apakabar.co.id, JAKARTA — Sudah setengah tahun berlalu sejak insiden berdarah di Dusun Muara Kate, Kalimantan Timur. Sampai kini, polisi belum mampu menemukan pelaku.
Peristiwa penyerangan itu terjadi pada pagi buta, 15 November 2024 di sebuah posko warga yang menolak praktik hauling batu bara. Penolakan berangkat dari praktik hauling yang melanggar Peraturan Daerah Kalimantan Timur Nomor 10 Tahun 2012 serta Undang-Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020.
Warga juga menilai penggunaan jalan umum oleh truk tambang membahayakan keselamatan dan mempercepat kerusakan jalan negara. Setidaknya dua nyawa telah melayang akibat kecelakaan yang melibatkan truk hauling. Korban pertama adalah Teddy, seorang ustaz muda yang baru menikah. Korban kedua, Veronika, seorang pendeta.
Puncaknya terjadi pada malam 15 November. Russell (60), tetua adat Paser yang vokal menolak hauling ilegal, tewas diserang sejumlah orang tak dikenal. Ia disergap oleh kelompok pria bersenjata tajam yang turun dari mobil. Anson (55), warga lainnya, turut menjadi korban dan menderita luka tusuk di leher.
Para pelaku menggunakan masker. Gerakan mereka cepat, rapi, dan terlatih. Tak satu pun berhasil dikenali. Dari belasan CCTV yang diperiksa, semuanya mengalami self-deletion.
Kemandekan kasus ini memunculkan tudingan serius tentang impunitas. Analis kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menyebut kasus ini sebagai bagian dari persoalan sistemik di tubuh Polri.
“Kasus ini menambah daftar panjang penyimpangan personel kepolisian. Dan celakanya, ini dianggap wajar. Sekaligus mengonfirmasi persepsi publik soal impunitas oknum Polri,” jelas Rukminto, Selasa (20/5).
Buruknya kemampuan investigasi aparat bukan satu-satunya masalah. Ia juga menyoroti potensi pembiaran dari level pimpinan karena kedekatan dengan pihak tertentu.
“Ini bukan cuma soal teknis, tapi soal moral dan integritas. Kapolda sebagai pimpinan tertinggi penyidikan di daerah harus bertanggung jawab,” tegasnya.
Faktor lain yang disorot adalah ekonomi-politik pertambangan. Ia menyebut adanya relasi jangka panjang antara elite penegak hukum dan korporasi tambang di wilayah Kalimantan Timur dan Selatan.
“Tarik ulur kepentingan (khususnya ekonomi) antara elit penegak hukum dan korporasi jahat jadi penghambat utama,” katanya.
Ia mendesak polisi segera memeriksa elite perusahaan tambang yang menggunakan jalan negara di kawasan Muara Kate. Selain itu, ia menyerukan perlunya pengawasan ketat terhadap proses penyidikan, serta pembentukan Dewan Kepolisian yang sejati, sesuai mandat TAP MPR VII/2000.
Bukan lembaga simbolik seperti Kompolnas saat ini.
Media ini telah meminta konfirmasi dari Kapolda Kaltim, Irjen Pol Endar Priantoro. Endar memberikan pernyataan singkat.
“Kami tetap komitmen terhadap kasus ini. Ini jadi salah satu atensi saya selaku Kapolda untuk segera diungkap,” kata mantan Direktur Penyelidikan KPK tersebut, kepada media ini, Senin (19/5)
“Kami masih dan terus berupaya secara profesional dan scientific. Mohon dukungan masyarakat untuk pembuktian kasus.” Sampai berita ini tayang, tak ada satupun komisioner Kompolnas yang merepons upaya konfirmasi media ini.