Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf*
Media CNN yang berbasis di Amerika Serikat (AS) menerbitkan tulisan berjudul “What trump actually wants from tariffs?” pada 11 Maret 2025. Presiden Trump dengan Trumponomics meyakini bahwa instrumen tarif merupakan panacea untuk membuat America great gain atau America rich again.
Kebijakan tarif super tinggi membantu merestorasi sektor manufaktur dan memulihkan keseimbangan perdagangan AS dengan sejumlah negara. Kebijakan tarif tinggi membuat harga barang impor menjadi lebih mahal untuk melindungi produk dalam negeri AS.
Kebijakan tarif tinggi meningkatkan pendapatan tarif dan membuat produk lokal dapat bersaing dengan barang impor. Penerimaan tarif membantu pemerintah AS membayar utang dan mengatasi defisit anggaran.
Langkah ini dilakukan Trump tanpa membebani pembayar pajak di AS dengan tarif pajak tinggi. Bahkan, pemerintahan Trump memiliki ruang fiskal untuk menurunkan tarif pajak. Lebih jauh, kebijakan tarif tinggi mendorong relokasi investasi ke AS, membantu merestorasi sektor manufaktur AS, sekaligus menciptakan lapangan kerja baru di AS.
Baca juga: Langkah Politik: Tidak Ada Lagi Teori Ekonomi
Visi Trump membuat America great again dan keyakinannya terhadap instrumen tarif untuk mengatasi banyak masalah perekonomian AS yang melatarbelakangi kebijakan tarif extra tinggi. Dimana pada tahap pertama, pemerintahan Trump mengenakan tarif impor sebesar 10 persen kepada semua negara yang berlaku pada 5 April 2025.
Pada tahap kedua, pemerintahan Trump mengenakan tarif super tinggi secara selektif kepada 60 negara. Kebijakan tarif Trump sebagai tarif balasan atas kebijakan tarif dan non-tariff barrier yang diberlakukan oleh sejumlah negara terhadap produk AS.
Formula tarif Trump dinilai tidak memiliki landasan teori ekonomi yang solid. Formulanya hanya mempertimbangkan surplus atau defisit perdagangan dengan suatu negara dibagi dengan total impor dari semua negara dikali elastisitas permintaan terhadap harga barang impor (bernilai 4) dikali elastisitas harga terhadap tarif barang impor (bernilai 0,25).
Sebagai contoh, tarif impor terhadap China diperoleh dari pembagian antara defisit perdagangan AS – China sekitar 295 milyar dolar AS dibagi total impor AS dari semua negara sebesar 440 milyar dolar AS sama dengan 67 persen. Hasil akhirnya adalah 67 persen dibagi dua sehingga diperoleh besaran tarif 34 persen.
Formula yang sama diberlakukan terhadap Indonesia sehingga diperoleh tarif sebesar 32 persen, Afrika Selatan 30 persen, India sebesar 26 persen, Malaysia 24 persen, Vietnam 46 persen, Kambodia 49 persen dan Thailand 36 persen.
Baca juga: Membaca Peluang RI di Tengah Badai Tarif Trump
Formula ini menunjukkan bahwa semakin besar surplus perdagangan dari suatu negara terhadap AS maka semakin besar tarif impor yang diberlakukan terhadap negara bersangkutan.
Kebijakan tarif Trump menimbulkan ketidakpastian global yang tercermin pada harga saham di berbagai negara yang mengalami penurunan. Dimana investor dalam jangka pendek, khususnya di Emerging Market Economies (EMEs), seperti Indonesia merelokasi portofolionya ke asset negara yang dianggap aman (safe-haven).
Demikian juga dengan nilai tukar EMEs mengalami depresiasi karena capital outflow, investor mencari mata uang safe-haven. Hal ini terjadi dengan rupiah yang terdepresiasi hingga 17.261 per dolar AS.
Sejalan dengan Murice Obstfeld (Project Syndicate, 19/12/2024), kebijakan tarif tinggi Trump dapat menjerumuskan perekonomian AS dalam jangka pendek dan menengah ke dalam stagflasi, yaitu kombinasi antara pelambatan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran.
Kebijakan tarif Trump berdampak langsung terhadap perekonomian Indonesia melalui jalur perdagangan. Kontribusi ekspor barang dan jasa terhadap Gross Domestic Product (GDP) Indonesia mencapai sekitar 22,18 persen pada tahun 2024.
Baca juga: Mimpi Trump: Fair Trade atau Fear Trade?
Baca juga: America First: Strategi Negara Dagang
Tujuan ekspor terbesar kedua Indonesia adalah AS sebesar 26,3 miliar dolar AS. Komoditas ekspor utama Indonesia yang paling terdampak adalah mesin/peralatan elektrik, pakaian dan aksesoris rajutan, alas kaki, serta pakaian dan aksesoris non-rajutan.
Bagi AS, ekspor Indonesia ke AS hanya sekitar satu persen dari total impor AS. Impor AS tertinggi berasal dari European Union (EU) sebesar 18,5 persen dan China sebesar 13,4 persen. Dimana EU dan China yang paling terdampak dari kebijakan tarif Trump.
Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi kebijakan tarif Trump sehingga tidak mendistorsi pertumbuhan ekonomi nasional? Langkah pertama, inward-looking, meningkatkan konsumsi domestik dan meningkatkan efisiensi industri manufaktur sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi.
Langkah kedua, reformasi tataniaga ekspor dan impor dengan menghilangkan hambatan tarif dan non-tarif. Konsistensi pemerintah menghapus kuota impor terhadap barang-barang yang produksi dalam negerinya sangat kecil, khususnya barang kebutuhan pokok.
Langkah ketiga, outward-looking, melakukan negosiasi langsung, bukan retaliasi, dengan pemerintahan Trump untuk merelaksasi tarif terhadap produk ekspor Indonesia. Dimana, produk ekspor Indonesia ke AS adalah barang yang bersifat komplementer (tidak bersifat subtitusi) dengan produk AS.
Baca juga: Tarif Sekunder AS: Tekanan atau Bumerang?
Langkah keempat, mencari pasar ekspor baru, seperti ke EU dan Timur Tengah. Mengingat ekspor Indonesia ke kawasan ini jumlahnya masih sangat kecil, khususnya untuk produk elektronik, tekstik dan produk dari tekstil.
Kabar baiknya, dalam menghadapi retaliasi dari China, pemberlakuan tarif balasan dari China terhadap tarif Trump, pemerintahan Trump mulai mencari mitra dengan membuka pintu negosisasi dengan Jepang dan Korea Selatan (Korsel).
Namun, pemerintah Indonesia tetap harus waspada mengingat kebijakan tarif Trump sejak awal ditujukan untuk mewujudkan keseimbangan perdagangan dengan sejumlah negara, pembiayaan defisit, dan membayar utang pemerintah AS (CNN, 11/03/2025).
*) Dosen FEB Universitas Hasanuddin, Ketua KPPU RI 2015-2018