apakabar.co.id, JAKARTA – Penjualan mobil baru di pasar otomotif nasional mengalami stagnan sejak 2013 dengan kisaran di angka 1 juta unit. Itu artinya, sudah lebih satu dasawarsa penjualan mobil di Indonesia tak bergerak dari angka 1 juta unit.
Mengutip data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil nasional pertama kali menembus 1 juta unit pada 2012, yakni sebanyak 1,16 juta unit, meningkat dibandingkan 2011 yang 894.000 unit.
Selanjutnya, angkanya meningkat menjadi 1,23 juta unit pada 2013 dan sempat stabil pada 2014 dengan penjualan sebanyak 1,20 juta unit.
Setelah periode tersebut, yakni pada periode 2015 hingga 2023, penjualan kendaraan roda empat tidak pernah lagi meningkat menembus 1,2 juta unit.
Eko Harjanto, Asisten Deputi Pengembangan Industri Kemenko Perekonomian menjelaskan bahwa sejak 2015, pasar otomotif Indonesia dalam kondisi stagnasi dan sulit melampaui angka penjualan satu juta unit per tahun.
“Itu ditunjukkan dengan penjualan 10 tahun stagnan di sekitar 1 juta sejak 2015, setelah puncak penjualan pada 2013 sebesar 1,23 juta,” ucap Eko dalam acara FGD Outlook Otomotif yang diadakan media online Viva di Jakarta, Rabu (4/12).
Lebih lanjut, Eko mengatakan, terdapat beberapa penyebab penjualan mobil baru mengalami stagnan hanya di 1 juta unit selama satu dekade.
“Penyebab pertama kenapa stagnan adalah tren harga mobil di Indonesia cenderung tinggi akibat kenaikan pajak, ketergantungan pada komponen impor yang rentan terhadap fluktuasi nilai tukar, dan biaya logistik. Sehingga mengurangi keterjangkauan bagi konsumen, terutama kelas menengah-bawah, yang merupakan mayoritas populasi,” ungkapnya.
Selain itu, Eko bilang, penyebab kedua ialah pendapatan per kapita Indonesia pada 2023 sekitar USD 4.700-5.000 atau sekitar 74-79 juta per tahun (kategori menengah ke bawah).
“Jadi pendapatan itu digunakan sebagian besar digunakan untuk kebutuhan pokok rumah. seperti pangan, pendidikan, dan perumahan. Jadi anggaran untuk kendaraan menjadi terbatas. Sehingga, mempengaruhi penurunan daya beli masyarakat atas mobil,” tandasnya.
Maka dari itu, menurut dia, ada sejumlah upaya untuk memulihkan kinerja penjualan kendaraan bermotor khususnya roda empat, yaitu upaya dari sisi demand dan upaya dari sisi produsen.
“Dari sisi demand, kita berupaya untuk meningkatkan daya beli masyarakat dengan cara mengontrol inflasi melalui kebijakan moneter dan fiskal seperti program LCGC, juga relaksasi PPnBM untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB),” ujarnya.
Lalu, ia menyebut, melakukan upaya pemberian insentif bagi kendaraan ramah lingkungan dengan cara memperluas insentif bagi kendaraan listrik agar menarik lebih banyak pembeli.
“Tak ketinggalan kampanye penggunaan kendaraan lokal, dengan cara mendorong program ‘Bangga Buatan Indonesia’ di sektor otomotif untuk meningkatkan preferensi konsumen terhadap produk dalam negeri,” paparnya.
Hal senada diungkapkan Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara yang menilai penyebab penurunan kinerja otomotif karena tingginya kenaikan harga mobil yang tidak diiringi dengan kenaikan pendapatan rumah tangga.
“Para agen pemegang merek (APM) atau pelaku industri kendaraan bermotor berharap ada insentif fiskal tambahan untuk memicu penjualan mobil nasional,” bebernya.
Selain itu, menurut Kukuh, salah satu penyebab stagnasi penjualan kendaraan disebabkan melebarnya selisih harga jual mobil dibandingkan kemampuan pendapatan rumah tangga.
“Jadi besaran kenaikan harga jual mobil tidak mampu diimbangi kenaikan pendapatan rumah tangga dan kebutuhan pokok masyarakat,” imbuhnya.
Dalam riset Gaikindo bersama Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), pada 2010, rata-rata harga mobil per unit setara rata-rata pendapatan rumah tangga per tahun, yakni Rp148 juta.
Setelah itu, rata-rata harga mobil naik lebih cepat dari kenaikan rata-rata pendapatan rumah tangga per tahun.
Pada 2023 selisihnya melebar. Tahun lalu, rata-rata harga mobil per unit mencapai Rp255 juta per unit, sedangkan rata-rata pendapatan rumah tangga per tahun mencapai Rp225 juta.
”Tren kenaikan harga mobil ini dipicu oleh kenaikan biaya produksi. Material bahan baku produksi masih banyak yang impor. Di saat yang sama, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dalam tren melemah. Belum lagi, berbagai ketegangan geopolitik global mengganggu rantai pasok bahan baku yang menyebabkan terjadi lonjakan biaya logistik,” ungkapnya.
Padahal, menurut Kukuh, potensi pasar penjualan kendaraan roda empat di Tanah Air masih punya ruang pertumbuhan yang sangat luas.
Melansir data lembaga riset CEIC seperti yang disampaikan Gaikindo, rasio kepemilikan mobil mencapai 99 unit mobil per 1.000 penduduk di Indonesia.
“Angka rasio kepemilikan mobil ini jauh lebih rendah dibandingkan sesama negara Asia Tenggara, seperti Malaysia pada angka 490 unit mobil per 1.000 penduduk, Thailand 275 unit mobil per 1.000 penduduk, dan Singapura 211 unit mobil per 1.000 penduduk,” ujarnya.
“Padahal, tiga negara itu punya jumlah penduduk lebih sedikit ketimbang penduduk Indonesia,” terangnya.
Sementara itu, Ketua Tim Kerja Industri Alat Transportasi Darat Non Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB), Ditjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian, Andi Oscar La Galigo menyampaikan meskipun penjualan domestik stagnan, namun kinerja ekspor mobil terus meningkat.
“Pada 2023, ekspor mobil mencapai 505.134 unit, atau naik 6,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya dan juga melebihi target sebesar 500.000 unit. Trennya meningkat dari 2013 yang sebanyak 170.000 unit,” jelasnya.
Lebih jauh, kinerja ekspor kendaraan CBU (Completely Built Up) sudah lebih dari 93 negara tujuan ekspor dengan yang tertinggi tujuan Filipina yang sebanyak 159.121 unit.
“Disusul kemudian tujuan ekspor ke Meksiko yang sebanyak 56.483 unit. Indonesia masih jadi salah satu basis ekspor mobil merek-merek dunia,” pungkas Oscar.