Gambar KPU Cianjur Iklan KPU Cianjur

ISESS Endus Pelanggaran HAM di Penanganan Kasus Vina Cirebon

Pegi Setiawan alias Perong berusaha berbicara saat konferensi pers perkembangan kasus Vina Cirebon di Polda Jawa Barat, Minggu (26/5) tadi. Foto: Tangkap Layar YouTube

apakabar.co.id, JAKARTA – Penangkapan Pegi Setiawan alias Perong memicu tanya publik. Benarkah ia adalah pelaku yang buron delapan tahun dalam kasus Vina Cirebon?

Pertanyaan ini lantas memantik komentar Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto. Kata dia, ada indikasi salah prosedur dari kepolisian.

“Selama delapan tahun, penetapan tiga DPO ini ada indikasi kesalahan prosedur dan dipaksakan,” ucapnya kepada apakabar.co.id, Kamis (27/5). Tiga DPO versi polisi kala itu adalah Pegi, Andi dan Dani.

Ia melihat ada kejanggalan dalam penanganan kasus pembunuhan Vina ini. Bahkan sejak awal. Delapan tahun silam.

“Ketika penetapan tiga DPO delapan tahun lalu, seharusnya mereka sudah bisa dikejar oleh kepolisian,” tuturnya.

Faktanya, polisi tak lagi melanjutkan kasus ini. Sekalipun mereka sempat melakukan penggeledahan ke rumah Pegi. Alasannya, ada kesaksian dalam BAP delapan tersangka lain yang dicabut.

Di sini, Rukminto melihat polisi tak memiliki alat bukti lain. Selain kesaksian-kesaksian para tersangka itu untuk menyematkan status DPO pada tiga orang tersebut.

“Makanya mereka tidak dikejar selama delapan tahun,” imbuhnya.

Hingga akhirnya, kasus ini kembali mencuat. Pasca heboh penayangan Film Vina Sebelum Tujuh Hari di bioskop. Tak sampai sebulan, polisi berhasil menangkap Pegi Setiawan alias Perong.

“Karena ada desakan dari masyarakat untuk menuntaskan kasus ini,” ujarnya.

Sekali lagi Rukminto menekankan soal kesalahan prosedur. Kata dia, penetapan tersangka dilakukan tanpa dua alat bukti kuat. Hanya kesaksian. Itupun ada BAP yang sudah dicabut.

“Jadi ketika BAP mereka dicabut, konstruksi kasus ini roboh. Makanya jadi aneh, ketika proses ini ditindaklanjuti sekarang ini,” ucapnya.

Makin aneh lagi, ketika Polda Jawa Barat mengumumkan Pegi adalah tersangka terakhir. Bahkan sebagai otak pembunuhan. Dua DPO lainnya mendadak dianulir.

Bagi Rukminto, ini mengonfirmasi asumsi masyarakat. Bahwa ada yang janggal dari penanganan kasus tersebut.

“Tidak salah bila ada asumsi, bahwa mentersangkakan tiga orang ini terkesan dipaksakan, bahkan diada adakan,” tuturnya.

Jangan-Jangan Tak Ada Pegi!

Lebih skeptis, Bambang punya analisa lain. Jangan-jangan dua DPO yang dianulir itu tak pernah ada.

“Bahkan jangan-jangan tiga orang termasuk Pegi Setiawan ini pun juga tidak ada,” sambungnya.

Apalagi setelah melihat gestur Pegi saat dihadirkan ke publik baru-baru ini. Ia menolak semua tuduhan polisi kepadanya.

Belum lagi gelagat polisi saat konferensi pers. Mereka sempat menahan Pegi untuk bicara.

Dalam kasus ini, Direktur Kriminal Umum Polda Jabar Kombes Pol Surawan tegas. Polisi tidak akan mengejar pengakuan Pegi Perong. Mereka pede punya bukti kuat.

“Yang jelas saksi-saksi sudah kita dapatkan semua terkait keterlibatan PS sebagai otak daripada peristiwa ini,” ujarnya, Minggu (26/5).

Kembali ke Rukminto, di bagian ini ia tak yakin masyarakat puas. Baginya, keraguan dan asumsi itu masih berkembang.

“Karena kepolisian tidak konsisten dengan pernyataan-pernyataan mereka,” ucapnya.

Terlepas dari itu, ia melihat ada celah pelanggan HAM dalam penanganan kasus Vina ini. Karena menjadikan seseorang sebagai DPO selama delapan tahun tanpa upaya penangkapan.

“Ketika bukti-bukti itu tidak ada, seharusnya kepolisian membuat surat pemberhentian proses penyidikan. Sehingga tidak menyandera status seseorang,” tutupnya.

105 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Fahriadi Nur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *