Oleh: Awalil Rizky*
Posisi utang pemerintah biasa dilaporkan oleh Kementerian Keuangan melalui publikasi APBN Kita tiap bulan. APBN Kita disampaikan dalam siaran pers berupa paparan oleh Menteri Keuangan dan jajarannya, kemudian ada unggahan dokumen dalam laman resmi Kementerian Keuangan. Namun selama lima bulan edisi APBN Kita tahun 2025, tidak tersedia lagi dokumen tersebut.
Pada tahun-tahun sebelumnya, paparan siaran pers sering mengemukakan posisi utang pemerintah pusat per akhir bulan laporan. Namun tidak pernah disampaikan selama tahun 2025. Sedangkan dokumen APBN Kita selalu disajikan. Dengan demikian tidak tersedia informasi publik yang resmi tentang posisi utang pemerintah selama tahun 2025.
Dokumen APBN Kita edisi Februari 2025 sempat diunggah meski kemudian di “take down” dan ada informasi posisi utang per 31 Januari 2025 sebesar Rp8.909 triliun. Sebelumnya tersaji data posisi itu dalam salah satu tabel statistik sektor keuangan Indonesia dari Bank Indonesia sebesar Rp8.801 triliun per 31 Desember 2024. Sumber data itu disebut dari Kementerian Keuangan.
Baca juga: Tarif 32 Persen: Bukti Kegagalan Tim Negosiasi RI
Informasi posisi utang yang demikian mendefinisikan utang pemerintah hanya terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman saja. SBN terdiri dari SBN domestik dan SBN valuta asing, termasuk SBN Syariah. Sedangkan Pinjaman terdiri dari Dalam Negeri dan Luar Negeri.
Sebenarnya tersedia informasi dengan definisi dan angka berbeda, yang juga dari Kementerian Keuangan. Disajikan pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tiap tahun, dengan istilah Kewajiban pada bagian laporan Neraca. Neraca merupakan laporan yang menggambarkan posisi keuangan Pemerintah Pusat mengenai aset, kewajiban, dan ekuitas pada akhir tahun.
Kewajiban adalah utang yang timbul dari peristiwa masa lalu yang penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber daya ekonomi Pemerintah. Dalam konteks Pemerintahan, kewajiban bersumber antara lain dari penggunaan sumber pembiayaan pinjaman dari masyarakat, lembaga keuangan, entitas pemerintahan lain, atau lembaga internasional. Kewajiban Pemerintah juga terjadi karena perikatan dengan pegawai atau pihak lain yang bekerja pada pemerintah.
Dari pengertian itu cukup jelas bahwa kewajiban adalah utang. Dalam definisi neraca LKPP tersebut sudah mencakup definisi utang dalam dokumen APBN Kita atau yang biasa dikemukakan Pemerintah. Namun cakupannya lebih luas, seperti: utang bunga, utang subisidi, utang transfer, utang kepada pihak ketiga, dan lain-lain.
Baca juga: Beban Utang Publik, Siapa yang Menanggung?
Nilai kewajiban dalam Neraca per 31 Desember 2024 pada LKPP sebesar Rp10.269 triliun. Jauh lebih besar dari informasi posisi utang pemerintah di atas yang sebesar Rp8.801 triliun. Dari informasi lain, posisinya yang telah diaudit sedikit bertambah menjadi sebesar Rp8.813 triliun.
Perbandingan pada akhir tahun-tahun sebelumnya antara utang pemerintah yang biasa dikemukakan dengan kewajiban dalam LKPP. Perbandingan antara keduanya sebagai berikut: Rp8.144,69 triliun dan Rp9536,68 triliun (2023); Rp7.733,99 triliun dan Rp8920,56 triliun (2022); Rp6,911,30 triliun dan Rp7.538,32 triliun (2021).
Oleh karena nilai posisi utangnya berbeda, maka besaran rasio atas Produk Domestik Bruto (PDB) pun juga berbeda. Oleh karena PDB tahun 2024 sebesar Rp22.139 triliun, maka rasio berdasar definisi yang sering dikemukakan sebesar 39,81%. Jika memakai definisi LKPP, maka rasionya menjadi sebesar 46,38%.
Sebenarnya terdapat kewajiban atau utang yang tidak tercakup dalam kedua pengertian tadi, yaitu kewajiban jangka Panjang program pensiun. Berdasar standar akuntansi dan penyajian saat ini belum wajib disajikan dalam neraca. Namun, mengikuti permintaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah disajikan pada bagian catatan LKPP sejak tahun 2019 sebagai pengungkapan Kewajiban Pemerintah terkait Pensiun.
Baca juga: Mengapa Aset Pemerintah Stagnan Selama Lima Tahun?
Nilainya dihitung pemerintah sendiri dengan Metode dan Asumsi Perhitungan Kewajiban Manfaat Polis Masa Depan Program Tunjangan Hari Tua. Tiap tahun ditetapkan berdasar nota dinas ataupun peraturan lainnya dari Kementerian Keuangan dan disebut sebagai hasil Penghitungan Kewajiban Jangka Panjang Program Pensiun Pemerintah.
Nilai kewajiban tersebut per 31 Desember 2024 mencapai Rp3.556,36 triliun. Meningkat signifikan dibanding setahun sebelumnya yang per 31 Desember 2023 sebesar Rp3.120,69 triliun.
Bisa saja pengertian posisi utang pemerintah pusat diartikan mencakup kewajiban jangka panjang program pensiun. Dengan demikian ditambahkan dengan nilai Kewajiban di atas, maka menjadi sebesar Rp13.825 triliun per 31 Desember 2024. Meningkat dari setahun sebelumnya yang sebesar Rp11.265 triliun.
Rasio utang atas PDB akan bertambah besar lagi jika definisi utang pemerintah pusat mencakup seluruh kewajibannya, termasuk program pensiun. Rasionya mencapai 62,45% dari PDB. Telah melampaui batas yang diperbolehkan oleh Undang-Undang, yaitu sebesar 60%.
*) Ekonom Bright Institute