MEGAPROYEK Geotermal: Jerat Biong di Kaki Gede-Pangrango

Megaproyek Geotermal Gede-Pangrango. Apakabar.co.id
Permukiman penduduk di kaki Gede-Pangrango. Foto: apakabar.co.id

Sosialisai Senyap di Kaki Gede-Pangrango

RENCANA sosialisasi senyap di aula Desa Cipendawa diendus Aryo Prima sebelum 2 Agustus 2024.

Kabarnya, warga hendak dikumpulkan seorang aparat desa. “Yang mengundang ini sempat bilang kantor desanya akan menjadi yang termegah kalau geotermal jalan,” kata Aryo.

Namun anehnya warga Sukatani dan Sindangjaya tak diundang. Lalu, setiap RT hanya diminta membawa minimal dua orang. Itupun mereka yang pro saja.

Pagi harinya, Aryo mendatangi Polsek Pacet. Polisi, kata dia, bahkan juga tak tahu.
“Sudah sering seperti ini. Diam-diam mengiming-imingi kompensasi,” jelas Aryo.

“Inilah yang kami sebut srudak-sruduk main kucing sumput [petak umpet],” sambungnya.

Aryo pun memobilisasi 30 warga yang mayoritas ibu-ibu datang ke aula desa Cipendawa. “Kehidupan warga tak bisa diwakilkan,” kata dia.

Saat informasi mulai tersiar, Aryo, Che serta warga lainnya saling bertukar informasi. Salah satunya lewat rekaman suara atau voice noted Whatsapp. Inilah yang kemudian menjadi alasan polisi memanggil Che.

Dari Sukatani, siang itu juga Che bersama 30 lebih warga kaki Gede-Pangrango bertolak menuju aula Desa Cipandawa.
Mereka yang kecewa datang membawa sampah dari hasil memungut di jalan.

“Sampah ini hanya reflek. Sebau-baunya bangkai pasti akan tercium,” Che menambahkan, di kediamannya, di Sukatani, baru-baru tadi.

Warga lalu berorasi sambil membakar ban. Mereka menuntut agar pemerintah terbuka.
Melihat aksi unjuk rasa, sebagian warga RW 02 dan 03 yang semula di dalam aula tergugah.

Mereka masuk ke barisan warga penolak geotermal. Keriuhan menjadi-jadi.
Puncaknya, draf surat yang berisi 17 syarat warga melepas lahan mereka robek.
“Kami sudah mandiri dengan hasil tani,” kata Che.

Mereka menuntut sosialisasi menyeluruh di Cipandawa, Sukatani dan Sindangjaya. Setelah sosialisasi disetop, massa bubar. Sejam setelahnya barulah polisi berdatangan.

Sekretaris Desa Cipendawa, Djunaedi membenarkan sosialisasi untuk ganti rugi.
“Tapi konsepnya dari warga. Kami hanya penengah,” kata Djunaedi ditemui di kantor desa.

Pihaknya sengaja tak mengundang warga Sukatani dan Sindangjaya karena tak terdampak akses jalan.

“Karena jalan yang akan digunakan hanya di Cipendawa,” kata Djunaedi.

Ganti rugi mencakup besaran uang untuk RW 02 dan RW 03 jika nanti angkutan Dayamas melintas. Kata dia, warga di RT 02 sebenarnya sudah setuju. Bahkan, tanpa kompensasi apapun.

Lalu, saat pembahasan akan berlanjut ke RT 03 sosialisasi berhenti setelah warga menggeruduk. Warga juga meneriaki Djunaedi sebagai biong.

“Kami hentikan sosialisasi untuk menghindari keributan,” kata Djunaedi. “Malu dengan alim ulama yang hadir,” sambungnya.

Urusan administrasi seperti BPJS warga penolak geotermal sempat dipersulit. Ada juga ancaman bansos akan dihentikan. Namun ia membantah.

“Tidak ada ada diskriminasi terhadap yang kontra,” ujarnya.

Djunaedi mengaku paham ketakutan warganya. Namun study banding yang dibiayai perusahaan ke Gunung Salak hingga Kamojang, proyek geotermal bisa berjalan berdampingan dengan kehidupan warga.

“Setelah kami ke sana, yang dikuatirkan [dampak lingkungan] tidak seperti itu. Hanya asumsi saja,” ujar Djunaedi.

Permukiman di kaki Gede-Pangrango. Foto: Dadang untuk apakabar.co.id

Usaha Basecamp Juga Terancam

Hujan yang mengitari Gunung Gede-Pangrango menambah dingin suasana ketika media ini menapaki kaki di Sukatani. Di sini, wellpad atau bantalan sumur bor geotermal bakal digarap di atas lahan perkebunan sayur-mayur warga.

“Hasil eksplorasi perusahaan menyatakan di sini ada titik panas,” kata Jarvan seorang aktivis peduli Gunung Gede ditemui media ini di Sukatani.

Lereng gunung ini harus ditempuh dengan waktu sejam berjalan kaki dari kampung terakhir, Sukatani. “Memang dari tahun 1970-an warga berkebun,” jelas Jarvan.

Bertani menjadi mata pencaharian utama warga kaki gunung Gede-Pangrango. Bahkan sejak belum ada konsep taman nasional.

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) baru ditetapkan oleh UNESCO sebagai cagar biosfer dunia sejak tahun 1977 dengan status World Network of Biosphere Reserves (WNBR).

Bedanya, setelah penetapan taman nasional seluas 24 ribu hektare itu, cerita Jarvan, warga tak boleh lagi menebang pohon.

Jikapun ada pohon yang roboh hanya pihak taman nasional yang boleh menyentuhnya. Warga juga tak boleh membuka lahan pertanian baru.

“Karena itu vegetasi hutan di Gede-Pangrango ini masih rapat-rapat,” jelasnya.

Taman nasional Gede-Pangrango juga merupakan yang tertua di Indonesia. Flora fauna di sini masih cukup lengkap, seperti elang Jawa, hingga edelweis.

Memasuki medio 2000-an, satu dua usaha basecamp pendakian mulai bermunculan. Puncaknya saat muncul Film 5 centimeter.

Film yang mengekspos keindahan Gunung Semeru pada 2012 itu rupanya turut membangkitkan gairah pendakian di kaki Gunung Gede. Sejak itu usaha basecamp tumbuh menjamur di Sukatani.

Satu kilometer dari wellpad seluas 6 hektare itu, terlihat jejeran rapi sejumlah rumah pendakian. Sukatani kini tak ubahnya surganya pendaki.

“Saat ini jumlahnya lebih 100,” timpal Dadang, salah satu pemilik usaha basecamp.

Usaha basecamp kini menjadi mata pencaharian kedua warga. Selain bertani di kawasan agropolitan Sukatani.

“Sejauh mata memandang nanti bukan lagi alam tapi hamparan pipa uap panas kalau geotermal jadi,” kata Dadang.

Menginjak 2022, keresahan warga mulai muncul ketika mendengar proyek geotermal. Awalnya warga tak cemas. Tapi ketika tahu proyek ini rakus air, merusak hutan, memicu gempa bumi, dan akan menghilangkan ruang hidup mereka, warga perlahan was-was.

“Ketika tahu ini adalah proyek pengeboran kami mulai cemas,” cerita Dadang.

Belakangan di antara warga tersiar kabar jika izin basecamp akan dicabut jika pemiliknya ikut-ikutan menolak geotermal.

Namun soal ini, Kepala Bidang Teknis Balai Besar Taman Nasional Gede-Pangrango Agus Yulianto membantah.

“Tidak benar itu, silakan saja itu hak warga menolak. Tapi itu bukan urusan kami di luar tupoksi,” kata Agus di kantornya.

Lalu apa sanksinya jika ada petugas dari Taman Nasional yang terbukti mengancam warga?

Agus hanya normatif. Kata dia, sepanjang mencukupi alat bukti dan dapat dibuktikan, maka sanksi akan diterapkan sesuai dengan aturan yang berlaku.

Lalu bagaimana sebenarnya sikap taman nasional terhadap rencana pengeboran ini?
“Kami belum sampai sana. Konteksnya, kami mengikuti saja arahan pemerintah pusat,” kata Agus.

Pertengahan tahun lalu, tersiar kabar jika pihak taman nasional mengeluarkan persetujuan lingkungan dan pertimbangan teknis. Agus juga membantah hal ini. Kata dia, kewenangan ada di Kementerian Lingkungan Hidup.

========

Liputan ini merupakan bagian dari program Fellowship “Mengawasi Proyek Strategis Nasional” yang didukung Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.

1,098 kali dilihat, 5 kunjungan hari ini
Editor: Fahriadi Nur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *