Opini  

Dari Perang Tarif ke Strategi Ekspor: Pelajaran dari Relasi Dagang AS-China

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Foto: Bloomberg

Oleh: Syafruddin Karimi*

Perang tarif yang berkepanjangan antara Amerika Serikat dan China telah mengubah lanskap perdagangan global secara fundamental. Ketegangan ini bukan sekadar persoalan neraca dagang atau defisit fiskal, melainkan cerminan dari persaingan hegemoni ekonomi dan arah baru globalisasi.

Presiden Trump sejak 2018 telah menggulirkan tarif tinggi terhadap China, dan grafik ekspor menunjukkan dampaknya nyata: ekspor AS ke China stagnan, bahkan menurun, sementara ke Kanada dan Meksiko—dua mitra dekat—terus meningkat. Strategi tekanan tarif, alih-alih membangkitkan kembali dominasi industri AS, justru membuka peluang pergeseran aliansi dagang global.

Dalam pernyataan publik pertamanya mengenai tarif, Presiden China Xi Jinping menegaskan bahwa China dan Uni Eropa perlu “memenuhi tanggung jawab internasional mereka dan bersama-sama menentang tindakan sepihak yang bersifat intimidatif.”

Baca juga: Langkah Politik: Tidak Ada Lagi Teori Ekonomi

Seruan Xi ini bukan sekadar respons, tetapi sinyal kuat bahwa Beijing tengah menyusun aliansi strategis baru bersama mitra global seperti Uni Eropa untuk menghadapi tekanan sepihak Amerika Serikat. Dalam tatanan ekonomi dunia yang semakin multipolar, China menampilkan diri sebagai penjaga multilateralisme—sesuatu yang dulu identik dengan AS.

Bagi Indonesia, situasi ini memberikan pelajaran sekaligus peringatan. Respons terhadap tekanan tarif tidak boleh dibingkai dalam logika kompromi cepat dan konsesi sepihak. Penurunan tarif impor baja dan produk elektronik, misalnya, bisa dipahami sebagai langkah pragmatis, namun berisiko melemahkan industri nasional bila tidak disertai strategi jangka panjang yang berfokus pada penguatan daya saing dan penciptaan nilai tambah.

Indonesia perlu memanfaatkan jeda 90 hari dari kebijakan tarif AS sebagai waktu strategis untuk membangun posisi tawar, bukan sebagai celah untuk mencari “jalan damai” dengan menyerahkan kepentingan industri domestik. Dalam teori permainan (game theory), jeda semacam ini sering kali menjadi taktik untuk menunggu pihak lawan menyerah lebih dulu.

Maka dari itu, langkah Indonesia semestinya diarahkan pada penguatan diplomasi regional bersama ASEAN, serta mendorong integrasi pasar intra-kawasan sebagai perisai terhadap guncangan eksternal.

Baca juga: Tarif Ekstra Tinggi dalam Pikiran Trump

Di saat kekuatan besar seperti China dan Uni Eropa mulai menjajaki solidaritas ekonomi global untuk melawan unilateralisme, Indonesia harus mengambil bagian dalam mendorong tatanan perdagangan yang adil dan setara.

Bukan dengan menjadi pengikut arus dominan, tetapi dengan membangun kapasitas produksi, memperluas pasar ekspor, dan membangun arsitektur industri nasional yang tangguh. Strategi ekspor Indonesia tidak boleh dibangun di atas ketakutan terhadap tekanan, melainkan keyakinan akan kemampuan dalam bersaing dan bertahan.

Jika perang tarif membuka babak baru dalam ekonomi dunia, maka jawaban Indonesia harus dimulai dari strategi ekspor yang berpihak pada kemandirian, bukan ketergantungan. Ketika dunia mulai mencari keseimbangan baru, Indonesia punya kesempatan untuk tidak sekadar ikut, tetapi juga memimpin arah perubahan.

*) Guru Besar Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Andalas

9 kali dilihat, 9 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *