apakabar.co.id, JAKARTA – Penundaan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) oleh Wali Kota Balikpapan, Rahmad Mas’ud, rupanya belum meredakan keresahan warga.
Sebagian besar masyarakat justru menilai langkah itu hanya solusi sementara, dan mendesak agar kebijakan kenaikan PBB benar-benar dibatalkan.
Keputusan penundaan diumumkan Rahmad pada Jumat (22/8) di Balai Kota setelah gelombang protes merebak. Untuk sementara, PBB yang berlaku kembali menggunakan tarif tahun 2024.
“Jangan sampai muncul gejolak di masyarakat terkait isu kenaikan PBB,” kata Rahmad di Balai Kota.
Penundaan ini muncul setelah warga mengeluhkan lonjakan tagihan pajak yang dianggap tak masuk akal. Di Balikpapan Utara, ada yang melonjak hingga 3.000 persen.
Di Balikpapan Timur, kenaikan mencapai 1.000 persen. Rahmad menyebut penyebabnya karena salah penentuan Zona Nilai Tanah (ZNT) yang otomatis membuat Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ikut meroket.
Sebelumnya, Kepala Badan Pengelola Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (BPPDRD) Balikpapan, Idham Mustari, mengklaim pihaknya sudah memperbaiki data PBB warga yang bermasalah.
BPPDRD juga membuka layanan aduan serta memberi stimulus potongan PBB 30–90 persen.
Namun Ketua Peradi Balikpapan, Piatur Pangaribuan, menyebut kebijakan itu tetap menyesatkan. Ia menegaskan penundaan saja tidak cukup, kebijakan harus dibatalkan.
“Kalau pun ada kenaikan PBB, pertama harus proporsional. Tidak bisa langsung melompat di luar nalar. Apalagi tidak ada sosialisasi sebelumnya,” ujarnya, Jumat (22/8).
Piatur menilai logika kenaikan 3.000 persen tidak masuk akal. “Tidak ada dasar hitungannya. Di tengah ekonomi masyarakat yang sulit, kok tega menetapkan angka setinggi itu,” tegasnya.
Ia bahkan membandingkan dengan kasus Pati, Jawa Tengah, di mana kenaikan PBB 250 persen saja sudah memicu protes. “Sekarang di Balikpapan malah lebih gila lagi, 3.000 persen. Ini nalar dari mana?” katanya.
Selain itu, Piatur menuding Pemkot Balikpapan tidak transparan dalam menetapkan ZNT. Menurutnya, seharusnya ada kajian akademik yang melibatkan masyarakat dan kampus sebelum penetapan. “Faktanya masyarakat tidak pernah diajak bicara,” kritiknya.
Ia menyebut kebijakan itu sarat “bisikan” pihak tak bertanggung jawab. “Termasuk kepala dinasnya diganti saja kalau begini.
Kalau memang dari wali kota, maka wali kota juga harus dipersoalkan. Karena masyarakat sudah memberi kepercayaan, tapi keputusan ini justru merugikan,” lanjutnya.
Piatur menegaskan kenaikan PBB yang tidak rasional bisa dibatalkan lewat jalur hukum. “Karena produk kebijakan ini lahir dari peraturan daerah, maka bisa lewat executive review atau judicial review,” jelasnya.
Ia berencana mengajak elemen masyarakat untuk membahas langkah hukum. “Kalau tidak segera dibatalkan, kami akan tempuh jalur hukum.
Berapa pun angkanya, harus ada dasar hitungan yang jelas, proporsional, dan mempertimbangkan kemampuan masyarakat,” pungkasnya.