Sejarah Orang Balik, Identitas yang Tersembunyi di balik Sepaku IKN

Bentang alam di perbatasan Semoi-Sepaku-Bukit Bangkirai, Kalimantan Timur, yang masih memiliki hutan lebat. Foto: Antara

apakabar.co.id, JAKARTA – Dalam pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) tidak banyak yang tahu terdapat komunitas adat berdampingan dengan alam dijantung hutan itu, yaitu Orang Balik.

Meski nama mereka melekat erat pada kota Balikpapan, keberadaan Suku Balik justru tenggelam dalam sejarah dan narasi besar Kalimantan Timur.

Menurut Sabardin, tokoh Forum Kesepakatan Masyarakat Sepaku (FKMS), Orang Balik memang dikenal sebagai suku yang tertutup dan enggan menonjolkan diri.

“Kami memang pemalu dan tidak suka menonjolkan diri.” kata Sabardin yang juga keponakan dari Sibukdin, Kepala Adat Orang Balik.

Berbeda dengan suku-suku lain seperti Kutai, Kenyah, atau Benuaq yang terkenal dengan seni dan tradisinya, Orang Balik memilih hidup sederhana dan harmonis dengan alam.

Kehidupan mereka dulunya berpusat di Tanjung Gonggot, Balikpapan—sebelum pindah ke wilayah Sepaku melalui jalur laut, menyusuri Teluk Balikpapan dan Sungai Sepaku.

Menurut Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Orang Balik pernah menjadi bagian penting dari wilayah pesisir yang kini berubah menjadi pusat industri.

Sejarah lisan menyebutkan bahwa Sultan Kutai Aji Muhammad Idris pada tahun 1739 pernah meminta rakyat di Teluk untuk menyumbangkan papan bangunan, yang beberapa di antaranya terbalik dan hanyut—menjadi cikal bakal nama “Balikpapan”.

Namun, kolonialisme mengubah segalanya. Eksplorasi minyak oleh Belanda memaksa masyarakat adat bergerak ke selatan, menempati wilayah yang kini dikenal sebagai Benuo Sepaku.

Tahun 1920, Benuo Sepaku dilanda tragedi: wabah misterius bernama delanan menewaskan banyak warga. Dalam puncaknya, sepuluh orang meninggal setiap hari.

Wabah ini dikaitkan dengan kesalahan dalam ritual adat, di mana sesajen diberikan oleh pihak luar yang tak seharusnya.

“Itu bentuk kemarahan leluhur,” kata Sabardin.

Tragedi ini memaksa banyak Orang Balik mengungsi ke berbagai daerah. Beberapa ke Samarinda, Loa Kulu, hingga Salok Api di pesisir timur. Bekas lahan, kebun, bahkan makam leluhur ditinggalkan begitu saja.

Masa pendudukan Belanda dan Jepang pun turut menambah derita. Pemuda Balik dipaksa kerja rodi oleh Belanda, namun tidak oleh Jepang yang lebih banyak mendatangkan pekerja paksa dari Jawa.

Bahkan setelah kemerdekaan, Sepaku sempat dikuasai oleh kelompok bersenjata yang mengaku bagian dari KRyT pimpinan Ibnu Hadjar. Alih-alih melindungi rakyat, mereka justru melakukan kekerasan.

Masyarakat Balik kembali mengungsi. Baru setelah 1963, mereka perlahan kembali. Tapi trauma dan perpindahan telah meninggalkan luka panjang pada sejarah komunitas ini.

Kini, ketika Sepaku menjadi pusat pembangunan IKN, keberadaan Orang Balik kembali menjadi perhatian.

Otorita IKN, melalui Deputi Lingkungan Hidup dan SDA, menyusun Rancangan Peraturan Kepala (Ranperka) untuk melindungi kearifan lokal.

“Kami tidak akan menghapus yang sudah ada, justru memperkuatnya agar IKN selaras dengan budaya dan alam,” ujar Deputi Myrna A. Safitri.

Basuki Hadimuljono, Kepala Otorita IKN, juga menegaskan bahwa masyarakat adat tetap warga IKN, bahkan akan disiapkan kawasan cagar budaya sebagai bentuk penghormatan.

Pemerintah Daerah pun tak tinggal diam. Perda No. 2 Tahun 2017 tentang pelestarian budaya menjadi payung hukum penting untuk melindungi eksistensi Suku Balik.

Suku Balik mungkin tak banyak bicara, namun sejarah mereka terpatri dalam tanah Sepaku—sebagai bagian dari identitas bangsa.

Ketika IKN dibangun sebagai kota masa depan, kisah masa lalu Orang Balik adalah pengingat: bahwa kemajuan tak boleh menghapus akar.

 

7 kali dilihat, 7 kunjungan hari ini
Editor: Raikhul Amar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *