Taman Nasional Kutai, Rumah Abadi Sang Ulin dan Orangutan

Pohon ulin raksasa berusia lebih dari seribu tahun di Taman Nasional Kutai. Foto: Antara

apakabar.co.id, JAKARTA — Di jantung Kalimantan Timur, terhampar sebuah benteng terakhir keanekaragaman hayati yang tetap kokoh menghadapi arus zaman: Taman Nasional Kutai (TNK).

Dengan luas 198.629 hektare, kawasan ini lebih dari sekadar hutan tropis. Ia adalah laboratorium hidup, ruang kontemplasi ekologis, sekaligus saksi bisu sejarah panjang konservasi Indonesia.

Namun dari semua yang ditawarkan TNK, satu sosok berdiri tegak sebagai ikon: pohon ulin seribu tahun.

Dikenal sebagai kayu besi Kalimantan, ulin (Eusideroxylon zwageri) adalah lambang kekuatan dan keteguhan alam. Ditemukan pada 1993 di kawasan Jungle Park Sangkima, pohon ulin raksasa ini awalnya memiliki diameter 2,42 meter.

Kini, tiga dekade berlalu, diameternya menyentuh 2,52 meter. Perlahan namun pasti, ia tumbuh—mewakili ketekunan hutan untuk terus hidup.

Perjalanan Menuju Legenda

Untuk menyapa sang legenda, pengunjung harus menempuh jalur trekking sepanjang lima kilometer. Medannya menantang, penuh tanjakan dan jembatan kayu yang menggantung dramatis di atas aliran sungai Sangkima.

Salah satu yang terkenal adalah Tanjakan Meranti, tempat pengunjung diuji fisiknya sebelum dihadiahi pemandangan yang memukau.

Rumah pohon di tengah jalur jadi tempat singgah yang damai—sebuah panggung kecil untuk menyaksikan teater megah bernama hutan tropis.

Lebih dari sekadar destinasi wisata, perjalanan ini adalah ziarah ekologis. Ketika akhirnya pengunjung berdiri di hadapan pohon ulin raksasa itu, muncul rasa kecil dan kagum yang menyelinap ke dalam hati.

Di balik batang tuanya, tersembunyi catatan waktu yang bahkan lebih panjang dari usia banyak peradaban modern.

Babak Panjang Konservasi

TNK tak langsung menjadi taman nasional. Pada 1932, Belanda menetapkannya sebagai Wildreservaat Koetai. Beberapa tahun kemudian, menjadi Suaka Margasatwa Kutai berkat keputusan Kerajaan Kutai.

Luasnya terus berubah mengikuti dinamika politik dan pembangunan: pernah mencapai 306.000 hektare, menyusut ke 200.000 hektare, hingga akhirnya resmi ditetapkan sebagai taman nasional pada 1991.

Sejak itu, TNK menjadi lokasi penting bagi program reintroduksi orangutan—spesies yang menjadi duta besar konservasi Kalimantan.

Pemerintah secara bertahap melakukan pengukuhan batas kawasan, memperluas perlindungan hingga mencakup area strategis biodiversitas di Kalimantan Timur dan Utara.

Wisata Edukatif dan Tantangan Tata Ruang

Pada 2021, TNK ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Status ini membawa tanggung jawab baru: menjadikan TNK sebagai pusat wisata berbasis edukasi dan pelestarian.

Jalur-jalur trekking, jembatan ulin, dan rumah pohon bukan hanya wahana hiburan, tapi juga sarana menyadarkan pengunjung akan pentingnya menjaga alam.

Namun, tantangan tetap ada. Revisi RTRW Kalimantan Timur 2024 mengurangi sekitar 400 hektare luas TNK, terutama di area yang sudah lama menjadi permukiman warga.

Meski begitu, pihak Balai TNK menegaskan bahwa fungsi konservasi tetap menjadi prioritas utama.

Zona, Batas, dan Nilai yang Dijaga

TNK dibagi dalam empat zona: inti, rehabilitasi, pemanfaatan, dan penyangga. Zona inti bebas dari intervensi manusia.

Zona rehabilitasi berfungsi memulihkan ekosistem rusak. Zona pemanfaatan dibuka terbatas untuk wisata dan aktivitas tradisional, sementara zona penyangga bertugas melindungi kawasan utama dari tekanan eksternal.

“Di taman nasional, prinsipnya adalah menjaga, bukan mengeksploitasi,” ujar Budi Isnaini, Kepala Seksi Pengelolaan TNK Wilayah I Sangatta.

Bahkan pemanfaatan tradisional seperti mengambil rotan, hanya boleh dilakukan untuk kebutuhan pribadi dengan pengawasan ketat.

Menjaga Warisan, Menanam Masa Depan

TNK bukan hanya tentang pohon, hewan, dan jalur trekking. Ia adalah warisan, ruang pendidikan, dan simbol bahwa pelestarian bisa berjalan berdampingan dengan pembangunan—jika dilakukan dengan hati-hati dan hormat terhadap alam.

Pohon ulin seribu tahun itu bukan hanya sebatang kayu besar. Ia adalah pengingat: bahwa waktu boleh berjalan, dunia boleh berubah, tapi alam punya cara sendiri untuk bertahan—asal manusia memilih untuk turut menjaga.

 

4 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Raikhul Amar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *