Sidang Hak Anak PBB: Pemerintah Indonesia Kewalahan Jawab Isu Sensitif

Ilustrasi - Pelajar MI Gelarsari, Kampung Gelarsari, Desa Boyongsari, Kecamatan Bantargadung, Kabupaten Sukabumi, Jabar saat menikmati makan siang gratis yang berasal dari program IFSR pada Senin (29/4/2024). Foto: ANTARA

apakabar.co.id, JAKARTA – Pemerintah Indonesia tengah menghadapi sorotan tajam dari dunia internasional terkait pemenuhan hak-hak anak. Dalam sidang Komite Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (CRC) di Jenewa, Swiss, pada Selasa, 14 Mei 2025, delegasi Indonesia (DELRI) dinilai belum mampu menjawab secara tuntas berbagai persoalan serius yang dihadapi anak-anak di tanah air.

Selama lebih dari dua jam, seluruh anggota Komite CRC mengajukan pertanyaan-pertanyaan tajam. Isu-isu yang dibahas mencakup kekerasan seksual, perkawinan anak, diskriminasi terhadap kelompok minoritas dan anak penyandang disabilitas, hingga eksploitasi anak dalam dunia digital dan pariwisata gelap.

Hal lainnya, DELRI tampak tidak siap menjawab pertanyaan yang dilontarkan anggota Komite menyangkut isu krusial, di antaranya pertanyaan konsep Indonesia Emas yang dianggap ambisius, hingga isu keracunan makanan dalam program makan bergizi gratis (MBG).

Salah satu isu utama yang disorot adalah praktik perkawinan anak. Meskipun usia minimum pernikahan telah dinaikkan menjadi 19 tahun, kenyataannya masih banyak dispensasi yang diberikan oleh pengadilan. Pemerintah berdalih dispensasi hanya berlaku bagi usia 17–18 tahun. Namun, mereka tidak menyebut data penting seperti jumlah kasus, lokasi, dan alasan pemberian izin.

Persoalan lain yang mencuat adalah pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah. Dalam sidang, perwakilan pemerintah menyebut kasus ini hanya insiden lokal di Padang, Sumatera Barat. Namun anggota Komite, Thuwayba Al Barwani dari Oman, membantah dengan menyebut bahwa data mereka menunjukkan kasus serupa terjadi di 24 provinsi.

Selain itu, Peraturan Daerah Kota Bogor tentang penyimpangan seksual juga dinilai diskriminatif. Pemerintah tidak memberikan penjelasan menyeluruh dan hanya menyebut kebijakan pusat tidak sejalan dengan tindakan diskriminatif tersebut. Sayangnya, pendekatan yang digunakan masih normatif dan belum menyentuh akar masalah.

Menurut Daniel Awigra, Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG), sidang ini seharusnya menjadi ruang refleksi dan perbaikan. “Alih-alih membuka dialog, DELRI justru terlihat bertahan dan berdalih. Padahal, Komite menawarkan kesempatan untuk mengevaluasi kebijakan secara terbuka dan berdasarkan perspektif hak anak,” ujarnya.

Komite CRC juga menyoroti isu serius lainnya seperti sterilisasi paksa terhadap anak disabilitas, nasib 400 anak WNI di kamp pengungsi Suriah, serta ketimpangan layanan publik di wilayah timur Indonesia. Delegasi Indonesia hanya memberikan jawaban umum, seperti “komitmen pada inklusi” dan “kajian masih berjalan”, tanpa menyampaikan langkah konkret.

Salah satu bentuk kekecewaan muncul dari Suzanne Aho, anggota Komite dari Togo, yang menyatakan, “Saya tidak yakin bagaimana Indonesia menangani masalah-masalah seperti ini.” Hal ini mencerminkan bahwa jawaban dari pihak pemerintah belum cukup meyakinkan dunia internasional.

DELRI dinilai lebih fokus pada jargon pembangunan seperti Asta Cita dan program-program pemerintah yang sifatnya prosedural, dibanding menjelaskan substansi dan akar persoalan. Ketika ditanya soal ratifikasi protokol opsional ketiga CRC, yang berkaitan dengan akses anak ke keadilan, pemerintah pun belum memberikan jawaban tegas.

Selain membahas kebijakan, Komite juga mempertanyakan partisipasi anak-anak dalam perencanaan dan pelaksanaan program pemerintah. Apakah mereka benar-benar dilibatkan? Apakah suara mereka didengar?

Sidang ini akan dilanjutkan ke hari kedua, Kamis, 15 Mei 2025, pukul 15.00 WIB. Publik dapat mengikuti prosesnya melalui laman: bit.ly/Day2CRC, serta diskusi lanjutannya pada pukul 17.30 WIB melalui bit.ly/SidangHakAnak.

Sidang Komite Hak Anak PBB ini menjadi pengingat penting bahwa pemenuhan hak anak bukan sekadar soal regulasi dan program, tetapi tentang komitmen nyata, transparansi, dan kesediaan untuk berubah demi masa depan generasi Indonesia.

75 kali dilihat, 76 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *