apakabar.co.id, JAKARTA – Program makan bergizi gratis menjadi salah satu program andalan pemerintahan yang baru, dan akan dilaksanakan pada tahun 2025. Dari sejak digagas, perhitungan kebutuhan anggaran ternyata jumlahnya selalu berubah-ubah. Ditengarai, porsi anggarannya kini terus menyusut.
Wakil Presiden Terpilih Gibran Rakabuming Raka saat berkunjung ke SDN 4 Tangerang, Kota Tangerang, pada Senin (5/8) mengungkapkan kebutuhan nasi bisa diganti dengan mi, atau sumber karbohidrat lain. Hal ini diutarakan Gibran usai mengecek uji coba makan bergizi gratis.
Kordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai ketersediaan anggaran pemerintah menjadi pertimbangan penting dalam mewujudkan program makan bergizi gratis.
Dengan demikian, dampaknya sangat signifikan terhadap kesehatan anak-anak. Alih-alih anak akan mengonsumsi makanan yang bergizi, yang terjadi justru sebaliknya.
“Kalau saya yang dewasa, makan mi, biasaya akan mengalami sakit perut dan diare, bagaimana nasib anak-anak di sekolah yang diharuskan makan mi. Apa ini yang dimaksud makanan bergizi?” tanya Ubaid di Jakarta, Rabu (7/8).
Ia menambahkan, “Tidak semua perut anak-anak bisa menerima mi sebagai menu utama.”
Dalam RAPBN 2025, anggaran makan siang gratis tertulis sebesar Rp71 triliun. Demikian diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani di kantor presiden, Senin (5/8). Tidak hanya masuk di RAPBN 2025, program tersebut telah menjadi salah satu kebijakan prioritas.
Terkait hal ini, JPPI mengimbau pemerintah agar berpikir ulang. Pasalnya, urgensi program makan bergizi gratis disebut sebagai mendesak dan prioritas masih menimbulkan tanya. Apalagi jika program itu dikaitkan dengan kebutuhan pendidikan dan problem yang dihadapi oleh peserta didik hari ini.
“Saya mengamati pelaksanaan program makan siang gratis ini, sangat terburu-buru dan kejar pencitraan. Sementara tujuan utama program ini masih belum jelas. Ini program sebenarnya tujuannya apa?” tanya Ubaid.
Jika untuk pencegahan gizi buruk alias stunting, jelas program tersebut salah alamat. Mestinya, jika tujuannya adalah pencegahan dan penanggulangan stunting, maka peruntukannya adalah bagi ibu hamil dan anak hingga usia 2 tahun.
“Jadi makan siang ini bukan untuk anak-anak yang sedang duduk di bangku sekolah,” paparnya.
Jika tujuannya untuk pemenuhan gizi anak usia sekolah, menurut Ubaid, hal itu juga tidak tepat guna. Karena, pemenuhan gizi tidak cukup hanya di sesi makan siang. Lalu bagaimana dengan sarapan dan makan malamnya yang tidak terkontrol?
Karena itu, Ubaid beranggapan, program makan bergizi gratis hanyalah kesia-siaan belaka. Belum lagi, ada kemungkinan anak-anak tidak menyukai menu yang telah disediakan.
“Maka kita hanya akan buang-buang makanan dan menambah problematika sampah sisa makanan yang hingga kini belum terpecahkan,” ujar Ubaid.
Data Bappanas menunjukkan, potensi kerugian negara akibat susut dan sisa makanan (food loss and waste) mencapai Rp213 triliun – Rp551 triliun per tahun. Angka itu setara dengan 4-5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
“Jika ini terjadi, maka anggaran makan siang gratis potensial akan terbuang sia-sia, tanpa guna.” tegas Ubaid.
Program ini juga tidak jelas siapa penerima manfaatnya. Apakah semua siswa, atau ada kategori khusus bagi siswa tertentu. Ini menjadi pertanyaan, karena pemerintah punya rekam jejak salah sasaran di banyak program semacam ini.
“Mulai dari program bansos, kartu Pra-kerja, hingga KIP untuk anak dari keluarga miskin. Apakah kita juga akan gunakan data yang sama untuk mengulangi kesalahan yang sama? Atau bagaimana? Ini belum ada titik terang hingga kini,” katanya.
Ubaid mengingatkan pemerintah agar jangan hanya mengejar pencitraan karena terikat janji-janji kampanye, namun harus memikirkan dampaknya dan skala perioritas yang mendesak dalam rangka meningatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Sejauh ini ada beberapa problem krusial yang menghimpit anak-anak di sekolah, yang perlu diperioritaskan oleh pemerintah untuk dicarikan solusinya.
JPPI mencatat masalah krusial tersebut, di antaranya terkait masih maraknya kasus perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi. Kasus perundungan dan kekerasan seksual masih menghiasi wajah media hampir setiap hari di berbagai daerah. Termasuk juga dengan praktik intoleransi di kalangan pelajar.
“Kasus terorisme baru di Malang menyadarkan kita bahwa para pelajar, tidak hanya bermasalah dengan pola pikir, cara pandang, namun juga sikap intoleran, bahkan mereka sudah masuk dan terlibat dalam jaringan terorisme,” terang Ubaid.
Berikutnya terkait dengan biaya pendidikan yang mahal dan kian tak terjangkau. Jika program makan gratis dipaksa diimplementasikan, jelas hal itu akan menambah beban anggaran.
“Padahal kita tahu, 5 tahun terakhir ini kenaikan tarif biaya sekolah dan kuliah sangat membebani masyarakat dan memicu demonstrasi mahasiswa yang meneriakkan mahalnya biaya pendidikan di Indonesia,” kata Ubaid.
Selain masyarakat menjerit soal biaya pendidikan yang mahal, program wajib belajar 12 tahun juga urung terlaksana. Ditambah dengan maraknya pungli dan pengaturan nilai rapor.
Hal lainnya terkait akses dan kualitas pendidikan yang masih terpuruk. Data BPS 2023 menunjukkan rata-rata lama sekolah nasional kita masih 8,7 tahun (artinya, SMP saja tidak lulus). Sementara dari segi kualitas, skor PISA 2022 menunjukkan kemampuan literasi-numerasi pelajar Indonesia masuk kategori salah satu negara dengan skor terendah dan di bawah standar minimum rata-rata di dunia.
“Artinya, SDM Indonesia sudah sangat ketinggalan dari negara-negara luar, bahkan kita tertinggal jauh dari negara-negara tetangga. Apakah ini bisa diselesaikan dengan makan siang? Jelas tidak,” tegas Ubaid.
Terakhir adalah derita guru honorer yang terus berkepanjangan. Minimnya gaji yang jauh dibawah UMR dan status yang tidak diakui oleh negara, membuat nasib guru honorer terkatung-katung.
Mereka hanya menalan janji-janji manis pemerintah yang datang silih berganti. Nasibnya hingga kini, tak juga menemukan titik terang. Bahkan, di beberapa daerah, mereka harus menelan pil pahit karena dipecat dari sekolah.
“Persoalan ini jelas jauh lebih penting dan mendesak untuk diperioritaskan dan diberikan porsi anggaran, ketimbang makan siang gratis yang berpotensi buang-buang anggaran dan rawan dikorupsi,” pungkas Ubaid.