apakabar.co.id, JAKARTA – Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Tipidter) Bareskrim Polri terus menggali lebih dalam praktik tambang batu bara ilegal yang beroperasi di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto, Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Penyelidikan kini meluas hingga ke aktivitas distribusi batu bara melalui Pelabuhan Kaltim Kariangau Terminal (KKT) di Balikpapan.
Wakil Direktur Tipidter Bareskrim Polri, Kombes Indra Lutrianto Amstono, mengatakan sejauh ini belum ditemukan indikasi keterlibatan pengelola KKT dalam praktik tambang ilegal tersebut.
“KKT sampai dengan saat ini keterlibatannya belum ada. Kita sudah lakukan pemeriksaan,” kata Indra saat dikonfirmasi.
Penyidik kini fokus menelusuri jalur distribusi batu bara dari lokasi tambang hingga ke pembeli. Indra menyebut pihaknya baru sampai pada tahap pelacakan distribusi hingga pelabuhan.
“Nanti dari pelabuhan kita kembangkan. Ke mana ini? Siapa yang beli ini? Apakah perusahaan, atau perorangan, atau badan hukum?” ujarnya.
Selain pengelola pelabuhan, penyidik juga telah meminta keterangan dari Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Balikpapan. Pemeriksaan dilakukan terhadap pejabat dari Seksi Lalu Lintas Angkutan Laut (Lala) yang menjelaskan ihwal dokumen pengapalan milik masing-masing perusahaan.
“KSOP sudah kita periksa juga, dari seksi Lala. Mereka menyampaikan terkait dokumen pengapalan yang dimiliki masing-masing perusahaan,” jelas Indra.
Ia menegaskan proses penyelidikan masih berjalan untuk mengungkap aktor-aktor di balik pembelian batu bara ilegal. “Pembeli-pembeli batu bara itu sementara sedang kita lakukan penyelidikan,” tambahnya.
Sebelumnya, Dittipidter Bareskrim bersama Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Kementerian ESDM, dan Otorita IKN mengungkap tambang ilegal di wilayah Tahura Bukit Soeharto pada 23–27 Juni 2025, setelah menerima laporan warga terkait aktivitas pemuatan batu bara yang dibungkus dalam karung.
Kerugian negara diperkirakan mencapai Rp5,7 triliun. Rinciannya: Rp3,5 triliun dari kehilangan hasil tambang sejak 2016 hingga 2024, serta Rp2,2 triliun akibat kerusakan lingkungan dan hutan.
Angka tersebut berpotensi bertambah seiring perhitungan lanjutan atas dampak ekologis yang ditimbulkan.