Inspirasi Seorang Tuna Netra yang Sukses di Dunia Dakwah dan Usaha

Seorang tuna netra, Soni Primawanto, telah membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk berkarya dan berbagi ilmu. Foto: antara

apakabar.co.id, JAKARTA – Soni Primawanto, pria asal Kediri, Jawa Timur, telah membuktikan bahwa keterbatasan penglihatan bukan penghalang untuk terus berkarya dan menyebarkan pesan kebaikan.

Mengalami kebutaan sejak usia tiga tahun, Soni justru semakin gigih dalam menjalani hidup penuh semangat, baik dalam dunia dakwah maupun wirausaha.

Bagi Soni, keterbatasan penglihatan bukanlah alasan untuk menyerah. Sejak mengalami tuna netra pada usia tiga tahun akibat sakit panas yang merusak indera penglihatannya, Soni justru semakin gigih berkarya dan menyebarkan dakwah—baik secara langsung maupun melalui media sosial.

Awal Perjalanan dan Pembelajaran

Lahir di Desa Cerme, Kecamatan Grogol, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Soni adalah anak tunggal yang harus berjuang sejak kecil.

Lahir dan dibesarkan di Desa Cerme, Kecamatan Grogol, Soni awalnya mengalami kesulitan belajar.

Namun, berkat ketekunan dan kemampuan pendengaran yang tajam, ia berhasil menghafal Al-Qur’an tanpa bantuan huruf Braille.

Ia pun mulai mengajar anak-anak di desanya, mengajarkan mereka nilai-nilai keislaman dengan penuh dedikasi.

Pada akhir 2002, berkat dukungan perangkat desa, Soni melanjutkan pendidikan ke Malang, di mana ia mulai mengenal huruf Braille dan mempelajari keterampilan pijat refleksi.

Soni juga diajari keterampilan memijat. Antusiasme dan dedikasinya membawanya meraih prestasi, sehingga ia sempat terpilih untuk dikirim ke Jakarta.

“Di Malang saya lulus tiga besar, dikirim ke Jakarta, lalu bekerja di Semarang, Yogyakarta, Surabaya, hingga kembali ke Malang membuka praktik,” ujarnya dikutip dari Antara.

Membuka Lembaran Baru di Dunia Usaha dan Dakwah

Di Malang, Soni membuka usaha pijat refleksi yang dengan cepat mendapatkan sambutan hangat.

Dengan sistem tarif “seikhlasnya”, layanan pijat khusus untuk pria ini semakin diminati banyak pelanggan yang ingin menyegarkan tubuh setelah beraktivitas.

Meskipun memijat menjadi sumber penghidupan utamanya, Soni tidak pernah melupakan akar dakwahnya.

Meski tetap berhubungan dengan pesantren di Kecamatan Grogol, kabar duka wafatnya gurunya memotivasinya untuk kembali ke Desa Cerme dan menghidupkan kembali pesantren salaf yang pernah ramai dengan santri dari berbagai daerah.

Bersama keluarga kecil—istri dan anak berusia 10 tahun—ia pun memutuskan untuk menetap di Kediri. Menempati bangunan berukuran 100 meter x 60 meter, Soni merasa tempat itu sudah cukup untuk berteduh dan membangun kehidupan baru.

Mengelola pesantren dengan penuh amanah, ia terus mengisi hari-harinya dengan kegiatan mengaji yang menyejukkan hati, sementara sang istri, Yeni Rachmawati, pun tak keberatan mendampingi dalam keseharian yang sarat nilai keagamaan.

Meskipun pesantren itu merupakan bangunan tua, suasananya justru membuat mereka merasa tenang.

Konsistensi Mengaji di Bulan Ramadhan

Ramadhan, bulan penuh berkah, selalu menjadi momentum istimewa bagi Soni. Selama bulan suci ini, ia tak pernah berhenti berdakwah dan menjalankan praktik pijat dari pukul 07.00 WIB hingga 16.00 WIB.

Saat waktu Maghrib tiba, jeda singkat dimanfaatkan untuk istirahat dan persiapan mengaji bersama santri kecil hingga berbuka puasa, kemudian dilanjutkan dengan praktik memijat setelah shalat tarawih.

Tak hanya itu, Soni juga memanfaatkan teknologi informasi dengan menggelar pengajian daring setiap malam Jumat dan Selasa, tepat pukul 20.30 WIB.

Walaupun jumlah peserta berkisar antara 20 hingga 100 orang, ia tetap konsisten menyampaikan materi keagamaan yang bervariasi—mulai dari peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, pembahasan fiqih, hingga topik-topik Ramadhan yang menginspirasi.

“Habis shalat tarawih, saya langsung mengajar ngaji di grup pesantren daring. Ini malam Jumat dan Selasa, bukan hanya saat Ramadhan—ramadhan tetap lanjut tanpa kecuali,” ujarnya dengan tegas.

Keluarga dan Harapan di Tengah Perubahan Zaman

Meski sibuk berdakwah dan bekerja, Soni selalu menyempatkan waktu untuk keluarga.

Di bulan Ramadhan, ia dengan sabar mendengarkan hafalan Al-Qur’an dari putranya, Muhammad Alif Ramadan, dan dengan segera membetulkan apabila ada kekeliruan.

Berkat latihan yang dimulai sejak usia empat tahun, anaknya yang kini duduk di kelas 4 MI telah hafal beberapa juz dan pernah meraih juara pertama lomba hafalan saat kelas dua MI.

“Keluarga saya selalu mendukung. Ini bukan hanya tentang mengaji, tapi juga edukasi untuk yang membutuhkan dan ingin belajar,” ungkap Soni.

Dukungan keluarga menjadi kunci baginya dalam menyebarkan pesan-pesan agama.

Menurutnya, edukasi agama secara daring adalah solusi tepat untuk mengajak generasi muda—yang cenderung tertarik pada dunia media sosial—agar ilmu keislaman dapat tersimpan dalam ingatan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

“Muda-mudi kini lebih condong ke dunia umum, nasional, sehingga keagamaan kurang mendapat perhatian. Kami hadir dengan motivasi untuk mengajak mereka hidup tenang dengan agama,” tuturnya.

Melalui perjalanan hidupnya yang penuh liku, Soni Primawanto telah membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk terus berkarya dan menginspirasi.

Semangatnya dalam berdakwah dan mendidik, baik secara konvensional maupun melalui dunia digital, menjadi teladan bagi banyak orang untuk tetap mengoptimalkan potensi diri meski menghadapi rintangan.

 

17 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Raikhul Amar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *