apakabar.co.id, JAKARTA – Optimalisasi energi panas bumi (geothermal) disebut dapat turut menggenjot pertumbuhan ekonomi di kawasan tertinggal, terdepan dan terluar (3T).
“Geothermal itu kan banyak terdapat di remote area. Di daerah-daerah yang jauh, bahkan jauh dari kota, jauh dari industri,” ujar Founder dan Chairman PT Supreme Energy, Supramu Santosa di Jakarta, Sabtu (30/3).
Santosa menilai efek berkesinambungan ke masyarakat dan daerah sekitar dapat terjadi bila dilakukan dengan membangun fasilitas eksplorasi panas bumi.
Adapun saat ini energi panas bumi itu dimanfaatkan sebagai tenaga pembangkit listrik yang ramah lingkungan, serta bisa mendorong terwujudnya program net zero emissions (NZE) atau nol emisi karbon Indonesia pada tahun 2060.
“Pembangunan jalan di sana, misalnya kita di daerah Sumatera Selatan kita masuk ke hutan lalu membangun jalan sekitar 65 kilometer,” katanya.
Selain itu di balik manfaat yang besar dari geothermal, energi panas bumi ini mempunyai nilai eksplorasi yang mahal dan risiko eksploitasi yang tinggi.
Sehingga untuk mewujudkan hal tersebut perlu komitmen dan dukungan besar dari pemerintah, agar pengembangan geothermal, serta pemanfaatannya bisa dilakukan secara optimal.
“Kalau kita mau develop geothermal, harus ada kebijakan dari pemerintah yang mengakomodasi itu. Pemerintah itu membandingkan harga geothermal sekian, harga solar sekian, energi sekian. Sebetulnya kita harus melihat energi mix-nya berapa, karena semuanya mempunyai kelebihan,” ujarnya.
Sebelumnya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan energi panas bumi (geotermal) di Indonesia mampu menghasilkan listrik hingga 24 gigawatt.
Potensi tersebut muncul karena Indonesia menjadi negara dengan geotermal terbesar di dunia, yakni 40 persen dari potensi energi panas bumi dunia.
Meski memiliki potensi yang besar, saat ini pemanfaatan energi panas bumi yang menjadi penyumbang untuk pembangkit listrik masih kurang dari 10 persen.
Adapun pemerintah pada 2025 menargetkan menghasilkan energi listrik dari energi baru terbarukan (EBT) 31 gigawatt.