apakabar.co.id, BANJARBARU – Lisa Halaby jadi primadona parpol di Pilwali Banjarbaru. Mengantongi tujuh dukungan partai, petahana Adity Mufti Ariffin dibuatnya terancam tak bisa nyalon.
Fenomena ini disoroti pengamat politik Muhammad Uhaib As’ad. Kata dia, dinamika Pilwali Banjarbaru baru layak diamati.
“Menarik karena nama Lisa Halaby tidak pernah dikenal publik sebagai politikus. Tapi aparatur sipil negara (ASN). Itupun hanya dikenal di kalangan ASN di Banjarbaru,” katanya kepada apakabar.co.id, Minggu (4/8).
Lisa adalah ASN di lingkungan Pemkot Banjarbaru. Jabatan terakhirnya kepala bagian kesejahteraan rakyat. Demi mencalon sebagai wali kota, dia memilih mengundurkan diri.
Ia juga aktif berkegiatan sosial. Salah satunya lewat Yayasan Abdul Aziz Halaby yang didirikan orang tuanya. Bergerak di bidang kemasyarakatan, pendidikan, agama dan sosial.
Taman Pendidikan Al Quran (TPA), jadi salah satu fokus yayasan ini. Di bawah naungannya, sekarang tak kurang ada 570 santri. Semuanya bebas biaya, alias gratis.
Lisa Halaby sudah mendapatkan 7 dukungan parpol. Yakni Golkar, Gerindra, PAN, Demokrat, PKS, Nasdem dan PDIP. PKB kabarnya juga bakal segera merapat.
Dari latar belakang di atas, Lisa Halaby jelas bukan politikus. Ia masih pemula. Namun faktanya, perempuan kelahiran 1979 ini menyaingi popularitas petahana Ovi -panggilan akrab Aditya Mufti Arifin.
Kok bisa begitu? Di bagian ini, Uhaib memberi analisa blak-blakan. Kata dia, Lisa Halaby disokong finansial yang besar.
“Seorang Halaby saat ini tidak berada dalam ruang hampa kekuatan finansial. Dan bisa diduga ada kekuatan di belakangnya sebagai bandar politik. Sebagai supporting financial untuk Halaby,” tutur dosen Uniska itu.
Sekalipun Lisa tak punya modal sosial dan politik. Bagi Uhaib itu bukan masalah besar di era sekarang. Yang penting punya duit, semua bisa dilakukan. Termasuk mendongkrak popularitas.
“Di era kapitalisasi demokrasi saat ini, modal politik dan sosial tidak cukup. Tapi modal finansial sangat menentukan di tengah pragmatisme politik dan politik instan warga,” ucapnya.
Meski begitu Uhaib tak yakin Lisa Halaby sepopuler itu. Ia yakin trend dukungan parpol ke mantan anak buah Ovi tersebut karena kekuatan di belakangnya. Bukan lantaran elektabilitas, apalagi popularitas.
Apalagi, saat ini mudah untuk dapat dukungan partai. Jika menggunakan kalimat mengesalkan; tinggal beli, jadi.
“Perlu dipahami oleh publik, bahwa partai politik memberikan dukungan terhadap kandidat tidak gratis. Ada hitungan nominalnya,” beber Uhaib.
Uhaib yakin, nominal untuk memborong parpol tak sedikit. Dan mengalir dari pemodal. Bagi dia, ini adalah politik tukar tambah, transaksional antara kandidat dan si bohir.
“Sekali lagi, dukungan partai politik terhadap Lisa Halaby bukan karena memiliki popularitas dan elektabilitas tetap ada pengaruh kekuatan bermain di belakangnya,” sindirnya.
Meski begitu, aksi borong partai itu cukup untuk membuat petahana kewalahan. Bahkan hingga terancam gagal nyalon. “Bikin petahana panas dingin,” imbuhnya.
Terlepas dari itu, Uhaib melihat fenomena demokrasi saat ini sedang sakit. Publik sudah terperangkap dalam politik pragmatis, tak rasional.
Ada kekuatan bandar politik besar yang mengatur irama perpolitikan di Banjarbaru. Begitu pula makelar-makelarnya.
Jika benar, apa kepentingan si bohir? Kata Uhaib untuk menunjukkan jati diri. “Sebagai orang kuat lokal (local strongman) sebagai pengatur kekuatan politik, dan jaringan patronase politik,” imbuhnya.
Kata Uhaib, petahana Ovi pasti tahu fakta-fakta lawannya. Karena itu, ia perlu menakar ulang kekuatan dan kelemahannya untuk melawan Lisa Halaby.
Pakar Politik dari Universitas Lambung Mangkurat, Siti Mauliana Hairini juga memberi pandangannya. Ia melihat borong politik tak ubahnya fenomena mubazir.
“Yang dibanyakin sebaiknya program kerja, masyarakat lebih membutuhkan itu,” ucapnya.