apakabar.co.id, JAKARTA – Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengapresiasi perhatian publik pada sejarah. Khususnya era transisi reformasi pada Mei 1998 sekaligus menyampaikan penjelasan terkait pernyataan tentang perkosaan massal pada peristiwa kerusuhan 13-14 Mei 1998.
Fadli menegaskan bahwa dirinya mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini.
“Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru-hara 13-14 Mei 1998,” katanya dalam keterangan resmi di Jakarta, Senin (16/6).
Baca juga: Rocky Gerung: Reformasi Bukan untuk Diperingati, Melainkan Diulangi
Menurut dia, peristiwa huru-hara 13-14 Mei 1998 memang menimbulkan sejumlah silang pendapat dan beragam perspektif termasuk ada atau tidak adanya “perkosaan massal”.
“Bahkan liputan investigatif sebuah majalah terkemuka tak dapat mengungkap fakta-fakta kuat soal ‘massal’ ini,” ujarnya.
Demikian pula, kata Fadli, laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku.
Oleh karena itu, dia menekankan perlunya kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa sehingga tidak beredar narasi-narasi yang sampai mempermalukan nama bangsa sendiri.
“Segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar, dan harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan,” katanya.
Baca juga: Suara-Suara Aktivis di Peringatan 27 Tahun Reformasi
Pernyataan Fadli dalam sebuah wawancara publik menyoroti secara spesifik perlunya ketelitian dan kerangka kehati-hatian akademik dalam penggunaan istilah “perkosaan massal”, yang dapat memiliki implikasi serius terhadap karakter kolektif bangsa dan membutuhkan verifikasi berbasis fakta yang kuat.
Menurutnya, pernyataan tersebut bukan dalam rangka menyangkal keberadaan kekerasan seksual, melainkan menekankan bahwa sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal.
“Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik,” kata dia.
Baca juga: Klaim Menaker, Pengangguran Terendah Sejak Reformasi
Istilah “massal” menurutnya juga telah menjadi pokok perdebatan di kalangan akademik dan masyarakat selama lebih dari dua dekade, sehingga sensitivitas seputar terminologi tersebut harus dikelola dengan bijak dan empatik.
“Berbagai tindak kejahatan terjadi di tengah kerusuhan 13-14 Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun terkait “perkosaan massal” perlu kehati-hatian karena data peristiwa itu tak pernah konklusif,” ujar Fadli.
Menanggapi kekhawatiran terkait penghilangan narasi perempuan dalam buku Sejarah Indonesia, Fadli menyampaikan bahwa tuduhan tersebut tidak benar.
“Justru sebaliknya, salah satu semangat utama penulisan buku ini adalah memperkuat dan menegaskan pengakuan terhadap peran dan kontribusi perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa,” tegasnya.