Tragedi Muara Kate: Di Balik Keberanian MCM Pakai Jalan Negara, Beking atau Celah Hukum?

Ternyata, keberanian MCM hauling di jalan negara hingga menyulut Tragedi Muara Kate tak hanya dilatari oleh faktor beking semata.

Sejumlah warga memasang lilin di lokasi meninggalnya pendeta Veronika yang tewas akibat tertindih truk batu bara. Foto: tangkapan layar/Youtube

apakabar.co.id, JAKARTA – Ada dua alasan kuat mengapa praktik ilegal PT Mantimin Coal Mining (MCM) mengangkut [hauling] batu bara di jalan negara bisa berlangsung mulus lebih dari setahun, hingga akhirnya memicu Tragedi Muara Kate.

Pertama, adanya tumpang tindih aturan membuat MCM bisa mengantongi izin dari Balai Besar Pelaksana Jalan Nasional (BBPJN).

Kedua, MCM sebenarnya tidak mendapatkan izin lintas, namun tetap memaksakan diri diduga karena mendapat beking.

Alasan kedua sepertinya lebih masuk akal. Sebab, akhir 2024 kemarin, BBPJN sendiri sudah memastikan bahwa MCM belum memiliki izin resmi.

BBPJN kerap menolak karena tidak memenuhi syarat, terutama terkait kelebihan beban muatan yang membahayakan kekuatan jalan dan keselamatan pengguna jalan umum.

Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Kalimantan Timur, Tiopan Henry Gultom, dalam diskusi dengan media ini, mendorong agar BBPJN bertindak tegas menghentikan praktik hauling ilegal ini.

“Kita hanya bisa mendesak Gubernur, melalui Dinas PUPR provinsi, untuk berkirim surat ke Menteri dan BBPJN agar menghentikan izin lintas di jalan nasional,” jelas dosen Universitas Mulawarman itu.

Gultom menerangkan bahwa kewenangan pemerintah provinsi hanya terbatas di jalan provinsi. Sekalipun memiliki Perda Kaltim Nomor 10 tahun 2012, kewenangan izin melintas di jalan nasional ada di pemerintah pusat.

“Perda tidak bisa mengalahkan UU, tapi daerah bisa meminta BBPJN mengevaluasi,” jelas Gultom.

Secara aturan, UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 memang sudah mewajibkan angkutan batu bara memakai jalan khusus (hauling), dan tidak berbaur dengan kendaraan umum di jalan raya. Namun, menurut Tiopan, ada celah hukum.

Angkutan tambang masih bisa melintasi jalan umum asal mendapat izin lintas berdasarkan UU tentang Jalan, yang kewenangannya berada di tangan BBPJN.

Karenanya, ia tak heran banyak kasus pengusaha tambang menggunakan jalan nasional di sejumlah daerah. Untuk menghindari tumpang tindih kewenangan seperti ini, Tiopan merasa perlu dilakukan uji materi terhadap UU Jalan.

“Inilah sebabnya Gubernur mungkin tidak berani mengambil tindakan. Karena izin lintas di jalan nasional itu kewenangan pusat, bukan daerah,” tutup Gultom.

Media ini sudah menghubungi Kepala BBPJN Kaltim, Hendro Satrio untuk memeroleh perkembangan terbaru. Tapi, tak ada respons. Senada, sejumlah kontak yang terhubung dengan direksi PT MCM juga tak merespons. Media ini sudah dua kali mendatangi kantor MCM di Cityloft Apartemen Jakarta. Namun kantor itu sudah setahun tak ada aktivitas.

Pemerintah Daerah Tetap Punya Dasar Bertindak

Sementara itu, Merah Johansyah menilai bahwa pemerintah provinsi tetap memiliki dasar hukum untuk bertindak. Sebab, Perda Nomor 10 Tahun 2012 beserta turunannya Pergub No 43 Tahun 2013 masih berlaku.

Sekadar tahu, kedua beleid ini merupakan turunan dari UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 dan beserta perubahannya UU No 3 Tahun 2020.

Secara aturan, Pasal 91 pada UU Minerba telah mewajibkan pemegang izin tambang menggunakan jalan khusus untuk mengangkut hasil tambang mereka.

Pasal 91 UU pada tersebut, kata Merah, tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki aturan teknis turunannya dalam Pasal 173 dan 174 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021.

Dalam beleid tersebut ditegaskan, pemanfaatan jalan harus memenuhi asas keadilan, kewajaran, dan kemanfaatan (Pasal 173 Ayat 5).

Menurut Merah, asas keadilan, kewajaran, dan kemanfaatan ini bisa diukur melalui Perda yang mewakili dan paling mengetahui kondisi di daerah. Di sinilah pemerintah daerah memiliki otoritas untuk menentukan apakah penggunaan jalan oleh perusahaan tambang tersebut adil dan wajar.

“Sekarang, apakah adil dan wajar kalau perusahaan pemegang izin dengan skala PKP2B memakai jalan publik? Menurut Perda, jelas tidak adil,” tegas Merah, yang pernah menjabat Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) periode 2016-2022.

Mengingat ketatnya syarat untuk mendapatkan izin melintas di jalan nasional, menurut Merah, frasa “boleh menggunakan jalan umum” tidak boleh ditafsirkan longgar.

Sebab, frasa “wajib” dalam Pasal 91 ayat (1) tentang penggunaan jalan khusus tambang bisa berujung pada sanksi administratif jika tidak dilaksanakan, sebagaimana diatur dalam Pasal 151.

“Izin seperti diatur dalam Pasal 91 dan 173-174 mesti ketat syaratnya. Karena di situ pula letak potensi korupsinya,” jelasnya.

Perusahaan tambang tak bisa seenaknya langsung menggunakan jalan umum, menurut pasal-pasal tersebut terlebih dahulu pemegang IUP harus bekerjasama dengan para pemegang IUP atau IUPK lain yang membangun jalan Pertambangan di sekitar wilayah itu; atau pihak lain seperti jalan HGU atau HPH yang memiliki jalan.

“Itupun setelah memenuhi aspek keselamatan pertambangan. Jadi tak bisa langsung manfaatkan jalan umum,” jelas Merah lagi.

Merah juga menekankan pentingnya peran kepala daerah, seperti gubernur, dalam menegakkan hukum berdasarkan Perda.

 

 

Lihat postingan ini di Instagram

 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Kabarin Lah! (@kabarinlahh)

Ia mendorong agar kepala daerah berani mengerahkan Satpol PP dan berkoordinasi dengan kepolisian jika ditemukan unsur pidana. Komisi DPRD yang membidangi penegakan hukum pun harus mengingatkan gubernur untuk menjalankan Perda secara konsisten.

Apalagi, merujuk pada Perda Nomor 10 Tahun 2012 dan Pergub Nomor 43 Tahun 2013, sejak enam bulan setelah aturan tersebut berlaku, setiap perusahaan tambang yang mengajukan izin maupun AMDAL wajib menyertakan perencanaan pembangunan jalan khusus tambang masing-masing.

Menurut Merah, akar persoalan penggunaan jalan umum untuk kepentingan tambang bermula dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Pasal 91 dalam UU tersebut pertama kali membuka peluang bagi perusahaan untuk memanfaatkan sarana dan prasarana umum untuk kegiatan pertambangan.

Setelah itu, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 terbit dan mempertegas bahwa sarana umum yang dapat dimanfaatkan mencakup jalan umum.

“Ini biang keroknya. Hari ini jalan umum yang dikorbankan, besok-besok bisa sarana umum lainnya,” kata Merah, yang kini aktif di Nugal Institute for Social and Ecological Studies.

Tragedi Muara Kate

Tanggal 15 April 2025 kemarin menandai tepat 150 hari sejak tragedi berdarah di Muara Kate, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Tragedi ini merenggut nyawa Russell (60), tokoh warga yang gigih menolak aktivitas hauling batu bara.

Saat itu, di pagi buta, posko warga di atas jalan negara diserang oleh orang tak dikenal. Serangan ini juga membuat kritis warga lain, Anson (55).

Penyerangan ini merupakan puncak dari ketegangan panjang antara warga dan truk-truk batu bara, yang diduga berasal dari tambang PT MCM.

Akar masalahnya bermula pada akhir 2023, ketika warga dan emak-emak di Batu Kajang mulai melakukan aksi pengadangan terhadap truk batu bara. Mereka resah karena jalan-jalan di kampung mereka rusak parah akibat aktivitas hauling.

Namun, aksi mereka tak banyak membuahkan hasil. Truk-truk tambang justru nekat menerobos barikade emak-emak tersebut.

Lemahnya respons pemerintah atas keluhan warga harus dibayar mahal. Pada Mei 2024, seorang pemuda bernama Teddy tewas. Ustaz yang baru menikah ini diduga korban tabrak lari oleh truk batu bara di kawasan Songka, Paser.

Beberapa bulan kemudian, pada Oktober 2024, pendeta Veronika juga meregang nyawa setelah tertimpa truk tambang yang gagal menanjak di Marangit, Paser.

Dan puncaknya terjadi pada 15 November 2024, ketika Russell tewas dalam serangan di posko warga penolak hauling. Hingga kini, pelaku pembunuhan Russell belum berhasil ditangkap.

Sebagai informasi, PT MCM adalah perusahaan tambang besar pemegang izin PKP2B. Mereka beroperasi di Kalimantan Selatan dengan area konsesi mencapai 5.908 hektare, mencakup tiga kabupaten: Tabalong, Balangan, dan Hulu Sungai Tengah.

Dalam setahun terakhir, armada truk mereka lalu-lalang ke Kalimantan Timur untuk mengangkut batu bara ke Desa Rangan.

Saking padatnya lalu lintas truk, anak-anak sekolah bahkan kesulitan sekadar menyeberangi jalan nasional yang lebarnya 5 meter.

Di lapangan, warga Muara Kate tetap berjaga siang malam, berusaha mengadang truk-truk batu bara yang masuk dari arah Kalimantan Selatan.

Komnas HAM sebenarnya sudah mengeluarkan rekomendasi kepada gubernur dan kepolisian agar melindungi warga yang melakukan penolakan. Namun hingga hari ini, belum terlihat tindakan nyata dari pemerintah maupun aparat keamanan.

19 kali dilihat, 19 kunjungan hari ini
Editor: Raikhul Amar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *