Flash, News  

Semburan Gas di Sanga-Sanga, JATAM Endus Kelalaian Pertamina

apakabar.co.id, JAKARTA – Sudah dua pekan sejak semburan gas dan api muncul dari sumur milik PT Pertamina Hulu Sanga Sanga (PHSS) di Kelurahan Jawa, Kecamatan Sanga-Sanga, Kutai Kartanegara. Namun hingga kini, warga belum mendapat kejelasan mengenai penyebab dan dampak dari insiden tersebut.

Peristiwa yang terjadi pada Kamis pagi, 19 Juni 2025, sekitar pukul 05.00 WITA, sempat mengejutkan warga karena disertai semburan setinggi 12 meter yang diduga mengandung zat beracun seperti hidrogen sulfida (H2S), metana, etana, dan senyawa hidrokarbon berbahaya lainnya. Warga melaporkan gejala mual, sakit kepala, dan sesak napas.

“Bau menyengat muncul sejak pagi, kami langsung keluar rumah,” kata Suhardi (52), salah satu warga yang tinggal 700 meter dari lokasi semburan, dikutip dari laporan temuan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Rabu (3/7). Bersama istrinya, Noordayanti (42), ia mengaku terpaksa mengungsi karena khawatir akan risiko kesehatan.

Insiden ini disebut mirip dengan peristiwa kebocoran gas tahun 1988 yang menewaskan dua orang warga karena terpapar gas beracun.

JATAM Kaltim menilai Pertamina dan kontraktornya, PT Pertamina Drilling Services Indonesia (PDSI), abai dan tidak transparan. “Sudah 14 hari berlalu, tidak ada penjelasan resmi soal penyebab ledakan dan dampaknya. Informasi yang diberikan justru mengecilkan bahaya,” kata Mareta Sari, Dinamisator JATAM Kaltim.

Menurut JATAM, tak pernah ada sosialisasi kegiatan pengeboran, termasuk dokumen dampak lingkungan (AMDAL) dan standar prosedur tanggap darurat. Warga tidak dibekali pengetahuan menghadapi insiden seperti ini.

Selain udara, air juga turut tercemar. Hingga kini, hasil uji laboratorium atas kualitas air dari Puskesmas dan PDAM Tirta Mahakam belum keluar. Namun warga mengeluhkan bau menyengat, warna keruh, dan munculnya lumpur di air leding.

Ironisnya, distribusi air tetap dilakukan karena bertepatan dengan pelaksanaan MTQ tingkat kecamatan. “Apakah warga dan peserta MTQ tahu risikonya?” kritik Mareta.

JATAM mencatat bahwa pencemaran air meluas hingga ke saluran air, tanah, dan udara. Bahkan hewan ternak dan ikan di aliran sungai sekitar ikut terdampak. Diperkirakan 20 ribu meter kubik air yang tercemar sudah terdistribusi ke sekitar 3.600 pelanggan PDAM.

“Lima RT terdampak langsung, RT 02, 04, 05, 06, dan 08. Tapi belum ada pemeriksaan udara ambien atau pemantauan kondisi paru-paru warga,” kata Abdul Azis, Divisi Advokasi dan Hukum JATAM Kaltim.

JATAM menilai bantuan dari perusahaan tidak layak. Warga hanya menerima air mineral, susu kaleng, dan vitamin B kompleks untuk tiga hari. Di RT 04 yang berisi 166 kepala keluarga, hanya tersedia 48 kaleng susu. Pembagian yang tidak merata memicu konflik sesama warga.

“Ini bukan bantuan, tapi penghinaan terhadap akal sehat,” ujar Azis.

JATAM menilai telah terjadi pelanggaran terhadap: UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas, PP No. 35 Tahun 2004 tentang Usaha Hulu Migas, dan Permen ESDM No. 32 Tahun 2021 tentang Inspeksi dan Keselamatan Instalasi Migas.

Mereka mendesak pencabutan izin pengeboran sumur LSE-P715 dan izin lingkungan perusahaan. JATAM juga meminta Kementerian ESDM, Dirjen Pengendalian Pencemaran Lingkungan, serta Inspektur Tambang membentuk tim independen melibatkan masyarakat sipil untuk menyelidiki insiden ini.

“Pertamina harus meminta maaf kepada publik, memulihkan lingkungan, dan memberikan kompensasi layak, tidak hanya bagi warga terdekat, tapi seluruh masyarakat Sanga-Sanga yang ikut menanggung risiko,” tegas Mareta.

Media ini sudah mencoba mengonfirmasi Pertamina. Manager Comrel & CID PHSS, Dony Indrawan belum merespons upaya konfirmasi media ini.

5 kali dilihat, 5 kunjungan hari ini
Editor: Raikhul Amar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *