apakabar.co.id, JAKARTA – Kepolisian Daerah Kalimantan Timur (Polda Kaltim) tengah menyelidiki dugaan aktivitas tambang ilegal yang merusak kawasan konservasi Kebun Raya Universitas Mulawarman Samarinda (KRUS).
Dalam proses penyelidikan awal ini, sebanyak sembilan orang telah dimintai keterangan, termasuk dari pihak Universitas Mulawarman.
Kepala Bidang Humas Polda Kaltim, Kombes Pol Yuliyanto, mengatakan pemeriksaan dilakukan untuk mengumpulkan keterangan dan bukti awal terkait tambang ilegal yang sempat viral dan memicu kekhawatiran publik.
“Kami sudah memeriksa sekitar sembilan orang, termasuk dari pihak kampus. Namun, karena masih tahap penyelidikan, identitas mereka belum bisa kami sampaikan,” ujarnya, Sabtu (17/5).
Pihak kepolisian juga telah berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Gakkum LHK, menyepakati pembagian kewenangan penanganan perkara: Gakkum menangani unsur perusakan hutan, sementara Polda fokus pada unsur pertambangan ilegal.
Namun hingga kini, belum ada laporan polisi (LP) yang diterbitkan karena penyidik masih mengumpulkan bukti permulaan.
Proses bisa ditingkatkan ke penyidikan apabila dalam gelar perkara ditemukan cukup bukti.
“Kalau nanti gelar perkara menyimpulkan cukup bukti, barulah LP diterbitkan dan masuk tahap penyidikan,” tambah Yuliyanto.
Kasus ini menghadapi tantangan karena saat tim penyidik turun ke lokasi, tidak ditemukan lagi aktivitas tambang.
Bekas-bekas tambang memang ada, tapi alat berat yang terekam dalam video viral sudah tidak berada di lokasi. Hal ini menyulitkan proses identifikasi pelaku utama.
“Kami hanya temukan bekas-bekas kegiatan tambang. Ini jadi kendala besar karena harus ditelusuri siapa yang melakukan dan kapan dilakukan,” katanya.
Meski demikian, Polda Kaltim menegaskan komitmennya untuk menuntaskan kasus ini. Penegakan hukum tetap berjalan dan akan ditingkatkan jika alat bukti mencukupi.
“Proses hukum terus berjalan. Kami tidak berhenti sampai di sini. Kalau cukup bukti, kami akan lanjut ke penyidikan,” tegas Yuliyanto.
Kasus ini menyita perhatian publik karena terjadi di kawasan konservasi milik lembaga pendidikan tinggi, yang seharusnya steril dari kegiatan eksploitasi ilegal.