apakabar.co.id, JAKARTA – Setiap peringatan Hari Buruh Internasional diwarnai demonstrasi buruh yang menuntut kesejahteraan. Khusus buruh perempuan, mereka menuntut perhatian lebih dari pemerintah karena nasib buruh perempuan masih terpinggirkan.
Aksi Perempuan Indonesia bersatu dan menuntut pemerintah dalam pemberian hak pekerja yang belum terpenuhi, terlebih pada kaum perempuan dan kelompok rentan lainnya.
Momentum Hari Buruh Sedunia yang jatuh pada 1 Mei setiap tahunnya menjadi pergerakan serikat buruh bersatu dalam memperjuangkan hak yang belum terpenuhi oleh pemerintah, seperti kekerasan, pelecehan hingga diskriminasi pekerja perempuan.
Aksi Perempuan Indonesia yang melibatkan organisasi perempuan seluruh Indonesia turut bersatu dalam menyuarakan hak para buruh, berharap mendapatkan kesetaraan dan keamanan dalam lingkungan pekerjaan.
Dalam data Badan Pusat Statistik tahun 2023, pekerja perempuan tercatat sebanyak 60 ribu pekerja, menjadikan pekerja perempuan penting dan salah satu tonggak berdirinya sebuah perusahaan.
Banyaknya data tersebut nyatanya tidak menjamin keamanan dan keselamatan para buruh perempuan, dalam kenyataannya hak mereka justru kerap diabaikan oleh pemilik perusahaan.
Dalam konferensi pers yang dilakukan secara daring, perwakilan pekerja perempuan yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Indonesia menghadirkan para buruh dari berbagai kalangan, seperti nelayan, petani, buruh garmen hingga sektor akademik.
“Buruh perempuan saat ini sedang dalam posisi tidak aman, tidak sehat dan tidak selamat. Ketidakpastian hubungan kerja semakin marak dengan hadirnya UU Cipta Kerja yang menjadikan buruh semakin terpuruk,” ungkap Jumisih, Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia, Senin (29/4).
Pengesahan UU Ciptaker pada tahun 2023, menjadi satu mimpi buruk bagi para buruh, nyatanya Undang-undang yang diharapkan menjadi payung justru menjadi pukulan telak.
Bagaimana pemerintah justru menciptakan peraturan yang menjadikan status dan hubungan kerja menjadi tidak pasti yang berdampak pada kehidupan para buruh, terutama buruh perempuan dalam kesehariannya.
“Keterbatasan sosial masih sulit diakses, nominal gaji yang tidak mencukupi kebutuhan hidup serta akses kesehatan yang sangat berdampak pada buruh perempuan,” tutur Jumisih.
Di lingkungan kerja para buruh permpuan masih sulit mendapatkan sanitasi yang kurang aman dan sehat menyebabkan mereka rentan terhadap diskriminasi fisik, mental hingga seksual yang berpengaruh pada kesehatan.
Tak hanya itu, cuti haid yang menurutnya menjadi hak buruh perempuan masih sulit diperoleh dalam kenyataan, bagaimana buruh perempuan mendapatkan intimidasi yang memaksa mereka melakukan pemeriksaan haid yang terkesan melecehkan.
Dengan itu, Aliansi Perempuan Indonesia turut menyerukan harapan mereka kepada pemerintah di Hari Buruh, dengan menuntut kepemerintahan Jokowi untuk menegakkan kembali demokrasi serta kebijakan yang mendukung penghapusan kekerasan, dan melindungi kaum pekerja perempuan.