apakabar.co.id, JAKARTA – Pendaftaran sekolah dan kuliah sudah dibuka. Namun, banyak anak-anak di Jawa Barat justru belum bisa melanjutkan pendidikan karena ijazah mereka masih ditahan pihak sekolah. Masalah ini bukan hal baru, tetapi hingga kini belum juga menemukan solusi nyata.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menerima banyak aduan dari warga terkait penahanan ijazah oleh sekolah, terutama sekolah swasta. Orang tua murid mengaku belum bisa mengambil ijazah anaknya karena belum melunasi biaya pendidikan. Padahal, sebelumnya Gubernur Jawa Barat telah berjanji akan menanggung biaya tebusan ijazah tersebut. Sayangnya, janji itu belum ditepati.
Di sisi lain, pihak sekolah swasta pun merasa dirugikan. Mereka terpaksa menahan ijazah karena biaya operasional belum terpenuhi. Para kepala sekolah, termasuk madrasah dan pesantren, mengaku tertekan dengan kondisi ini.
Mereka menyebut Gubernur Jabar Dedi Mulyadi telah meminta agar ijazah segera diserahkan kepada siswa, tapi dana tebusan yang dijanjikan belum juga cair. Akibatnya, mereka kesulitan menjalankan kegiatan belajar-mengajar karena terbatasnya dana.
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, menegaskan bahwa tanggung jawab pembiayaan pendidikan ada di tangan pemerintah. Seharusnya, Gubernur Jawa Barat segera menunaikan janjinya agar tidak ada pelanggaran terhadap hak anak untuk mendapatkan pendidikan.
Ubaid menyebut, daya tampung SMA dan SMK negeri di Jawa Barat hanya sebesar 36 persen dari total kebutuhan. Itu artinya, sekitar 64 persen siswa terpaksa masuk ke sekolah swasta.
Dengan minimnya sekolah negeri, peran sekolah swasta menjadi sangat penting. Maka, sudah sewajarnya jika pemerintah daerah turut bertanggung jawab terhadap biaya pendidikan di sekolah-sekolah swasta.
Jika masalah ini tidak segera diselesaikan, maka akan terjadi peningkatan jumlah anak putus sekolah secara besar-besaran. “Saat ini saja, Jabar sudah menjadi provinsi dengan jumlah anak putus sekolah terbanyak di Indonesia,” kata Ubaid di Jakarta, Jumat (16/5).
Ubaid mengecam keras lambatnya respons gubernur terhadap masalah ini. Ia menyebut janji gubernur terkait pembayaran biaya tebusan ijazah kini hanya isapan jempol. “Kami sudah cukup lama menunggu. Tapi yang kami lihat hanya janji-janji dan retorika. Sementara anak-anak terus menjadi korban,” tegasnya.
Penahanan ijazah disebut sebagai bentuk kezaliman yang merampas masa depan anak-anak. Tanpa ijazah tersebut, mereka tidak bisa melanjutkan pendidikan atau pun mencari pekerjaan. Ini sangat merugikan generasi muda yang seharusnya bisa menggapai cita-cita mereka.
JPPI menuntut agar Gubernur Jawa Barat segera bertindak. Mereka menuntut tiga hal utama: segera membayar seluruh biaya tebusan ijazah siswa di sekolah-sekolah swasta tanpa penundaan, lakukan evaluasi dan reformasi sistem pembiayaan pendidikan, agar lebih berpihak pada siswa dan sekolah dan terapkan kebijakan sekolah gratis, baik untuk sekolah negeri maupun swasta, agar semua anak di Jawa Barat bisa bersekolah tanpa hambatan biaya.
Menurut Ubaid, pemerintah pusat dan daerah seharusnya menggunakan minimal 20 persen dari APBN dan APBD untuk sektor pendidikan, sesuai amanat konstitusi. Tanpa langkah konkret, kasus penahanan ijazah ini akan terus berulang, dan krisis pendidikan di Jawa Barat akan semakin dalam.
“Cukup sudah janji-janji kosong. Kami ingin tindakan nyata. Jika gubernur mengabaikan masalah ini, JPPI tidak akan tinggal diam. Masa depan anak-anak Jabar tidak boleh dikorbankan hanya demi kepentingan pencitraan politik,” pungkas Ubaid.