apakabar.co.id, JAKARTA – Mengunjungi kampung ekowisata Malagufuk di Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya, sungguh sebuah anugerah yang luar biasa. Kampung Malagufuk dikenal sebagai salah satu lokasi pengamatan burung terbaik, karena di kawasan tersebut beragam jenis burung endemik Papua Barat bisa ditemui.
Di Hutan Klaso yang letaknya tak jauh dari Kampung Malagufuk, sejumlah jenis burung kerap muncul, seperti Lesser bird-of-paradise, Northern Cassowary, Twelve-wired Bird-of-Paradise, King Bird-of-Paradise, Red-breasted Paradise-Kingfisher, Magnificent riflebird. Burung-burung tersebut dengan mudah ditemukan saat mencari makan, minum, istirahat, bahkan berkembang biak.
Selama periode Agustus hingga Desember menjadi masa tersibuk bagi warga Kampung Malagufuk. Pasalnya di waktu-waktu tersebut, mereka menerima banyak kunjungan, bertepatan dengan musim kawin burung.
Para tamu yang kerap berkunjung di antaranya, fotografer satwa khususnya burung, peneliti, hingga wisatawan yang mampir dari dan/atau sebelum berkegiatan menyelam di Rajaampat.
Sejauh ini, Kampung Malagufuk telah berdaya secara ekonomi dengan tetap menjadi bagian dari ekosistem hutan yang lestari. Komunitas Gelek Kalami Malagufuk dan Gelek Magablo merupakan komunitas marga di bawah payung besar Suku Moi.
Dalam bahasa Moi, marga disebut dengan istilah gelek. Dalam kesehariannya, mereka merawat tanah, melindungi hutan adat, dan hidup secukupnya dengan memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia.
Generasi muda Malagufuk, Opyor Kalami yang juga pemandu pengamatan burung mengungkapkan harapannnya agar hutan tetap lestari. Menurutnya, hutan harus terus dijaga sebaik-baiknya untuk generasi berikutnya.
“Bahkan setelah generasi saya mati. Prinsip hidup saya, ‘kau jaga hutan, kau jaga alam, maka alam akan jaga kamu nanti’. Dengan teguh pada prinsip ini, saya yakin kita bisa berkembang dan berdiri sendiri dengan keyakinan kita, tanpa banyak dipengaruhi orang luar,” ujarnya.
Pencapaian masyarakat adat di Kampung Malagufuk bukan hasil kerja dalam semalam. Kegigihan dan kekompakan ketua kampung beserta warganya sejak tahun 90-an menjadikan mereka lebih tangguh dan guyub.
Untuk meningkatkan literasi, mereka juga menjalin jejaring dengan kelompok masyarakat sipil lain, seperti Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.
Tak lepas dari ancaman
Berupaya hidup lestari yang selaras dengan alam, Gelek Kalami Malagufuk dan Gelek Malak Kalawilis Pasa menghadapi sejumlah tantangan besar. Tantangan tersebut meliputi, ekspansi pembalakan hutan legal dan ilegal, gelombang besar perluasan perkebunan kelapa sawit, serta maraknya bisnis ekstraktif di kawasan Papua Barat Daya.
Persoalan besar lainnya terjadi pada Maret 2024. Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya memberi lampu hijau kepada investor untuk pendirian smelter nikel dan pabrik pembuatan baja di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sorong.
Jika rencana itu terealisasi, Kampung Malagufuk, Hutan Klaso beserta seluruh kekayaan ragam hayatinya terancam hilang.
Hal serupa dialami marga Malak Kalawilis Pasa. Komunitas marga itu selalu waspada menjaga tanah dan hutan adat mereka. Mereka kini menghadapi beragam pihak yang menjadi perpanjangan tangan perusahaan logging, yang kerap memasuki wilayah adat tanpa izin.
Laporan pemantauan deforestasi Papua periode Januari-Februari 2024 yang diterbitkan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, mencatat luas deforestasi sebesar 25.457 hektar pada tahun 2023. Jumlah itu jauh lebih besar dibandingkan tahun 2022 yang mencapai 20.780 hektar.
Masyarakat adat menyaksikan dan mengalami secara langsung rentetan dampak deforestasi dan ketersingkiran dari hutan dan tanah adat sebagai ruang hidup mereka. Mulai dari semakin sulit dan jauhnya mencari sumber makanan, menurunnya kualitas air, kerentanan pengelolaan sagu sebagai sumber pangan utama, hingga potensi kekeringan dan gagal panen.
Rentetan persoalan tersebut berujung pada beragam permasalahan lainnya, seperti, kesehatan, gizi buruk, serta persoalan sosial dan ekonomi.
Warga Kampung Malalilis termasuk yang merasakan getirnya tinggal di daerah kantong (enclave) dalam area HGU perkebunan sawit PT. Henrison Inti Persada. Mayoritas warga kampung ini adalah orang Moi. Mereka menempati rumah-rumah yang dibangun pemerintah bagi warga yang bekerja di area perkebunan sawit.
Keluarga Yeheskiel Malak, salah satu anggota Gelek Malak, menempati salah satu rumah di sana. Ia dan istrinya pernah menjadi buruh perkebunan. Keduanya lantas mengalami PHK. Mereka terkadang ke Malalilis demi mengurus kebun pisang yang dikelola di lahan tidur perusahaan.
“Buruh-buruh di sini menyandarkan hidup pada penjual sayur dan penjual ikan keliling. Air pun susah. Untuk kebutuhan air bersih, mereka harus membeli air galon,” ujar Yeheskiel.
Dengan tatapannya menerawang, Yeheskiel membeberkan, “Kalau gaji terlambat diterima, mereka terpaksa mengutang pembelian sayur, ikan, sembako, dan air.”
Menghadapi situasi seperti ini, para penjual barang dagangan akan berkoordinasi dengan pengawas perkebunan. Mereka meminta agar pembayaran utang langsung dipotong dari gaji si buruh. “Kalau sudah begitu, kehidupan buruh akan terus-terusan terlilit utang,” jelasnya.
Mandiri untuk selamat
Masyarakat Malagufuk meyakini kemandirian dengan hidup bermartabat di atas tanah adat merupakan hal yang semestinya dilakukan, termasuk oleh masyarakat Papua lainnya.
Gelek Malak Kalawilis Pasa, komunitas marga yang mendiami hutan dan tanah adat di wilayah Kampung Sayosa, Distrik Sayosa, Kabupaten Sorong, salah satu komunitas yang menjalankan prinsip tersebut.
Hampir genap setahun, Gelek Malak kembali tinggal di tanah dan hutan adatnya. Komunitas marga itu merupakan yang pertama memperoleh Surat Keputusan (SK) dari Pemerintah Kabupaten Sorong mengenai Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Moi. Di dalamnya termasuk hak tanah adat Gelek Malak yang sudah selesai dipetakan.
Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Franky Samperante meneguhkan prakarsa masyarakat adat seperti yang dilakukan di Malagufuk. Dalam konteks hak asasi manusia, negara memiliki kewajiban memajukan hak dasar rakyat, termasuk menghormati dan melindungi hak masyarakat adat.
“Sudah seharusnya negara menghormati pilihan dan corak ekonomi masyarakat adat. Termasuk melindungi sumber daya ekonomi dan wilayah kehidupan yang masyarakat adat miliki, dari berbagai ancaman dan tekanan ekonomi ekstraktif,” kata Franky.
Gelek Malak menyadari mereka tidak bisa selamat sendiri. Mereka ingin gelek lain, setidaknya yang persis berbatasan dengan mereka, untuk bersama-sama berkomitmen menjaga tanah adat. Beberapa di antaranya adalah Gelek Gilik, Klaili, Sayosa, Klasibin, Kalalu, dan Gelek Doo.
“Masih tersimpan harapan di dada Gelek Malak agar saudara-saudara gelek lain teguh pendirian menghadapi iming-iming investor,” terang Franky.
Salah satu tetua adat Gelek Korneles Malak mengingatkan, tanpa hutan, manusia tidak akan bisa hidup. Manusia secara merdeka manfaatkan segala sumber makanan, obat-obatan yang ada di hutan.
“Jika kami jual tanah, misalnya saya pegang satu miliar, uang bisa habis dalam satu bulan. Tapi kalau punya tanah, kami bisa terus hidup dengan memanfaatkan seperlunya, ” kata Korneles.
Ia menambahkan, “Kalau kami menggunakannya berlebihan, kami merasa rugi sendiri. Itu yang bedakan kami dengan perusahaan.”
Wilayah marga Malak Kalawilis Pasa termasuk jalur yang dilewati oleh burung-burung endemik. Saat ini, mereka mengupayakan berbagai cara untuk mengelola tanah adat, sesuai aturan yang diwarisi dari para leluhur.