apakabar.co.id, JAKARTA – Thomas Steven Gomes (21), buruh sawit asal NTT, menjadi korban ke-50 yang tewas di lubang tambang di Kalimantan Timur.
Ia tenggelam pada Minggu (20/7) lalu, di lubang bekas tambang batu bara milik PT Multi Harapan Utama (MHU) di Kukar.
Ironisnya, lubang maut itu bukan pertama kali menelan korban. Sepuluh tahun lalu, tepatnya 16 Desember 2015, pelajar SMK juga tewas di lokasi yang sama.
Kini, Thomas menambah daftar panjang nyawa yang hilang akibat lubang-lubang tambang yang tak kunjung direklamasi.
Menurut keterangan warga yang dihimpun JATAM Kaltim, Thomas merupakan pekerja di kebun sawit tak jauh dari lokasi kejadian.
“Air di lubang ini sering dipakai warga untuk mandi atau mencuci, apalagi saat musim kemarau,” ujar Dinamisator JATAM Kaltim, Mareta Sari, Kamis (24/7).
Hari nahas itu, Thomas dikabarkan berenang di lubang bersama kerabatnya. Namun hanya ia yang masuk ke dalam air. Kerabatnya hanya mandi di pinggiran.
“Korban sempat merekam aktivitasnya dengan ponsel. Ia ditemukan setelah satu jam pencarian dengan mendeteksi lokasi terakhir HP-nya di tengah lubang,” kata warga lain.
Jenazah korban telah dipulangkan ke kampung halamannya di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.
JATAM Kaltim mencatat, Thomas menjadi korban ke-50 lebih sejak 2011 akibat lubang tambang yang tidak direklamasi di Kalimantan Timur.
Lubang tersebut umumnya dibiarkan menganga, terisi air beracun, dan berada sangat dekat dengan permukiman atau fasilitas umum tanpa rambu peringatan atau penjagaan.
PT MHU adalah pemegang izin PKP2B seluas 36.173 hektare dengan Nomor 56.K/30/DJB/2008. Izin awal berakhir pada 1 April 2022, namun diperpanjang hingga April 2032 menjadi IUPK setelah terbitnya UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020.
Berdasarkan hasil pemantauan lapangan JATAM Kaltim, lubang tempat Thomas tenggelam hanya berjarak sekitar 50 meter dari jalan umum.
Padahal, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2012 menyebutkan jarak aman aktivitas tambang terbuka minimal 500 meter dari permukiman.
JATAM Kalimantan Timur menilai PT Multi Harapan Utama (MHU) telah melanggar sejumlah ketentuan hukum terkait reklamasi dan keselamatan pasca tambang.
Seharusnya, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 dan Pasal 96 Undang-Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020, setiap perusahaan tambang wajib melakukan reklamasi maksimal 30 hari setelah kegiatan tambang di suatu lokasi dihentikan.
Namun, lubang tambang milik PT MHU tempat Thomas tenggelam jelas tidak direklamasi dan dibiarkan menganga hingga berubah menjadi perangkap maut.
Masalah lain yang ditemukan adalah soal kedekatan lubang tambang dengan fasilitas umum. Berdasarkan temuan lapangan JATAM, lubang tempat kejadian hanya berjarak sekitar 50 meter dari jalan publik.
Ini melanggar ketentuan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2012, yang mensyaratkan jarak minimal 500 meter antara aktivitas tambang terbuka dengan permukiman atau fasilitas umum.
Atas dugaan kelalaian ini, JATAM menilai PT MHU dapat dikenakan Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan bahwa siapa pun yang karena kesalahannya menyebabkan orang lain meninggal dunia dapat dipidana hingga lima tahun penjara.
Dalam kasus ini, kelalaian perusahaan dalam menutup lubang tambang dianggap sebagai bentuk abai yang fatal, yang berujung pada hilangnya nyawa manusia.
Karena itu, JATAM Kaltim mendesak pemerintah untuk bertindak tegas. Mereka meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencabut izin lingkungan PT MHU, serta Menteri ESDM mencabut izin tambangnya.
JATAM juga mendesak evaluasi menyeluruh terhadap seluruh aktivitas pertambangan batu bara di Kalimantan Timur, terutama terkait reklamasi lubang tambang yang dekat dengan pemukiman warga dan jalan umum.
“Sudah terlalu banyak korban. Ini bukan lagi kelalaian biasa, tapi pembiaran yang sistemik. Negara tidak boleh tutup mata,” tegas Mareta.