Kaltim Upayakan Penyelamatan Dialek Daerah Terancam Punah

Sejumlah penari membawakan tarian tradisional khas suku Dayak dalam balutan busana adat berwarna merah saat perayaan budaya di Kalimantan Timur. Foto: Antara

apakabar.co.id, JAKARTA – Kekayaan budaya Kalimantan Timur (Kaltim) dan Kalimantan Utara (Kaltara) tak hanya terletak pada adat dan seni, tapi juga pada keragaman bahasanya.

Namun kini, sejumlah bahasa daerah di wilayah ini berada di ujung tanduk. Jumlah penutur yang terus menyusut menjadi sinyal peringatan bahwa warisan leluhur tersebut bisa lenyap jika tak segera diselamatkan.

Menghadapi kenyataan ini, Balai Bahasa Provinsi Kaltim bergerak cepat. Sejak 2022, mereka menjalankan program revitalisasi bahasa daerah sebagai bagian dari mandat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Tujuannya jelas: menghidupkan kembali bahasa-bahasa daerah yang mulai ditinggalkan generasi mudanya.

“Program yang merupakan mandat dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah ini berfokus pada revitalisasi bahasa daerah,” kata Penelaah Teknis Kebijakan Balai Bahasa Provinsi Kaltim Yudianti Herawati di Samarinda, Selasa.

Ia menjelaskan bahwa revitalisasi bahasa bertujuan untuk menghidupkan kembali bahasa-bahasa daerah yang penuturnya kian berkurang. Dalam peta bahasa, Kaltim sendiri memiliki 16 bahasa daerah, sementara Kaltara memiliki 11 bahasa daerah.

Sejak 2022, Balai Bahasa Kaltim telah mengidentifikasi dan memilih bahasa-bahasa prioritas untuk direvitalisasi. Di Kaltim, tiga bahasa yang menjadi fokus utama adalah Bahasa Paser, Bahasa Melayu Kutai, dan Bahasa Benuaq.

Pemilihan ini didasarkan pada dominasi dan kedalaman akar bahasa tersebut di tengah masyarakat Kaltim, di samping bahasa-bahasa pendatang seperti Bugis dan Jawa.

Sementara itu, di Kaltara, Balai Bahasa Kaltim pada tahun 2023 memprioritaskan Bahasa Bulungan, dan di tahun 2024 menambahkan Bahasa Tidung.

“Sebagai langkah efisiensi, fokus kami saat ini pada bahasa Paser dan Melayu Kutai karena dampaknya sangat positif, bahkan bahasa Paser sudah memiliki Peraturan Bupati terkait muatan lokal,” tambah Yudianti.

Yudianti juga mengungkapkan bahwa program revitalisasi ini berfungsi sebagai pemantik bagi pemerintah daerah untuk menyusun bahan ajar muatan lokal di sekolah, sehingga pelestarian bahasa daerah dapat terarah.

Berdasarkan tipologi bahasa, Kaltim masuk dalam tipe C, yang berarti bahasanya sudah mengalami kemunduran dan jarang diajarkan di sekolah. Berbeda dengan tipe A (misalnya Bali, Sunda, Jawa) yang bahasanya kompleks dan masih banyak penuturnya, serta tipe B yang bahasanya sudah tercampur pengaruh dari bahasa lain.

“Meskipun Kaltim berada di tipe C, kami melihat ada kecenderungan bahasa daerah digunakan dalam komunitas. Oleh karena itu, revitalisasi ini menyasar komunitas, sekolah diantaranya guru, siswa, pengawas, dan pemangku kebijakan. Siswa sendiri sebagai sasaran utama,” katanya.

Tahapan revitalisasi bahasa daerah dimulai dengan koordinasi bersama pemangku kebijakan, diikuti dengan mengundang penutur jati yang akan mengajarkan bahasa kepada guru sekolah dan komunitas. Guru-guru ini kemudian akan mengimbaskan pengetahuannya kepada siswa SD dan SMP.

5 kali dilihat, 5 kunjungan hari ini
Editor: Raikhul Amar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *