apakabar.co.id, JAKARTA – Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengungkapkan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak yang dialami oleh 6 (enam) pekerja PT. Portal Media Nusantara (Pinusi.com), secara formal belum diketahui oleh Dewan Pers.
Meski begitu, ia menyoroti langkah Pinusi.com yang tidak berkeadilan dengan melakukan pembedaan status di antara pekerja media. Di antaranya ada pekerja yang diberikan kontrak beserta gaji tetap dan ada pekerja yang tidak diberikan kontrak beserta gaji tetap, sampai berujung PHK.
“Dan haknya (pekerja) adalah mendapatkan reward sebagaimana seharusnya. Dalam hal ini Pinusi.com sudah melakukan diskriminasi terhadap para pekerjanya,” katanya dalam diskusi publik bertajuk ‘Waspada Media Tak Bertanggungjawab’ di Jakarta, Kamis (9/1/2025).
Perusahaan media dalam hal ini Pinusi.com, kata Ninik, yang melakukan PHK sepihak dengan tidak memenuhi hak-hak normatif pekerja sesuai aturan yang berlaku menurutnya bentuk akal-akalan perusahaan.
Baca juga: Gandeng LBH Pers, AJI Jakarta Desak Pinusi.com Bayar Hak Mantan Pekerja
Karena alasan itu, terang Ninik, Dewan Pers sangat mendukung setiap upaya yang dilakukan para pekerja eks Pinusi.com. Selain itu, Dewan Pers akan bersurat ke pihak Pinusi.com terkait status pemimpin redaksi dalam hal ini Norman Meoko yang telah mengundurkan diri per Kamis (9/1/2025).
“Sekaligus kami di dalam surat itu mempertanyakan soal status para pekerja yang di dalam tata kelola perusahaan ternyata melakukan diskriminasi,” terangnya.
Ninik juga memastikan peran seorang HRD merupakan perwakilan pihak perusahaan. Berdasarkan aturan, HRD merupakan pelaksana harian di perusahaan. Karena itu, HRD bertanggungjawab penuh terhadap tata kelola perusahaan.
“Karena yang melakukan PHK adalah HRD dan HRD di dalam perusahaan termasuk pelaksana harian, selain komisaris, direktur dan jajaran pengurus, itu semuanya ikut bertanggung jawab,” terangnya.
Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wahyu Dhyatmika mengakui proses verifikasi administrasi dan faktual yang dilakukan Dewan Pers masih memiliki kelemahan. Di sisi lain, menurutnya bukan jaminan media besar yang biasa memproduksi karya jurnalistik yang berkualitas dan sudah tersertifikasi terhindar dari kasus ketenagakerjaan.
Karena itu, kata Wahyu, diperlukan penguatan keberadaan serikat pekerja di setiap masing-masing perusahaan media. Sebab, keberadaan serikat pekerja sudah dijamin oleh undang-undang. Dengan adanya serikat pekerja di perusahaan media, dipastikan ketidaktaatan dalam pemberian hak pekerja dapat terdeteksi dan dicarikan solusi secara internal.
“Saya menyatakan bersolidaritas dengan apa yang dialami kawan-kawan eks pekerja Pinusi. Semoga berhasil memperoleh haknya dengan dukungan AJI dan LBH Pers,” katanya.
Baca juga: Enam Pekerja Laporkan Pinusi.com ke Sudin Tenaga Kerja Jaksel terkait PHK Sepihak
Wahyu menerangkan standar menjadi anggota AMSI adalah perusahaan media yang sudah tersertifikasi dari Dewan Pers. Di dalam proses sertifikasi tersebut terdapat ketentuan yang melindungi pekerja media dengan penyertaan gaji sesuai UMR, BPJS dan ketentuan adanya serikat pekerja.
“Termasuk anggota AMSI juga diminta untuk menaati 11 komponen yang tertera dalam Indikator Keterpercayaan Media yang diawasi langsung oleh majelis etik,” katanya.
Selain itu, imbuh Wahyu, anggota AMSI perlu mengadopsi Journalism Trust Initiative (JTI) yang merupakan sebuah standar media yang dibuat Reporters Without Borders. Saat ini setidaknya ada 30 anggota AMSI yang sedang berproses mendapatkan sertifikasi JTI. Salah satu anggota AMSI yang sudah mengantonginya yakni Project Multatuli.
“Kalau muncul kasus kayak Pinusi.com maka mereka bisa kehilangan sertifikasi itu dan kehilangan akses pendanaan funding dan melunturnya kredibilitas mereka di dunia internasional. Sebab, keberadaan sertifikasi ini mengikuti sistem RSF dan diaudit lembaga independen,” terangnya.
Wahyu menyoroti adanya kasus ketenagakerjaan di perusahaan media dapat berpotensi melunturkan kepercayaan publik kepada media tersebut. Ia menegaskan perusahaan media harus terlebih dahulu melindungi dan mengutamakan kesejahteraan pekerja medianya, sebelumnya memberitakan kepentingan publik.
“Bagaimana media kita membawa kepentingan publik dan mengklaim memberitakan berdasarkan kepentingan publik kalau tidak bisa melindungi pekerja media,” jelasnya.
Baca juga: Tak Penuhi Hak Jurnalis, VoA Indonesia Terancam Disomasi
Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Mustafa Layong mengungkapkan kasus ketenagakerjaan yang dialami enam eks pekerja Pinusi.com terdapat celah hukum yang dimanfaatkan manajemen Pinusi.com. Sebab, UU Cipta Kerja membuka ruang hubungan kerja dapat dilakukan tanpa adanya kontrak kerja.
Hal itu berbeda jika dibandingkan dengan UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menerangkan setiap perjanjian kerja harus dilakukan perjanjian tertulis.
“Sementara itu kawan-kawan eks pekerja Pinusi.com ini dipersilakan bekerja setelah dijanjikan akan diberikan kontrak,” katanya.
Mustafa menyampaikan terdapat keganjilan dari kasus ketenagakerjaan di Pinusi.com. Pasalnya, hubungan industrial yang seharusnya antara perusahaan dengan pekerja, kemudian berubah menjadi hubungan individu perusahaan dengan pekerja.
Pola perubahan hubungan industrial tersebut menurutnya seakan-akan enam pekerja Pinusi.com menjalani kontrak kerja outsourching atau alih daya. Padahal lembaga atau perusahaan alih daya yang sudah punya izin tidak bisa melakukan hal itu.
Karena itu, Mustafa menyarankan agar Dewan Pers menjalankan mekanisme evaluasi. Khususnya mengenai data administrasi yang diduga fiktif atau dipalsukan.
“Ketika (Pinusi.com) melanggar atau tidak memenuhi kesejahteraan pekerjanya maka itu sertifikasi medianya bisa ditangguhkan atau diturunkan statusnya,” pungkasnya.
Baca juga: Dilakukan secara Ilegal, Solidaritas Pekerja CNN Indonesia Tolak PHK Sepihak
Anggota Divisi Ketenagakerjaan AJI Jakarta, Yulia Adiningsih menerangkan selama pendampingan proses bipartit pihak manajemen Pinusi.com yang diwakili oleh Heri Prasetyo tidak menyambut baik tawaran tuntutan yang diajukan enam eks pekerja Pinusi.com. Bahkan justru menantang untuk diselesaikan ke pengadilan.
“Manajemen lainnya tidak pernah kelihatan dan perwakilan manajemen yang menemui kami tidak mau membuat risalah bipartit,” terangnya.
Di pertemuan bipartit kedua, tak jauh beda dengan hasil bipartit pertama. Heri menyatakan Pinusi.com mengalami krisis finansial yang membuatnya tidak mampu menggaji keenam eks pekerja Pinusi.com. Termasuk berencana akan menutup Pinusi.com yang diperkirakan Juli atau Agustus.
Saat berlanjut di pertemuan tripartit, mediator Sudinakertransgi Jaksel justru menyalahkan pekerja yang tidak meminta kontrak kerja sebelum aktif bekerja. Bahkan, dalam anjuran yang dikeluarkannya meminta para pekerja eks Pinusi.com menerima secara lapangan dada keputusan PHK yang dilakukan managemen Pinusi.com.
“Anjurannya sangat tidak berpihak kepada eks pekerja Pinusi.com. Justru malah berpihak kepada perusahaan. Ini anjurannya sama persis dengan mediator yang sama dengan kasus yang dialami kawan-kawan SCPI,” pungkasnya.
Baca juga: AJI Jakarta Dukung Karyawan CNN Indonesia Dirikan Serikat, Perjuangkan Hak Karyawan
Sebagai informasi, enam pekerja mulai masuk kerja pada 3 Juni 2024 berdasarkan draf kontrak yang dikirimkan per-tanggal 2 Juni 2024 oleh HRD Pinusi.com.
Draf kontrak kerja bersifat Perjanjian Kerja Bersama Berdasarkan Waktu Tertentu (PKWT) untuk masa kerja selama tiga bulan, terhitung sejak 3 Juni hingga 2 September 2024.
Nahas, sejak 1 Juli 2024, enam pekerja atas nama Bethriq Kindy Arrazy, Fahriadi Nur, Fariz Fadhillah, Jekson Simanjuntak, Imam Budi Mulyana, Iskandar Zulkarnain diputus hubungan kerjanya secara sepihak tanpa alasan yang jelas, padahal draf kontak menyebutkan masa kerja seharusnya 3 bulan.