LPSK Turun Tangan Kawal Kasus Wartawati Juwita Dibunuh Pacar TNI

Kantor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

apakabar.co.id, JAKARTA – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan perlindungan kepada empat saksi kunci dalam kasus pembunuhan jurnalis muda Juwita (23), yang diduga dilakukan oleh pacarnya, anggota TNI AL, Kelasi Satu Jumran.

Wakil Ketua LPSK, Sri Suparyati, menyebut pihaknya turun langsung ke Banjarbaru usai menerima laporan dari Komite Keselamatan Jurnalis dan pantauan media.

Perlindungan diberikan berupa pendampingan, penjemputan, dan keamanan fisik jika diperlukan.

“Kami mengumpulkan keterangan dari keluarga, saksi, dan juga pihak Oditurat Militer III-15 Banjarmasin serta Denpomal AL. Ini langkah awal sebelum menetapkan perlindungan resmi,” ujar Sri saat pemantauan di Banjarbaru, Jumat (18/4).

Empat saksi kini masuk dalam skema perlindungan LPSK. Mereka akan didampingi selama proses penyidikan hingga persidangan, termasuk penjemputan, perlindungan fisik jika diperlukan, hingga pengawasan selama memberi keterangan.

“Jika para saksi merasa terancam, LPSK siap mengkaji ulang tingkat perlindungan yang dibutuhkan, termasuk kemungkinan penempatan di rumah aman,” kata Sri.

Kejanggalan kematian wartawati Juwita terkuak salah satunya berkat keberanian seorang warga. Lewat kesaksiannya-lah, skenario kecelakaan yang direkayasa sang calon suami gagal.

LPSK juga menegaskan pentingnya pemenuhan restitusi atau ganti rugi yang menjadi hak keluarga korban. Dasar hukumnya merujuk pada UU No. 31 Tahun 2014 dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2022.

Restitusi adalah bentuk ganti rugi yang wajib diberikan oleh pelaku atau pihak ketiga kepada keluarga korban.

“Ini bukan bentuk belas kasihan, melainkan hak hukum,” tegas Sri.

LPSK telah menyampaikan hal ini kepada Odmil dan Denpomal, serta mendorong restitusi dimasukkan ke dalam agenda perkara yang akan diputus oleh majelis hakim militer.

Meski tersangka telah ditetapkan atas dugaan pembunuhan berencana, LPSK mencermati adanya indikasi tindak pidana lain, yakni kekerasan seksual. Hasil autopsi pada 22 Maret 2025 menemukan sperma dalam volume besar dan luka lebam di area genital korban.

“Kami mendorong dilakukan tes DNA terhadap temuan tersebut. Jika hasilnya relevan, dakwaan bisa berkembang,” ujar Sri.

Tak hanya itu, LPSK meminta agar pengadilan menghadirkan saksi ahli forensik yang memahami detail visum et repertum (VeR). Ini dinilai penting untuk membongkar potensi rudapaksa, apalagi ada klaim dari pihak TNI bahwa korban adalah pacar pelaku.

“Fakta hubungan pacaran tak serta-merta membenarkan adanya hubungan suka sama suka, apalagi berakhir dengan pembunuhan,” tegas Sri.

Menurutnya, penafsiran atas VeR harus dilakukan oleh ahli yang kompeten, bukan sekadar berdasarkan keterangan sepihak. Selain itu, LPSK juga menelaah bukti komunikasi digital antara korban dan tersangka yang ditemukan keluarga.

“Identifikasi kekerasan seksual tidak bisa hanya dari relasi pacaran. Harus dilihat secara menyeluruh—dari visum, psikologi forensik, hingga pola komunikasi mereka,” tutupnya.

6 kali dilihat, 6 kunjungan hari ini
Editor: Raikhul Amar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *