Diabetes pada Anak, IDAI: Waspadai Penyebabnya

Arsip Foto - Petugas kesehatan melakukan prosedur pemeriksaan kadar gula darah pada pasien. Pemeriksaan gula darah diperlukan untuk mendeteksi kemungkinan terjadi diabetes. Foto: ANTARA

apakabar.co.id, JAKARTA – Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dokter Piprim Basarah Yanuarso menjelaskan ada dua kondisi diabetes yang paling umum, yakni diabetes tipe 1 dan diabetes tipe 2.

Diabetes tipe 1, kata Piprim, berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh, sementara diabetes tipe 2 sebagian besar berhubungan dengan gaya hidup. Adapun diabetes mellitus merupakan kondisi yang ditandai dengan tingginya kadar gula atau glukosa dalam darah secara terus-menerus. Hal itu dapat terjadi pada anak-anak dan remaja.

“Pada anak-anak, diabetes tipe 1 walaupun dia tidak banyak minum pemanis buatan, atau makan karbohidrat biasa saja, dia tidak bisa memetabolisme karbohidrat, jadi perlu suntik insulin,”  ujar dokter Piprim di Jakarta, Kamis (18/7).

Diabetes tipe 1 terjadi karena sistem kekebalan tubuh menyerang sel-sel penghasil insulin di pankreas. Akibatnya produksi insulin menjadi rendah atau bahkan tidak ada.

“Tanpa insulin, glukosa terakumulasi dalam aliran darah. Akibatnya, tubuh tidak dapat menggunakan glukosa untuk menghasilkan energi,” papar dokter Piprim, yang praktik di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.

Sedangkan diabetes tipe 2 terjadi ketika sel-sel tubuh menjadi kurang responsif terhadap upaya insulin untuk mendorong glukosa ke dalam sel. Hal itu dikenal sebagai kondisi dengan sebutan resistensi insulin. Akibatnya, glukosa mulai menumpuk di dalam darah.

Pada orang dengan resistensi insulin, pankreas merespons peningkatan kadar glukosa darah dengan membuat insulin ekstra. Akibatnya, pankreas menjadi kelelahan saat resistensi insulin memburuk.

“Pada diabetes tipe 2, salah satu faktor utamanya karena banyak minum dengan pemanis buatan, terutama high fruktosa syrup. Contohnya mengonsumsi gula sirup yang banyak dipakai di minuman soft drink,” jelasnya.

Ia menambahkan, kebiasaan mengonsumsi makanan dengan indeks glikemik tinggi seperti makanan olahan juga dapat menyebabkan hiperglikemia (kadar gula darah tinggi).

Sejauh ini, ujar dokter Piprim, diabetes tipe 2 lebih banyak terjadi akibat pola hidup tidak sehat. Kendati demikian, hal tersebut masih bisa diperbaiki sesuai dengan derajat keparahannya.

Begitu mengetahui potensi diabetes tipe 2, di fase awal, pasien bisa melakukan kontrol dengan memodifikasi gaya hidup agar lebih sehat.

“Olahraga, mengatur pola makan, kalau sudah remaja bisa dengan intermittent fasting… Intinya gaya hidup yang sehat itu bisa membalikkan diabetes di awal-awal,” paparnya.

Hal lain yang menarik, kata dokter Piprim, kebanyakan anak yang mengalami diabetes tipe 1 umumnya cenderung kurus, sedangkan anak yang menderita diabetes tipe 2 biasanya gemuk atau obesitas.

“Hampir 80 persen anak-anak diabetes tipe 2 adalah obesitas,” tegasnya.

Dokter Piprim mengungkapkan ada pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat produksi insulin pada anak. Hal itu dilakukan untuk mengecek status diabetes yang mungkin dialami anak.

“Ada pemeriksaan C-peptide untuk memeriksa apakah insulinnya masih diproduksi atau tidak. Jadi, anak diabetes C-peptidenya negatif, insulin negatif, berarti tipe 1. Tapi, kalau C-peptidenya masih positif, insulinnya masih ada, dia tipe 2,” ia menjelaskan.

Lebih lanjut, dokter Piprim mengingatkan tentang anak yang didiagnosis mengalami diabetes harus segera mendapat penanganan medis yang tepat. Anak dengan diabetes tipe 1 perlu mendapat terapi insulin.

“Dokter akan mengajarkan cara pemberian obat suntik dan dosisnya,” ujarnya.

Sementara anak dengan diabetes tipe 2 tidak memerlukan injeksi insulin, tetapi harus menjalani perubahan gaya hidup drastis. Dengan demikian kondisinya tidak menjadi kronik dan menimbulkan berbagai komplikasi.

“Pengaturan pola makan dan olahraga diperlukan untuk mengontrol kondisi diabetes tipe 2 pada anak maupun remaja,” tandasnya.

1,193 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Fahriadi Nur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *