apakabar.co.id, JAKARTA – Indonesian Conference on Tobacco or Health (ICTOH) ke-9 menggelar Youth Forum ke-8 dengan tujuan menanamkan kesadaran dan semangat anak muda mengendalikan konsumsi rokok elektronik demi masa depan anak-anak di Indonesia.
Ketua Panitia Youth Forum ke-8, Anisya Aulia Lestari menjelaskan Youth Forum ke-8 merupakan kegiatan tahunan melalui perhelatan ICTOH. Pada forum tersebut, mereka mengumpulkan aspirasi anak muda dan mendorong anak muda berani bersuara tentang produk rokok.
“Kami ada 1001 kisah dari anak muda untuk menyampaikan pengalaman mereka mencoba menurunkan konsumsi rokok yang membahayakan diri mereka dan teman-teman sebayanya,” ujar Anisya dalam keterangannya, Rabu (29/5).
Anisya berharap setelah Youth Forum ke-8, para peserta yang berjumlah sekitar 300 orang baik secara luring dan daring, bisa menularkan pengetahuan dan kapasitas mereka. Khususnya mulai mempengaruhi dari keluarga dan pertemanan untuk menolak intervensi industri rokok dalam menjamin kesehatan anak.
“Peserta hadir mayoritas saat ini luring 100 orang, paling banyak dari Forum Anak Kota Bandung. Ada juga duta-duta dari provinsi lain. Peserta secara total dari Sabang sampai Merauke,” tutur Anisya.
Divisi Infeksi, Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (DPKR-FKUI) Prof. Erlina Burhan menjelaskan tantangan utama anak muda saat ini adalah terjerumus dalam kebiasaan mengonsumsi rokok elektronik.
“Ini pemahaman yang salah bahwa vape lebih aman dari rokok,” tuturnya.
Dia menyebut, pemahaman itu menyesatkan karena remaja terjerumus mempercayai bahwa vape membantu pecandu rokok lepas dari rokok konvensional. Padahal, ada banyak zat kimia penyebab kanker dan tuberkulosis yang terkandung dalam rokok elektronik.
Tema 9th ICTOH 2024 “Hentikan Campur Tangan Industri Tembakau, Demi Perlindungan Anak!”, kata Prof. Erlina, sejalan dengan tema Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) Tahun 2024. Tingginya jumlah perokok yang tidak diikuti dengan gencarnya upaya pengendalian akan berdampak pada kegagalan pencapaian target RPJMN 2020–2024 di bidang pengendalian tembakau.
Oleh karenanya, ujar Prof. Erlina, ada tiga target kegiatan prioritas dalam pengendalian tembakau yakni; peningkatan jumlah kabupaten/kota yang menerapkan kawasan tanpa rokok, meningkatkan kabupaten/kota dengan ≥40 persen Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) layanan upaya berhenti merokok.
“Serta meningkatkan pengawasan jumlah label dan iklan produk tembakau,” tegasnya.
Senada, Ayu Sri Wahyuni mewakili Hassanudin Contact dan MudaMudi Aksi TC mengungkapkan, Hassanudin Contact membagikan sejumlah strategi untuk penguatan komitmen Peraturan kota Makassar untuk Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
“Penguatan komitmen juga diperlukan dari universitas dan pihak swasta. Bahkan melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat,” kata Ayu.
Sementara itu, Daniel Christanto selaku Peneliti Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga menyampaikan dalam sesi panel Gerakan Pemuda untuk Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Ia pun membagikan pengalaman mewujudkan Kampus Tanpa Asap Rokok, atau best practice di Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur.
Dalam sesi diskusi panel bertajuk ‘Pandangan Remaja: Mitigasi Interferensi Indutri Tembakau dalam Penyusunan Kebijakan’, Beladenta Amalia, mewakili Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mengingatkan bahaya beban ekonomi akibat rokok karena menyebabkan masalah kesehatan.
“Sekarang rokok eceran dan gerai jual rokok itu sangat murah aksesnya. Di Bandung saat ini, rokok eceran dan gerai jual rokok sangat mudah dijangkau dan akibatnya mudah dikonsumsi anak muda,” ujar Bella.
Rokok merupakan faktor risiko utama Penyakit Tidak Menular (PTM), kanker, penyakit jantung dan pembuluh darah, serta penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) sangat berkaitan dengan perilaku merokok.
Data Riset Kesehatan Dasar (2018) mengungkapkan lebih dari sepertiga atau 33,8 persen penduduk Indonesia adalah perokok. Remaja usia 10-18 tahun mengalami peningkatan prevalensi perokok sebesar 1,9 persen, dari 7,1 persen pada 2013, menjadi 9,1 persen pada 2018.
Hal itu terbukti karena masalah rokok konvensional yang belum selesai, makin parah akibat muncul produk baru yaitu rokok elektronik. Target sasaran rokok elektronik adalah anak dan remaja.
Produk ini semakin marak dalam waktu singkat, terbukti dengan terjadinya peningkatan tajam prevalensi perokok elektronik usia 10-18 tahun sebesar 1,2 persen berdasarkan Sirkesnas tahun 2016, menjadi 10,9 persen berdasarkan Riskesdas tahun 2018.
Global Youth Tobacco Survey (GYTS) juga menunjukkan bahwa dalam rentang waktu tahun 2014 hingga 2019 terjadi peningkatan prevalensi perokok pelajar usia 13–15 tahun dari 18,3 persen menjadi 19,2 persen.
Data perokok elektronik juga mencapai 11,5 persen pada remaja usia 13–15 tahun dalam GYTS tahun 2019. Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukkan persentase merokok pada penduduk umur lebih dari 15 tahun di Indonesia pada tahun 2023 sebesar 28,62 persen.