apakabar.co.id, JAKARTA – Para ilmuwan meyakini penemuan DNA Homo sapiens tertua yang diketahui dari sisa-sisa kerangka manusia yang ditemukan di Eropa. Informasi tersebut diharapkan bisa membantu mengungkap sejarah bersama antara spesies kita dengan Neanderthal.
Hasil penelitian terbaru telah terbit di jurnal Nature pada Kamis (12/12). Penelitian itu bermula dari penggalian di sebuah gua di bawah kastil abad pertengahan di Ranis, Jerman. Di tempat itu, peneliti menemukan genom kuno yang diurutkan dari 13 fragmen tulang yang merupakan milik dari enam individu.
“Termasuk seorang ibu, anak perempuan, dan sepupu jauh yang tinggal di wilayah tersebut sekitar 45.000 tahun yang lalu,” demikian hasil penelitian yang diterbitkan di jurnal Nature.
Genom tersebut, membawa bukti nenek moyang Neanderthal. Para peneliti menduga nenek moyang manusia purba yang tinggal di Ranis dan daerah sekitarnya kemungkinan bertemu Neanderthal, lalu berkembang biak.
“Manusia purba melahirkan bayi dari Neanderthal sekitar 80 generasi sebelumnya, atau 1.500 tahun sebelumnya, meskipun interaksi tersebut tidak selalu terjadi di tempat yang sama,” tulis peneliti.
Para ilmuwan telah mengetahui sejak genom Neanderthal pertama diurutkan pada tahun 2010, diduga manusia purba telah kawin silang dengan Neanderthal. Hal itu merupakan pengungkapan yang mengejutkan dalam mewariskan genetik yang masih bisa dilacak pada manusia saat ini.
“Namun kapan tepatnya, seberapa sering dan di mana titik kritis dan misteri dalam sejarah manusia ini terjadi, sulit dipastikan,” kata peneliti.
Sejauh ini, para ilmuwan percaya hubungan antarspesies terjadi di suatu tempat di Timur Tengah, saat gelombang Homo sapiens meninggalkan Afrika dan bertemu dengan Neanderthal. Saat itu, Neanderthal telah hidup di seluruh Eurasia selama 250.000 tahun.
Sebuah studi yang lebih luas tentang nenek moyang Neanderthal juga telah diterbitkan oleh jurnal Science pada Kamis (12/12). Studi menganalisis informasi dari genom 59 manusia purba dan genom 275 manusia yang masih hidup saat ini.
Asisten profesor di departemen biologi molekuler dan sel dari University of California, Berkeley, Priya Moorjani, saat jumpa pers menjelaskan, penelitian mereka telah menguatkan garis waktu yang lebih tepat, menemukan bahwa sebagian besar nenek moyang Neanderthal pada manusia modern selalu dikaitkan dengan satu periode aliran gen yang panjang dan bersama.
“Kami jauh lebih mirip daripada berbeda,” ujar Moorjani.
Perbedaan yang dibayangkan Moorjani, antara kelompok manusia purba dan Neanderthal awalnya sangat besar, namun sebenarnya sangat kecil secara genetik.
“Mereka tampaknya telah bercampur satu sama lain untuk jangka waktu yang lama dan hidup berdampingan untuk jangka waktu yang lama,” paparnya.
Penelitian juga menunjukkan periode penting dimulai sekitar 50.500 tahun lalu dan berakhir pada 43.500 tahun yang lalu, tidak lama sebelum Neanderthal punah dan menghilang dari catatan arkeologi.
Selama rentang waktu 7.000 tahun itu, manusia purba yang bertemu Neanderthal telah berhubungan seks dan melahirkan anak secara cukup teratur. Puncak aktivitas, kata Moorjani, terjadi 47.000 tahun yang lalu.
Penelitian juga menunjukkan bagaimana varian genetik tertentu yang diwarisi dari nenek moyang Neanderthal, yang saat ini berjumlah antara 1% dan 3% dari genom kita, bervariasi dari waktu ke waktu.
Beberapa hal, seperti yang terkait dengan sistem kekebalan tubuh, ternyata bermanfaat bagi manusia saat mereka hidup melalui zaman es terakhir, ketika suhu jauh lebih dingin, dan terus memberikan manfaat hingga saat ini.
Secara umum, kedua penelitian itu memberikan keyakinan substansial pada waktu manusia dan Neanderthal bertukar gen, sesuatu yang digambarkan oleh para ahli genetika sebagai introgresi.
Profesor epidemiologi dan biostatistik di Bakar Computational Health Sciences Institute di University of California, San Francisco Tony Capra menyebut data genetik dari periode penting dalam evolusi kita ini sangat langka.
Meski tidak terlibat dalam penelitian tersebut, melalui email, Tony Capra yang merupakan ahli genetika itu menjelaskan temuan genom kuno memberikan perspektif kuat yang memungkinkan para peneliti untuk menyempurnakan pemahaman kita tentang migrasi manusia dan introgresi Neanderthal.
“Memiliki beberapa genom kuno memberikan perspektif kuat untuk menyempurnakan pemahaman tentang migrasi manusia dan introgresi Neanderthal,” terangnya.
Para ilmuwan yang mengerjakan dua proyek penelitian tersebut memutuskan untuk menerbitkan karya mereka pada saat yang bersamaan, ketika menyadari bahwa mereka secara terpisah telah mencapai kesimpulan yang sama.
Neanderthal membentuk gen manusia
Penelitian di jurnal Science menunjukkan bahwa varian genetik yang diwarisi dari nenek moyang Neanderthal kita tidak terdistribusi secara merata di seluruh genom manusia.
Beberapa wilayah, yang oleh para ilmuwan disebut sebagai ‘gurun kuno’ tidak memiliki gen Neanderthal. Di lokasi itu kemungkinan berkembang dengan cepat, setelah kedua kelompok melakukan kawin silang, dalam 100 generasi. Pertemuan itu juga mengakibatkan cacat lahir atau penyakit yang mempengaruhi peluang bertahan hidup.
“Hal ini menunjukkan bahwa individu hibrida yang memiliki DNA Neanderthal di wilayah itu secara substansial kurang bugar. Kemungkinan besar karena penyakit parah, kematian, atau infertilitas,” tulis Capra melalui email.
Secara khusus, kromosom X adalah gurun. Capra menjelasan dampak varian Neanderthal yang menyebabkan penyakit bisa lebih besar pada kromosom X. Hal itu mungkin terjadi karena terdapat dua salinan pada wanita, dan hanya terdapat satu salinan pada pria.
“Kromosom X juga memiliki banyak gen yang terkait dengan kesuburan pria saat dimodifikasi, sehingga telah diusulkan bahwa sebagian dari efek ini bisa berasal dari introgresi yang menyebabkan kemandulan hibrida pria,” paparnya.
Leonardo Iasi, salah seorang penulis utama makalah Science yang merupakan mahasiswa doktoral di Institut Max Planck untuk Antropologi Evolusioner di Leipzig, Jerman menyebut varian gen Neanderthal yang paling sering terdeteksi pada genom Homo sapiens kuno dan modern terkait dengan sifat dan fungsi.
Di antaranya mencakup fungsi kekebalan tubuh, pigmentasi kulit, dan metabolisme, dengan beberapa peningkatan frekuensi seiring berjalannya waktu.
Neanderthal, kata Iasi, hidup di luar Afrika dalam iklim zaman es yang keras dan beradaptasi dengan iklim dan patogen di lingkungan tersebut.
Ketika manusia modern meninggalkan Afrika dan kawin silang dengan Neanderthal, beberapa individu mewarisi gen Neanderthal yang memungkinkan mereka beradaptasi dan berkembang lebih baik di lingkungan baru.
Lebih jauh, Iasi menyebut, individu yang tinggal di Ranis memiliki 2,9% keturunan Neanderthal, tidak berbeda dengan kebanyakan orang saat ini.
“Garis waktu yang baru memungkinkan para ilmuwan lebih memahami kapan manusia meninggalkan Afrika lalu bermigrasi ke seluruh dunia,” katanya.
Hal itu menunjukkan bahwa gelombang utama migrasi keluar dari Afrika pada dasarnya dilakukan pada 43.500 tahun yang lalu. Itu karena sebagian besar manusia di luar Afrika memiliki nenek moyang Neanderthal yang berasal dari periode ini, demikian saran studi Science.
Namun, papar Iasi, masih banyak yang belum diketahui para ilmuwan. Misalnya, mengapa orang-orang di Asia Timur saat ini memiliki lebih banyak keturunan Neanderthal ketimbang orang Eropa, atau mengapa genom Neanderthal dari periode ini menunjukkan sedikit bukti DNA Homo sapiens.
Meskipun genom yang diurutkan dari individu Ranis merupakan yang tertua dari Homo sapiens, para ilmuwan sebelumnya telah menemukan dan menganalisis DNA dari sisa-sisa Neanderthal yang berasal dari 400.000 tahun yang lalu.
Cabang pohon keluarga manusia yang hilang
Orang-orang menyebut gua di Ranis sebagai rumah mereka, termasuk di antara Homo sapiens pertama yang tinggal di Eropa.
Orang-orang Eropa awal itu berjumlah beberapa ratus orang saja, termasuk seorang wanita yang tinggal 230 kilometer (143 mil) jauhnya di Zlatý kůň di Republik Ceko. DNA dari tengkoraknya diurutkan dalam penelitian sebelumnya, dan para peneliti di Nature berhasil menghubungkannya dengan orang-orang Ranis.
Menurut penelitian tersebut, orang-orang itu berkulit gelap, berambut gelap, dan bermata cokelat, yang kemungkinan mencerminkan kedatangan mereka yang relatif baru dari Afrika. Para ilmuwan terus mempelajari sisa-sisa dari situs tersebut, termasuk menyusun pola makan dan cara hidup mereka.
Direktur departemen arkeogenetika di Institut Max Planck untuk Antropologi Evolusi, Johannes Krause menyebutkan kelompok keluarga itu merupakan bagian dari populasi pionir yang akhirnya punah, tanpa meninggalkan jejak leluhur kepada orang-orang yang hidup saat ini.
Garis keturunan manusia purba lainnya juga punah sekitar 40.000 tahun yang lalu dan menghilang seperti halnya Neanderthal. Kepunahan itu, ujar Krause, menunjukkan bahwa Homo sapiens kemungkinan tidak berperan dalam kepunahan Homo Neanderthalensis.
“Menarik untuk melihat bahwa kisah manusia tidak selalu merupakan kisah sukses,” tandas Krause yang juga penulis senior studi Nature.