Belantara Ingatkan Pentingnya Koeksistensi untuk Menyelamatkan Orangutan Tapanuli - apakabar.co.id

Belantara Ingatkan Pentingnya Koeksistensi untuk Menyelamatkan Orangutan Tapanuli

Belantara Foundation bekerja sama dengan PT. Agincourt Resources, Program Studi (Prodi) Manajemen Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan dan LPPM Universitas Pakuan menyelenggarakan kegiatan Belantara Learning Series Episode 13 (BLS Eps.13) dengan tema “Peluang Koeksistensi Dalam Upaya Konservasi Orangutan Tapanuli” pada Kamis, 4 September 2025. Foto: Istimewa untuk apakabar.co.id

apakabar.co.id, JAKARTABelantara Foundation bersama PT Agincourt Resources, Program Studi Manajemen Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan, dan LPPM Universitas Pakuan, kembali menghadirkan Belantara Learning Series (BLS) Episode 13 pada Kamis, 4 September 2025. Kegiatan bertema ‘Peluang Koeksistensi dalam Upaya Konservasi Orangutan Tapanuli’ berlangsung secara hIbrid, terpusat di Auditorium Universitas Pakuan, Bogor, serta diikuti lebih dari 780 peserta melalui Zoom dan live streaming YouTube.

Acara ini juga didukung Forum Konservasi Orangutan Indonesia (FORINA), Pusat Riset Primata Universitas Nasional, serta enam universitas yang menggelar program ‘Nonton dan Belajar Bareng”. Keenam kampus itu adalah Universitas Pakuan, Universitas Riau, Universitas Andalas, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Nusa Bangsa, dan Universitas Tanjungpura.

Orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) merupakan spesies kera besar yang baru dipisahkan dari orangutan Sumatera pada tahun 2017. Menurut Daftar Merah IUCN, statusnya kini kritis (Critically Endangered) karena populasinya hanya sekitar 577–760 individu dengan habitat yang terbatas di Hutan Batangtoru, Sumatera Utara.

Direktur Konservasi dan Genetik Ditjen KSDAE KLHK, Nunu Anugrah, menegaskan bahwa tantangan konservasi sangat kompleks. “Beberapa tantangan utama adalah fragmentasi dan menyempitnya habitat, perburuan dan perdagangan ilegal, isolasi populasi dan risiko genetik penyakit, kesadaran dan pendidikan. Serta konflik dengan manusia,” ujarnya dalam keynote speech.

Ia menambahkan, pemerintah telah memberikan perlindungan hukum lewat Permen LHK No. P.106/2018. “Berbagai inisiatif juga telah dilaksanakan, mulai dari restorasi habitat, perlindungan populasi, rehabilitasi orangutan, hingga penyadartahuan publik,” tegas Nunu.

Peneliti BRIN, Wanda Kuswanda, mengingatkan bahwa orangutan Tapanuli sangat rentan seiring dengan habitatnya yang terpecah dalam tiga blok. “Orangutan Tapanuli sangat menyukai tanaman budidaya masyarakat, sehingga berpotensi menimbulkan konflik. Prinsip dasar mitigasinya adalah keselamatan manusia dan orangutan. Koeksistensi hanya terwujud jika kita mampu menyetarakan kepentingan keduanya,” terangnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dolly Priatna, memperkenalkan konsep Conflict to Coexistence (C2C), yakni mengubah konflik menjadi peluang hidup yang saling berdampingan. “Pendekatan holistik ini menerapkan 4 prinsip utama; menjaga toleransi, berbagi tanggung jawab, membangun ketahanan, dan mengedepankan holisme. Hasil akhirnya adalah pelestarian satwa liar, perlindungan habitat, dan keberlangsungan mata pencaharian masyarakat,” jelasnya.

Dolly menekankan bahwa keberhasilan hanya mungkin dicapai dengan sinergi multipihak. “Kami percaya dengan kemauan dan komitmen bersama-sama, mimpi menciptakan lingkungan di mana manusia dan satwa liar hidup harmonis dapat terwujud,” imbuhnya.

Pada kesempatan itu, Direktur Hubungan Eksternal PT Agincourt Resources, Sanny Tjan, menegaskan pentingnya aksi kolaborasi. Mengadopsi konsep pentahelix yang menyinergikan akademisi, dunia usaha, komunitas, pemerintah, dan media, kita akan menemukan pendekatan inovatif dalam pelestarian orangutan Tapanuli. “Namun hal itu membutuhkan koordinasi erat serta komitmen berkelanjutan dari semua pihak,” tutur Sanny.

Sementara itu, antropolog Universitas Indonesia, Sundjaya, menyoroti pentingnya pendekatan berbasis masyarakat. “Etnografi memberi pemahaman mendalam tentang budaya masyarakat sekitar hutan. Dengan cara itu, strategi konservasi akan lebih kuat karena melibatkan kearifan lokal dan pengetahuan adat,” jelasnya.

Adapun Dekan Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan, Prof. Sri Setyaningsih, menutup dengan pesan optimistis. “Kami berharap seminar ini bisa menjadi wadah berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang bagaimana mewujudkan koeksistensi yang nyata di lapangan. Terima kasih bagi semua pihak yang mendukung sehingga acara ini berjalan sukses,” paparnya.

Dengan kolaborasi yang kuat, komitmen lintas sektor, serta keterlibatan masyarakat lokal, upaya menyelamatkan orangutan tapanuli diharapkan tidak hanya menjaga satu spesies, tetapi juga memastikan keberlanjutan ekosistem dan harmoni antara manusia dengan alam.

659 kali dilihat, 659 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *