1446
1446

MinyaKita Tak Sesuai Takaran, Pengamat: Biaya Produksi Lampaui HET

Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menyaksikan jajarannya melakukan penakaran Minyakita saat melakukan inspeksi mendadak di Pasar Lenteng Agung, Kelurahan Jagakarsa, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Sabtu (8/3/2025). Foto: ANTARA

apakabar.co.id, JAKARTA – Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menemukan fakta mengejutkan saat inspeksi mendadak (sidak) ke Pasar Lenteng Agung, Sabtu, 8 Maret 2025. Dalam sidak yang juga diikuti oleh Satgas Pangan, Amran menemukan bahwa beberapa kemasan MinyaKita yang seharusnya berisi 1 liter atau 1000 mililiter ternyata hanya berisi 750 hingga 800 mililiter.

Penemuan ini dilakukan setelah Amran dan jajarannya membeli MinyaKita dan mengukurnya menggunakan gelas takar. Meskipun ada juga kemasan yang sesuai dengan standar, pengurangan isi oleh beberapa produsen ini sangat merugikan masyarakat.

Amran menegaskan bahwa jika terbukti bersalah, produsen yang terlibat akan dikenakan sanksi pidana, bahkan pabriknya bisa ditutup. Tiga perusahaan yang saat ini memproduksi MinyaKita adalah PT AEGA, koperasi KTN, dan PT TI.

Peneliti dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai kasus ini menimbulkan pertanyaan, mengapa ada produsen yang mengurangi isi MinyaKita? Mengapa pula harga MinyaKita di pasar lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi (HET)?

Sejak 14 Agustus 2024, HET MinyaKita ditetapkan sebesar Rp15.700 per liter, naik dari sebelumnya Rp14.000 per liter. “Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa harga MinyaKita sudah melampaui HET sejak pertengahan 2023,” ujar Khudori dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (9/3).

Hal ini kemungkinan besar dipicu oleh biaya pokok produksi yang sudah melampaui HET. Harga bahan baku utama, yaitu minyak kelapa sawit (CPO), dalam enam bulan terakhir berkisar antara Rp15.000-16.000 per kilogram.

Sementara itu, dengan rasio konversi CPO ke minyak goreng sebesar 68,28% dan 1 liter setara 0,8 kg, maka harga CPO maksimal yang masih memungkinkan produksi MinyaKita dengan harga Rp15.700 per liter adalah Rp13.400 per kilogram.

Jika memperhitungkan biaya produksi, distribusi, dan margin keuntungan, menurut Khudori, harga produksi MinyaKita menjadi lebih tinggi dari harga jual yang ditetapkan. Dengan kondisi ini, produsen menghadapi dilema, menjual dengan harga sesuai HET tetapi mengorbankan kualitas (seperti menyunat isi kemasan) atau mempertahankan kualitas tetapi menjual dengan harga di atas HET.

“Kedua pilihan ini sama-sama berisiko dan melanggar aturan,” terangnya.

Tantangan MinyaKita

Program MinyaKita berawal dari Minyak Goreng Rakyat, yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 49/2022 tentang Tata Kelola Program Minyak Goreng Rakyat. Program ini dibuat untuk menjamin ketersediaan minyak goreng dalam negeri melalui skema wajib pasok pasar domestik (Domestic Market Obligation/DMO).

“DMO mewajibkan eksportir CPO menyuplai kebutuhan dalam negeri sebagai syarat mendapatkan izin ekspor,” kata Khudori.

Namun, kebijakan ini tidak mengakomodasi fluktuasi harga CPO. Ketika harga CPO naik, harga MinyaKita seharusnya ikut naik agar produsen tidak merugi. Sayangnya, regulasi yang ada tidak fleksibel dan justru menimbulkan masalah baru.

Distribusi yang panjang juga berkontribusi pada kenaikan harga. Pemerintah menetapkan bahwa MinyaKita harus dijual dari produsen ke distributor pertama (D1) dengan harga maksimal Rp13.500 per liter, lalu ke D2 dengan harga Rp14.000 per liter, ke pengecer dengan harga Rp14.500 per liter, dan ke konsumen dengan harga Rp15.700 per liter.

“Namun, di lapangan ditemukan bahwa ada distributor tambahan (D3 dan D4) yang memperpanjang rantai distribusi, menyebabkan harga menjadi lebih mahal,” ungkapnya.

Koreksi kebijakan MinyaKita

Kebijakan MinyaKita saat ini jelas tidak menguntungkan produsen. Jika dibiarkan, mata rantai produksi minyak goreng bisa terganggu dan menyebabkan kelangkaan. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah harus segera melakukan koreksi kebijakan. Beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan di antaranya:

Mengurangi distorsi harga. Pemerintah, kata Khudori, perlu membuat kebijakan yang tidak menghambat mekanisme pasar. Salah satu cara adalah menghapus sistem DMO yang kaku dan menggantinya dengan skema yang lebih fleksibel.

Kemudian libatkan BUMN dalam distribusi. BULOG dan ID Food bisa dilibatkan dalam distribusi MinyaKita agar rantai distribusi lebih pendek dan harga lebih terkendali.

Hal lainnya, subsidi langsung untuk masyarakat miskin. Jika tujuan utama MinyaKita adalah membantu masyarakat miskin, maka subsidi lebih baik diberikan dalam bentuk transfer tunai yang hanya bisa digunakan untuk membeli MinyaKita.

“Dengan cara ini, harga tetap mengikuti mekanisme pasar, sementara masyarakat yang membutuhkan tetap mendapatkan akses ke minyak goreng dengan harga terjangkau,” papar Khudori

Jika kebijakan MinyaKita tidak segera diperbaiki, maka masalah seperti pengurangan isi kemasan dan harga yang melebihi HET akan terus terjadi.

“Pemerintah harus segera bertindak untuk memastikan ekosistem industri minyak goreng tetap sehat dan masyarakat mendapatkan produk yang berkualitas dengan harga wajar,” tandasnya.

181 kali dilihat, 181 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *