apakabar.co.id. JAKARTA – Policy Strategist Yayasan Indonesia CERAH Al Ayubi mengusulkan dana dari kenaikan tarif royalti komoditas mineral dan batu bara (minerba) dapat disalurkan ke pembangunan sektor energi hijau melalui subsidi energi baru terbarukan (EBT) atau insentif investasi hijau.
Menurut Al Ayubi dana yang diperoleh haruslah jelas diarahkan untuk mendukung pembangunan usaha energi hijau. Dia tidak ingin kenaikan royalti justru hanya dipandang sebagai tambahan pendapatan negara.
“Kenaikan royalti harus menjadi momentum perbaikan tata kelola industri ekstraktif dalam mengakselerasi transisi energi,” kata dia di Jakarta, Jumat (9/5).
Baca juga: 3 Jurus Jitu Kadin Genjot Permintaan Energi Hijau
Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, pemerintah sejauh ini baru mengalokasikan dana sekitar Rp34,2 triliun per tahun untuk energi terbarukan, jauh di bawah kebutuhan riil sebesar Rp148,3 triliun per tahun.
Situasi ini menyebabkan target bauran energi nasional dan target pengurangan emisi dalam Nationally Determined Contributions (NDC) sulit tercapai.
Tak hanya itu, Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat bahwa sepanjang 2019–2021, investasi swasta untuk energi fosil masih mendominasi sebesar 73,4 persen, sementara energi terbarukan hanya mendapat porsi 26,6 persen.
“Kesenjangan pendanaan ini menjadi hambatan utama transisi energi di Indonesia. Karena itu, dana tambahan dari kenaikan royalti minerba harus segera dialokasikan untuk menutup celah pendanaan energi terbarukan,” ucap Ayubi.
Baca juga: Genjot Energi Hijau, Kadin Usulkan Insentif ‘Tax Holiday’
Pemerintah Indonesia baru saja menetapkan kenaikan tarif royalti mineral dan batu bara (minerba) melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2025 dan PP Nomor 19 Tahun 2025.
Langkah ini dinilai positif oleh kalangan masyarakat sipil, namun mereka mengingatkan bahwa potensi peningkatan pendapatan negara ini harus diarahkan untuk mempercepat transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan di Indonesia.
Dalam kebijakan terbaru ini, pemerintah memberlakukan tarif royalti progresif untuk mineral seperti nikel, dari sebelumnya tarif tunggal sebesar 10 persen menjadi 14–19 persen, menyesuaikan Harga Mineral Acuan (HMA).