apakabar.co.id, JAKARTA – Penetapan Misrantoni alias Imis (60) sebagai tersangka pembunuhan aktivis hauling batu bara, Russell, di Muara Kate memicu gejolak.
Warga dan keluarga korban menyangsikan tudingan itu, mengingat kedekatan keduanya dan rekam jejak Misrantoni yang selama ini turut berjuang menolak hauling batu bara PT MCM.
Andri Andrianto, pengacara dari Kalimantan Law Firm yang mendampingi anak korban, Aslamiah (Miah), mengaku kliennya sempat beberapa kali bertemu langsung dengan Misrantoni.
“Waktu ke Muara Kate, sempat ketemu dia. Mukanya selalu cemberut, gesturnya gak enak. Berdasarkan keterangan klien saya dihubungkan dengan fakta diduga kuat ia sebagai eksekutornya,” jelas Andri saat dihubungi, Selasa (22/7).
Andri menyebut Miah, anak semata wayang Russell yang kini tinggal di Kalimantan Selatan, tak menyangka pamannya sendiri ditetapkan sebagai tersangka.
Selama ini, hubungan Miah dengan keluarga di Muara Kate tetap terjalin baik, termasuk dengan istri Misrantoni yang merupakan tantenya.
Misrantoni, Russell, dan Anson dikenal sebagai tiga tokoh warga yang aktif menolak aktivitas hauling batu bara oleh PT Mantimin Coal Mining (MCM) di jalan nasional.
Hauling ini sudah jelas dilarang, karena membahayakan keselamatan warga. Anak-anak kesulitan menyeberang, lalu lintas padat, dan konflik pun kerap pecah antara warga dan sopir truk.
Sebelum tragedi pembunuhan Russell pada 15 November 2024, tercatat tiga warga lebih dulu kehilangan nyawa akibat aktivitas hauling.
Di awal 2024, seorang ustaz muda bernama Teddy dan pendeta Veronika tewas diduga akibat kecelakaan yang melibatkan truk batu bara.
Pada malam penyerangan posko warga, Anson (55) mengalami luka tusuk saat tertidur, sedangkan Russell meninggal dunia akibat luka serupa dalam perawatan medis.
Beberapa bulan setelah kejadian, Miah sempat melihat unggahan istri Misrantoni yang memamerkan emas dan uang tunai.
Tak lama kemudian, Misrantoni membeli mobil baru. Padahal, selama ini warga mengenal Misrantoni sebagai pemotong kayu upahan dan petani.
“Kami minta polisi usut dari mana sumber uang itu. Apakah keterkaitan dengan pembunuhan ini,” ujar Andri.
Dalam konferensi pers di Polda Kaltim siang tadi, Selasa (22/7), polisi sendiri menyatakan penetapan tersangka berdasarkan pengakuan lisan Russell ke salah seorang kerabatnya keponakannya, berinisial MR, di dalam ambulans. Disebut bahwa Russell sempat menyebut nama Misrantoni sebelum meninggal.
Namun, kesaksian MR kepada Andri justru berbeda. Menurutnya, Russell saat itu mengatakan bahwa ia sama sekali tidak mengenali pelaku penyerangan.
“Korban cuma bilang pelakunya lebih dari satu, semuanya gelap, seperti hantu. Pakaian hitam, pakai topi dan masker. Kada Pinandu (Tidak kenal),” kata Andri mengutip pernyataan Mr dalam wawancara 2 Januari 2025. Andri masih menyimpan rekaman itu hingga kini.
Andri pun mempertanyakan logika penyidikan. Jika benar Misrantoni menyerang Anson, siapa yang menusuk Russell di waktu yang bersamaan? “Ini tidak mungkin pelaku tunggal,” jelasnya.
Warga Muara Kate pun ragu. Salah satunya menyebut, Misrantoni sempat pulang sebelum penyerangan, lalu kembali ke posko atas permintaan anaknya, Andre, dan Anson.
“Waktu balik bajunya memang beda. Tapi wajar. Di rumah dia biasa tidur tanpa baju. Pas buru-buru, ya ambil baju seadanya,” ucapnya.
Warga juga menyebut tidak ada suara keributan malam itu, padahal kabarnya Anson sempat melawan. “Kalau benar ada perlawanan, pasti kami dengar. Tapi malam itu sepi,” tambahnya.
“Dan kalau Pak Imis yang menyerang, Pak Anson pasti mengenali dan sejak awal pasti menyampaikannya ke penyidik.”
Ia juga menegaskan bahwa hubungan antara Russell dan Misrantoni sangat dekat. “Mereka sepupu, sahabat, dan tak pernah ada konflik,” katanya.
Setelah tragedi itu, Misrantoni tetap aktif dalam gerakan penolakan hauling. Ia ikut dalam aksi-aksi warga, termasuk ritual bahajat [hajat menemukan pelaku] dan demonstrasi ke kantor gubernur.
“Dia tetap berdiri bersama warga. Bahkan setelah ditetapkan sebagai tersangka, dia tidak pernah mengaku. Dia bilang siap dipenjara, bahkan dibunuh pun dia ikhlas karena merasa tidak bersalah,” kata warga yang sempat bertemu dengan Misrantoni di Polres Paser ini, sebelum penetapan tersangka.
Terkait tuduhan aliran dana mencurigakan, warga menjelaskan bahwa Misrantoni membeli mobil dari hasil penjualan lahan hibah 105 hektare kepada PT Amalia Hani Sejahtera.
“Lahan itu hibah dari anak almarhum Nalius Tonan. Dia cuma dapat DP Rp80 juta, cicilan Rp3 juta per bulan,” jelas warga.
Adapun senjata yang ditemukan dalam ikatan kain merah di kepala Misrantoni disebut warga sebagai simbol pasukan merah, kelompok adat yang telah menjalani ritual tertentu.
“Kalau ada keributan, senjata itu bisa dipakai untuk bertahan,” kata seorang tokoh adat.
Warga curiga ada upaya pengalihan isu dalam kasus ini. “Berita di medsos semua dari sudut pandang polisi. Kami curiga ada konspirasi. Misrantoni dikambinghitamkan untuk lindungi dalang sebenarnya,” kata warga lainnya.
Menurut mereka, ada praktik suap agar truk batu bara bisa tetap melintas. “Kami tahu ada anggota Polres Paser dan kepala desa yang terima uang.
Bentuknya macam-macam, Tip atau CSR. Polisi tahu ini, tapi kalau dalangnya ditangkap, nggak ada untung. Kalau saksi TKP dijadikan tersangka, mungkin perusahaan mau bayar,” tuding seorang warga.
Mereka menilai penetapan Misrantoni tak masuk akal. “Kalau dia pelaku, pasti sudah kabur. Tapi dia ikut aksi, datang ke kantor gubernur, dan penuhi panggilan polisi. Mana ada pembunuh yang begitu?” tegasnya.
Polisi menyatakan penyidikan masih berjalan. Kapolda Irjen Endar Priantoro menyebut fokus utama saat ini adalah membuktikan pidananya.
Direktur Reskrimum Kombes Jamaluddin Farti menyatakan sudah mengantongi empat alat bukti: keterangan saksi, autopsi, video, dan dokumen visum serta ekshumasi.
Barang bukti juga telah diamankan, termasuk pakaian korban dan tersangka, tujuh HP saksi, serta dokumen penginapan. Polisi juga sudah berkoordinasi dengan LPSK untuk perlindungan saksi.
“Dua alat bukti sudah cukup, kami punya empat. Prinsip kami, bukti harus lebih terang dari cahaya,” tegas Jamaluddin.