Survei BMKG 2024, Tutupan Es Jayawijaya Menyusut 0.11-0.16 Kilometer Persegi Pertanda akan Punah

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melakukan monitoring gletser di Puncak Sudirman, Pengunungan Jayawijaya, Papua, pada 11-15 November 2024. Hasilnya, terjadi penurunan signifikan baik luasan maupun ketebalan es 'salju abadi' yang ada di Puncak Sudirman. Foto: BMKG

apakabar.co.id, JAKARTA – Sebuah kondisi yang sangat memprihatinkan saat mengetahui berkurangnya luasan dan ketebalan salju abadi di Puncak Sudirman, Papua Tengah. Hasil pemantauan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terbaru menunjukkan bahwa luasan salju telah menyusut menjadi 0,11-0,16 kilometer persegi pada tahun 2024 dari 0,23 kilometer persegi pada tahun 2022.

Koordinator Bidang Standardisasi Instrumen Klimatologi BMKG Donaldi Sukma Perman menjelaskan, temuan itu sebagai indikator yang nyata tentang dampak pemanasan global dan perubahan iklim.  Hal itu didasarkan pada hasil monitoring gletser di kawasan Puncak Sudirman, Pengunungan Jayawijaya, Papua, pada 11-15 November 2024.

“Hal itu menjadi sinyal buruk bagi Indonesia, karena tidak lama lagi salju abadi di Pegunungan Jayawijaya akan hilang,” papar Donaldi dalam keterangannya di Jakarta, Senin (2/12).

Luasan tutupan es pada tahun 2024 menyusut 0,11-0,16 kilometer persegi dari 0,23 kilometer persegi pada 2022. Hal ini menjadi sinyal buruk bagi Indonesia karena tidak lama lagi salju abadi di Pegunungan Jayawijaya akan punah dalam beberapa tahun mendatang. Foto: BMKG

Menurut Donaldi, temuan tersebut seperti berpacu dengan waktu untuk mendokumentasikan dan melestarikan apa yang tersisa dari keajaiban alam yang unik ini.

“Hasilnya terjadi penurunan luasan permukaan es yang sangat signifikan. Kami berusaha mendokumentasikan kepunahan es di Papua, karena kita sudah dalam tahap sulit mempertahankannya,” ujarnya.

Penyebab utama menurunnya lapisan salju di Pegunungan Jayawijaya, kata Donaldi, akibat dampak dari perubahan iklim yang kian tak terkendali. Fenomena El Nino juga turut mempercepat pencairan lapisan es.

Selama ini, salju abadi Indonesia di Pegunungan Jayawijaya memang menjadi keajaiban alam di daerah tropis yang mengundang decak kagum para ilmuwan, peneliti, hingga pencinta alam. Namun, penurunan drastis luasan lapisan salju abadi tersebut dalam beberapa dekade terakhir sungguh mengejutkan.

Penyebab utama pencairan es di Pegunung Jayawijaya disebabkan oleh laju perubahan iklim yang kian tidak terkendali. Fenomena El Nino juga turut mempercepat kepunahan tutupan es. Foto: BMKG

Hasil pemantauan terakhir menunjukkan bahwa ketebalan es di Puncak Sudirman hanya tinggal empat meter. Hal itu diungkapkan Staf Bidang Standardisasi Instrumen Meteorologi BMKG Najib Habibie.

Data tersebut diperoleh setelah 14 patok (alat ukur ketebalan es) dipasang di Puncak Sudirman pada tahun 2023. Temuan itu menyoroti kebutuhan mendesak akan aksi iklim yang efektif dilakukan untuk melestarikan warisan alam yang melegenda itu.

“Ketebalan es telah menyusut sangat signifikan dari hasil pengukuran BMKG sebelumnya, yakni 32 meter pada 2010, dan 5,6 meter sepanjang periode November 2015 – Mei 2016.” terang Najib.

Kegiatan BMKG melakukan monitoring gletser di Puncak Sudirman, Pengunungan Jayawijaya, Papua telah dilakukan sejak tahun 2010 dengan dukungan PT. Freeport Indonesia. Saat itu, tim menggunakan patok yang terbuat dari potongan pipa yang dihubungkan dengan tali, merupakan pendekatan praktis untuk melacak perubahan ketebalan dan luasan es dari waktu ke waktu.

Setelah itu dilakukan peralihan dari pemantauan langsung menjadi survei visual udara sejak tahun 2017. Hal itu dilakukan karena terkait masalah aksesibilitas menuju Puncak Sudirman.

Pemantauan lewat satelit menunjukkan kemampuan beradaptasi dan tekad untuk melanjutkan pekerjaan penting ini.

Tim peneliti BMKG. Hasil monitoring tahun ini menunjukan ketebalan es di Puncak Sudirman hanya tinggal 4 meter saja. Data ini didapatkan setelah pada tahun 2023 sebanyak 14 stake (alat pengukur ketebalan es) sudah tersingkap. Foto: BMKG

Upaya pemantauan itu, kata Najib, memberikan bukti konkret tentang dampak pemanasan global, yang mengancam salju abadi yang unik di Indonesia.

“Hasilnya, berapa potongan pipa yang sudah terekspos ke permukaan. Itu menandakan luasan dan ketebalan es yang sudah menghilang,” paparnya.

Komitmen BMKG untuk mendokumentasikan dan melindungi keajaiban alam yang tersisa dan tidak ternilai itu patut diapresiasi. Karena itu, kata Najib, sangat penting untuk meningkatkan kesadaran dan mengambil tindakan nyata untuk mengurangi dampak perubahan iklim.

“Oleh karena itu, BMKG terus berkomitmen mengawal dan mendokumentasikan jelang kepunahan salju abadi di Indonesia yang mungkin tidak bisa dinikmati di masa mendatang,” pungkasnya.

194 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *