apakabar.co.id, JAKARTA – Empat nelayan kerang darah asal pesisir Muara Badak, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, yang awalnya dijadwalkan diperiksa Polres Bontang akhirnya batal.
Penundaan ini terjadi di tengah sorotan tajam publik atas dugaan pencemaran lingkungan oleh PT Pertamina Hulu Sanga Sanga (PHSS), yang justru menyeret warga terdampak ke meja hukum.
Informasi ini diterima Muhammad Yusuf, salah seorang nelayan yang ikut dipanggil polisi pada Selasa (24/6) sore. Ia mendapat pemberitahuan tersebut melalui aplikasi percakapan, WhatsApp.
“Assalamualaikum Pak Yusuf dan kawan-kawan, menyampaikan bahwa untuk panggilan 25 Juni semuanya ditunda, mengenai waktunya nanti saya jadwalkan ulang,” begitu bunyi pesan seorang penyidik kepada Yusuf, dikutip, Rabu (25/6).
Sebelumnya, Yusuf bersama Muhammad Yamin, M Said, dan Haji Tarre, mendapat surat panggilan untuk diperiksa polisi sebagai saksi. Para nelayan terdampak pencemaaran lingkungan dari aktivitas pengeboran Pertamina ini dituduh melakukan penghasutan dan memasuki pekarangan PT Pertamina Hulu Sanga Sanga (PHSS) tanpa izin saat aksi unjuk rasa, 9-10 Januari dan 5 Februari 2025.
Soal alasan penundaan, Yusuf belum mendapat kejelasan dari kepolisian. “Apakah nanti ada pemanggilan ulang, kami juga belum tahu,” ucapnya.
Yusuf merasa langkah kepolisian ini sebagai bentuk tarik ulur. Ia masih berharap proses hukum terhadap mereka dihentikan. “Kami korban pencemaran, bukan pelaku kejahatan,” tegasnya.
Terpisah, Kabid Humas Polda Kaltim Kombes Pol Yulianto membenarkan penyidik menunda pemeriksaan.
“Sementara ditunda dulu,” jelas Yulianto, Rabu (25/6). Alasannya, menurut Yulianto, pemeriksaan belum terlalu mendesak dilakukan penyidik.
“Banyak petugas yang fokus ke pelayanan terkait dengan Hari Bhayangkara,” jelas Yulianto seraya meminta waktu memelajari substansi Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Nomor 10 tahun 2024 tentang Anti-Slapp yang memberi perlindungan kepada warga penuntut hak lingkungan.
Peneliti Nugal Institute, Merah Johansyah, menegaskan para nelayan itu tak bisa dipidana karena dilindungi regulasi. “Warga pejuang lingkungan tidak bisa dikriminalisasi. Itu pelanggaran UU 32/2009 dan Permen LHK 10/2024,” kata Merah, baru tadi.
Merah juga menyoroti bahwa PHSS dapat dipidana balik jika terbukti mencemari lingkungan. Ia meminta Menteri LHK menyurati kepolisian agar proses hukum terhadap nelayan dihentikan dan mendorong KLHK menyelidiki dugaan tindak pidana lingkungan oleh PHSS.
“Tak cukup kalau akar masalahnya, yaitu pencemaran, tidak ditindak,” tegasnya.
Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyatakan telah memerintahkan Deputi Penegakan Hukum KLHK, Irjen Pol Rizal Irawan, untuk berkoordinasi dengan Polres Bontang.
“Sudah dilakukan konfirmasi, insyaallah selesai permasalahannya,” kata Hanif.
Sejak Desember 2024, sebanyak 299 nelayan kerang dara terdampak dugaan pencemaran dari kolam limbah bekas pengeboran milik PHSS. Kerugian ditaksir mencapai Rp69 miliar. KLHK menyatakan akan menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan.
Alih-alih mendapat keadilan, empat nelayan, Muhammad Yusuf, Muhammad Yamin, Muhammad Said, dan Haji Tarre, malah menerima surat panggilan dari Polres Bontang sebagai saksi dugaan penghasutan dan masuk pekarangan tanpa izin saat demo Januari–Februari 2025. Mereka dijadwalkan hadir pada 25 Juni 2025.
Demo diikuti oleh ratusan warga terdampak dan memasuki area kerja RIG Great Wall Drilling Company 16, lokasi yang mereka yakini menjadi sumber pencemaran.
Nelayan protes karena khawatir pencemaran terus berulang. Namun dalam prosesnya, terjadi pemukulan dan penangkapan terhadap massa aksi.
Para nelayan yang tidak mengerti hukum sempat mengucapkan pernyataan-pernyataan yang dianggap provokatif.
Pihak PHSS belum merespons konfirmasi dari media ini. Pesan kepada Manager Comrel & CID PHSS, Dony Indrawan, belum dijawab.