1446
1446
Opini  

Kesucian Jiwa dalam Silaturahim

Guru Besar Pendidikan Islam Universitas PTIQ Jakarta, Prof. Dr. Made Saihu, M. Pd. Foto: Dok. Pribadi

Oleh: Made Saihu*

Pada setiap hari raya Idulfitri kita sering mengucapkan “Minal Aidin wal Faizin” sebuah harapan dan doa yang kita ucapkan kepada sanak keluarga dan handai tolan. Tetapi tahukah kita, apa maksud dari ucapan ini? Jika dilihat dari segi Bahasa, kata “minal ‘aidin” berarti semoga kita termasuk orang-orang yang kembali. Kembali di sini adalah kembali kepada fitrah, yakni “asal kejadian”, atau “kesucian”, dan atau “agama yang benar”.

Untuk mengajak kita kembali ke asal kejadian di mana kita merupakan makhluk yang suci, maka Allah dengan Rahman dan Rahim-Nya menciptakan satu bulan yaitu Ramadan yang bemakna bebatuan panas dan membakar, sesuai arti dari bulan ini, maka Ramadan telah membakar segala kotoran yang ada di jiwa agar manusia siap untuk kembali ke asal kejadian dalam keadaan suci.

 

أتي رمضان مزرعة العباد تطهير القلوب من الفساد

Ramadan itu didatangkan sebagai ladang bagi hamba, untuk menyucikan diri mereka dari segala kekotoran.

 

Yaitu setelah mengasah dan mengasuh jiwa dengan berpuasa selama satu bulan, setiap kita diharapkan dapat kembali ke asal kejadian dan menemukan “jati diri”, yaitu kembali suci sebagaimana ketika kita baru dilahirkan serta kembali mengamalkan ajaran agama yang benar sebagaimana fitrah yang dititahkan Allah pada QS. 30: 30.

Salah satu fitrah yang ditetapkan pada kita adalah keharusan untuk selalu menyambung tali silaturahim dan menebar kasih sayang. Keharusan dan keinginan batin kita untuk selalu bersilaturahim sebenarnya bukan tanpa alasan, karena tanpa kita sadari, sebalum kita menyambung silaturahim kepada sesama manusia di bulan Syawal—sebagaimana tradisi kita di hari Lebaran—kita telah didesain oleh Allah untuk menyambung “tali silaturrahim” kepada-Nya di bulan Ramadan.

Buktinya adalah adanya dorongan kuat dalam batin kita untuk selalu membaca dan mentadabburi Al-Qur’an, karena mereka yang gemar membaca Al-Qur’an ini dinilai bahwa dia telah bersilaturahim kepada Allah, sehingga diangkat menjadi keluarga-Nya.

 

انّ للّه أهلين من الناس قالوا: يارسول الله من هم؟ قال: هم أهل القرأن أهل الله وخاصّته

Sesungguhnya Allah memiliki keluarga dari kalangan manusia, para sahabat bertanya “siapa mereka ya Rasulullah?” beliau menjawab, “mereka adalah ahli Al-Qur’an, mereka diangkat menjadi keluarga Allah yang menempati posisi mulia di sisi-Nya.

 

Sudahkan kita membaca Al-Qur’an di bulan Ramadan, sudahkah kita mentadabburi Al-Qur’an di bulan Ramadan, sudahkan kita menghafalkan Al-Qur’an di bulan Ramadan, jika sudah maka InsyaAllah kita termasuk orang-orang yang beruntung dan dijadikan keluarga sanak famili oleh Allah.

Seletah membahas kata Minal Aidin, selanjutnya apa yang dimaksud dengan al-faizin. Al-faizin itu diambil dari kata fawz yang berarti “keberuntungan”. Lalu apakah keberuntungan yang kita harapkan itu? Bila kita telusuri Al-Quran yang berhubungan dengan konteks dan makna ayat-ayat yang menggunakan kata fawz, ditemukan bahwa seluruhnya mengandung makna “pengampunan dan keridhaan Tuhan serta kebahagiaan surgawi.”

Kalau demikian halnya, maka wal-faizin harus dipahami dalam arti harapan dan doa, yaitu semoga kita termasuk orang-orang yang memperoleh ampunan dan ridha Allah Swt sehingga kita semua mendapatkan keberuntungan, kenikmatan surga-Nya dan kenikmatan surga itu baru akan kita dapatkan jika kita senantiasa menjalin tali silaturahim.

Inilah yang makna yang terkandung dalam QS. 55: 1-4, di mana untuk menebar kasih sayang-Nya, Allah lebih dahulu menurunkan Al-Qur’an agar manusia yang diciptakannya ini mendapat petunjuk dan bimbingan bagaimana seharusnya bersilaturahim.

Salah satu syarat untuk memperoleh anugerah itu adalah dengan memaafkan dan berlapang dada. Allah Sang Maha Sayang tidak pernah memalingkan kasih sayang-Nya kepada semua makhluk, apatah kita manusia yang lemah? (QS 24: 22).

Memaafkan dan mengampuni dengan menjalin silaturahim menjadi satu kewajiban bagi semua orang yang beriman. Silaturahim yang terambil dari kata shilat dan Rahim. Masing-masing bermakna menyambung atau menghimpun dan Rahim bermakna kasih sayang, harus terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari.

Tidak jarang hubungan antara kita yang berada di kota dan di desa dan ditempat kerja dan di rumah sedemikian renggang akibat dari berbagai faktor dan dengan silaturahim, maka akan terjalin hubungan harmonis, tersambung kembali yang selama ini putus serta terhimpun lagi apa yang selama ini berserakan. Inilah yang dinamakan hakikat silaturahim.

 

لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنَّ الْوَاصِلَ الَّذِي إِذَا انْقَطَعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

Bukanlah dikatakan bersilaturahim (namanya) orang yang membalas kunjungan atau pemberian, akan tetapi yang dikatakan bersilaturahim adalah mereka yang menyambung apa yang putus.

 

Inilah proses di mana kita dikembalikan menjadi suci ditanggal 1 Syawal, dan untuk menjaga kesucian itu, salah satunya adalah kita diharuskan untuk saling berlapang dada, mengulurkan tangan dan saling mengucapkan minal ‘aidin wal-faizin dimulai dari hari raya dan berlaku untuk selamanya.

*) Guru Besar Pendidikan Islam Universitas PTIQ Jakarta

46 kali dilihat, 52 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *