apakabar.co.id, JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto baru saja mengganjar pengusaha asal Kalimantan Selatan, Andi Syamsudin Arsyad atau Haji Isam dengan Bintang Mahaputera.
Penghargaan bergengsi ini biasanya diterima oleh pejabat tinggi, atau tokoh nasional. Lantas, seberapa layakkah Isam menerimanya?
Dr. Muhammad Uhaib As’ad, M.Si, Direktur Pusat Kajian Politik dan Kebijakan Publik, Banjarmasin, sekaligus akademisi Universitas Islam Kalimantan, menilai penghargaan ini tidak bisa dilepaskan dari relasi oligarki bisnis dan politik.
Menurut Uhaib, Haji Isam telah membangun gurita bisnis yang menempatkannya dalam barisan oligarki baru di Indonesia, sering disebut sebagai bagian dari “Sembilan Haji” – rival dari “Sembilan Naga” yang selama puluhan tahun menguasai perekonomian nasional.
“Relasi bisnis dan politik saat ini memungkinkan para oligarki mendikte jalannya demokrasi dengan kekuatan modal. Mereka bahkan bisa menjadi semacam shadow state atau pemerintahan bayangan yang memengaruhi kebijakan negara,” kata Uhaib.
Ia juga mempertanyakan kontribusi riil Haji Isam terhadap masyarakat lokal, terutama di daerah tambang dan perkebunan yang kerap dilanda konflik sosial maupun kerusakan lingkungan.
“Saya tidak melihat korelasi signifikan antara aktivitas bisnis tambang dan sawit dengan peningkatan kesejahteraan warga lokal. Yang ada justru problem penggusuran, kriminalisasi, dan kerusakan lingkungan,” tambahnya.
Reduksi Sakralitas Penghargaan Negara
Bintang Mahaputera adalah tanda kehormatan tertinggi negara setelah Bintang Republik Indonesia. Namun, menurut Uhaib, pemberian penghargaan kepada figur-figur yang kedekatannya dengan penguasa lebih menonjol daripada kontribusi konkret berisiko mereduksi makna sakralnya.
“Ini hubungan patron-klien yang kuat. Publik bisa melihat ini sebagai justifikasi simbolik bahwa kedekatan dengan penguasa cukup untuk mendapatkan penghargaan. Sakralitas simbolik dari Bintang Mahaputera akhirnya terkikis,” ujarnya.
Bagi sebagian kalangan, penghargaan ini memang pantas jika dilihat dari perspektif ekonomi makro: investasi, lapangan kerja, dan kontribusi pajak. Namun bagi kritikus, pertanyaan mendasar tetap menggantung.
Apakah kontribusi Haji Isam sebanding dengan penerima Bintang Mahaputera terdahulu? Apakah penghargaan ini murni atas prestasi, ataukah cermin relasi patronase antara oligarki dan penguasa?
Dan bagaimana negara memastikan bahwa tanda kehormatan tetap menjaga marwahnya sebagai penghargaan tertinggi, bukan sekadar “hadiah politik”?
Dengan segala kontroversinya, kata dia, penghargaan kepada Haji Isam mencerminkan tarik-menarik antara apresiasi prestasi ekonomi dan kekhawatiran dominasi oligarki.
Polemik ini tampaknya akan terus mewarnai diskursus publik tentang arah demokrasi dan integritas penghargaan negara di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto.
Antara Prestasi Ekonomi dan Patronase Politik
Fenomena Haji Isam telah mewarnai peta perpolitikan dan ekonomi di negeri ini terutama di era rezim Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Penghargaan yang diberikan oleh Presiden Prabowo Subianto kepada Haji Isam itu sebagai bentuk apresiasi negeri.
Pemerintahan memandang penting memberikan penghargaan kepada Haji Isam atas kontribusi beliau yang menurut penilaian pemerintah telah memberikan sumbangsih bagi pembangunan ekonomi di daerah.
Hal ini menjadi argumen pemerintah bahwa Haji Isam sebagai pengusaha dari Kalimantan Selatan itu layak mendapat penghargaan prestisius itu. Namun, demikian masih tersisa ruang kritis untuk melihat semua itu.
Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepada pengusaha asal Kalimantan Selatan, Andi Syamsuddin Arsyad atau Haji Isam. Penyerahan penghargaan berlangsung di Istana Negara, Jakarta, Senin (25/8).
“Bintang Mahaputera Utama diberikan kepada saudara Andi Syamsudin Arsyad, beliau berjasa luar biasa dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah maupun nasional.”
Haji Isam dinilai berkontribusi besar dalam membuka lapangan pekerjaan melalui usaha di sektor pertambangan, transportasi, hingga infrastruktur.
Bintang Mahaputera Utama sendiri merupakan salah satu tanda kehormatan negara yang hanya diberikan kepada warga yang dianggap berjasa besar bagi bangsa.
Dalam hierarki, penghargaan ini berada satu tingkat di bawah Adipradana dan Adipurna, namun di atas Pratama dan Nararya.
Dari Sopir ke Konglomerat
Haji Isam lahir dari keluarga sederhana dan sempat menjalani pekerjaan serabutan, mulai dari sopir truk kayu hingga tukang ojek. Awal 2000-an, ia bekerja untuk pengusaha tambang lokal. Dari situlah ia belajar seluk-beluk bisnis batu bara.
Pada 2003, ia mendirikan CV Jhonlin Baratama. Usaha kecil itu berkembang menjadi Jhonlin Group, konglomerasi besar yang kini merambah pertambangan, transportasi laut dan udara, perkebunan, hingga energi terbarukan melalui biodiesel.
Bagi pendukungnya, kisah Isam adalah simbol mobilitas sosial spektakuler: dari jalanan berlumpur tambang menuju ruang megah Istana Negara.