik, dan dampak tarif pada tenaga kerja dan PDB. Data granular seperti ini yang membuat negosiasi Cina selalu sulit ditolak oleh AS.

Membangun Narasi Geopolitik dan GVC

Selain paket insentif ekonomi, Indonesia harus mulai menggunakan narasi geopolitik. Dunia saat ini sedang mengurangi ketergantungan supply chain pada Cina.

Indonesia dapat menegaskan bahwa menurunkan tarif atas produk kita akan membantu AS mendiversifikasi rantai pasok global, mengurangi risiko geopolitik yang mereka khawatirkan.

Dengan demikian, Indonesia tidak hanya tampil sebagai price taker di pasar global, melainkan sebagai indispensable player dalam rantai pasok global yang menambah value bagi AS maupun ekonomi dunia.

Negosiasi adalah Perang Tanpa Peluru

Negosiasi perdagangan adalah perang tanpa peluru. Siapa yang punya strategi, data, dan leadership terbaik, dialah yang akan memenangkan perang tersebut.

Cina telah membuktikannya. Mereka menyiapkan strategi dan data dengan rapi, lalu mengeksekusi dengan satu komando di bawah State Council.

Tidak ada ego sektoral, tidak ada kepentingan politik jangka pendek. Semua fokus pada kepentingan nasional jangka panjang.

Ini yang membuat trade talk China-US di Geneva Swiss Juni 2025 cukup berhasil. Indonesia bisa meniru Cina, tetapi dengan caranya sendiri.

Kita memiliki keunggulan geografis, pasar domestik besar, dan potensi sektor strategis seperti hilirisasi nikel, EV battery, dan kawasan industri hijau. Semua ini bisa menjadi bargaining chip kuat jika digunakan dengan strategi yang tepat.

Saatnya Indonesia Berani Mengubah Strategi

Jika Indonesia terus melanjutkan negosiasi dengan pola lama, dipimpin oleh figur yang sama maka hasilnya akan sama: kita hanya menunggu belas kasih, bukan mendapatkan kemenangan strategis.

Negosiasi adalah tentang keberanian menawarkan paket insentif yang tak bisa ditolak, menyiapkan data dan analisis yang tak terbantahkan, serta memastikan tim negosiasi dipimpin oleh figur independen yang fokus penuh pada kepentingan nasional.

Negara besar bukan ditentukan oleh angka PDB semata, melainkan oleh keberanian, kecerdasan, dan kepemimpinan dalam mempertahankan kepentingan nasional di meja perundingan global.

Kini saatnya Indonesia berhenti bermain engklek, dan mulai bermain catur dalam negosiasi perdagangan internasional.

*) Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

5 kali dilihat, 5 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *