apakabar.co.id, JAKARTA – Koalisi Nasional Tolak Geothermal menuntut Kementerian ESDM agar segera menghentikan eksplorasi dan operasi dari proyek-proyek penambangan yang tengah berjalan dan mencabut seluruh izin tambang panas bumi di seluruh Indonesia.
Hal itu didasarkan fakta bahwa investasi tambang panas bumi di Indonesia, tidak hanya mengandalkan kekerasan namun justru memberikan jaminan hukum dan segudang insentif bagi korporasi di satu sisi, dan melenyapkan hak veto serta membuka ruang kriminalisasi bagi warga, di sisi lain.
“Melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 2014 tentang Panas-Bumi, pemerintah mengeluarkan industri tambang panas bumi dari kategori industri tambang. Siasat licik ini bertujuan agar dua-pertiga sasaran tambang panas bumi di kawasan hutan bisa dijadikan lahan investasi industri,” tulis koalisi dalam keterangan yang diterima apakabar.co.id, Kamis (18/7).
Pemerintah bahkan memberikan insentif fiskal berupa tax allowance yang mencakup kegiatan eksploitasi dan eksplorasi. Insentif tax allowance antara lain melalui pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari nilai investasi di dalam bentuk investment allowance. Penyusutan waktu pengembangan panas bumi yang sebelumnya membutuhkan 10 tahun dipercepat menjadi 5 tahun.
“Sehingga besaran yang bisa dikreditkan lebih besar,” ungkap koalisi.
Di saat yang sama, insentif dalam bentuk tax holiday berupa pengurangan PPh badan untuk bidang usaha pembangkit tenaga listrik berbasis EBT termasuk panas bumi juga disediakan pemerintah. Insentif berupa pajak dalam rangka impor atau PDRI yang mencakup Pajak Pertambahan Nilai (PPN), bea masuk, dan PPh 22 impor yang terutang atas barang modal untuk kegiatan usaha panas bumi.
Selain itu, kontrak pengusahaan panas bumi dimana pemerintah mendapatkan setoran sebesar 34% dari penerimaan bersih pengusaha panas bumi juga mendapat insentif, berupa pajak penghasilan yang ditanggung pemerintah PPh DTP yang pemberiannya diatur melalui mekanisme subsidi pada APBN.
Sementara itu, warga dan ruang hidupnya yang terancam tambang panas bumi, justru diperhadapkan pada ancaman kriminalisasi. Salah satunya melalui Pasal 46 dan 74 UU 21/2014.
Pasal 46 menyebutkan, setiap orang dilarang menghalangi atau merintangi pengusahaan panas bumi yang telah memegang Izin Pemanfaatan Langsung atau Izin Panas Bumi, dan telah menyelesaikan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
Sanksi atas pelanggaran tersebut dikemukakan di Pasal 74. Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau merintangi pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung terhadap pemegang izin panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah).
“Situasi di atas, kekerasan negara-korporasi dan jaminan hukum serta insentif untuk industri tambang panas bumi, menempatkan rakyat dan lingkungan untuk memikul risiko sosial dan ekologis dari seluruh proses pengembangan panas bumi,” terang koalisi.
Contoh nyata
Upaya pemerintah menggenjot pengembangan sumber energi dari panas bumi menjadi petaka bagi warga dan lingkungan. Kementerian ESDM bahkan menghasilkan peta 356 prospek tambang panas-bumi di jalur Cincin Api Indonesia yang justru rentan terhadap risiko kebencanaan. Enam puluh empat di antaranya sedang dalam proses penambangan.
Pengembangan tambang panas bumi, selain tak melibatkan warga dalam proses penyusunan kebijakannya, juga menjadi ‘ladang kematian’ bagi warga setempat maupun pekerja tambang panas bumi.
Selain itu, masyarakat perlu tahu bahwa penambangan dan ekstraksi panas-bumi untuk menghasilkan listrik telah terbukti menyebabkan gempa picuan, bukan pada tingkat yang bisa diabaikan bahayanya, tetapi telah mencapai skala kegempaan di atas 3.
Beberapa waktu lalu, JATAM telah memperingatkan lewat hasil riset, dan respons cepat atas kejadian gempa, untuk mempertanyakan kaitan peristiwa gempa di wilayah proyek tambang panas-bumi kepada otoritas kegempaan dan Kementerian ESDM. Lembaga yang paling bertanggung-jawab tersebut tidak sekalipun menjawab, apalagi melakukan penyelidikan tentang risiko bahaya gempa.
“Mereka tidak memproduksi laporan berkala sebagaimana layaknya tanggung-jawab regulator industri di hadapan konstitusi dan hukum yang berlaku,” tulis koalisi.
Di Sorik Marapi, Mandailing Natal, misalya. Selain mengancam sumber air, lahan persawahan, dan pemukiman penduduk, operasi PT SMGP telah menewaskan tujuh orang dan ratusan lainnya terpapar gas beracun H2S.
Di Dieng, Wono Sobo, operasi PT GeoDipa menewaskan dua orang, dan puluhan lainnya keracunan gas H2S akibat kebocoran berulang. Sama sekali tidak ada pemindaian dan pemeriksaan seksama dari pihak Kementerian ESDM sebagai regulator industri panas-bumi, tentang akibat jangka panjang bagi kesehatan dari emisi gas-gas beracun termasuk H2S pada skala rendah.
Di Mataloko, Flores, operasi PT PLN Geothermal memicu tenggelamnya lahan persawahan, mencemari air, munculnya penyakit kulit, dan amblesnya tanah di pemukiman penduduk.
Petaka yang terjadi dimaknai sebagai resistensi warga lokal terhadap proyek tambang panas-bumi yang kemudian dijawab dengan intimidasi dan pengerahan kekerasan negara-korporasi.
“Proteksi habis-habisan terhadap investor dan operator tambang panas-bumi untuk pembangkitan listrik menempuh segala cara untuk menakut-nakuti warga yang hidup di wilayah proyek tambang panas-bumi, termasuk kekerasan fisik, intimidasi, pelecehan, hingga kriminalisasi dialami warga Gunung Talang, Poco Leok, Sokoria, Mataloko, dan Wae Sano, Flores dan Dieng, Wonosobo, Padarincang, Banten, serta sejumlah daerah lainnya di Indonesia,” ungkap koalisi.
Bahkan, tak jarang, warga lokal justru terpaksa mengungsi dari kampung yang merupakan ruang hidupnya, sebagaimana terjadi di Desa Wapsalit, Pulau Buru, Maluku akibat pengeboran panas bumi oleh PT Ormat Geothermal.
Ironisnya, menurut koalisi, persekongkolan jahat dan kekerasan negara-korporasi itu, alih-alih dihentikan, justru digunakan untuk mempercepat pengembangan panas bumi di Indonesia.
Di Gunung Gede Pangrango, pemerintah dan PT Daya Mas Geopatra (anak usaha Sinar Mas) terus memaksa masuk, membuat konflik sosial antar warga, serta menggunakan tangan aparat negara untuk menakut-nakuti warga.
Hal serupa terjadi di Padarincang, Banten, PT Sintesa Banten Geothermal (Sintesa Group) menggunakan aparat kepolisian dan TNI untuk membuka akses masuk ke lokasi pengeboran panas bumi.
“Padahal, perlawanan warga di Gunung Gede Pangrango dan Padarincang, hanya untuk memastikan terjaganya keutuhan air dan menjamin keberlanjutan hutan, tanah-tani dan kehidupan mereka sendiri,” ungkap koalisi.
Ketika industri tambang panas bumi terus mengandalkan kekerasan terorganisir untuk memaksa rakyat menerima kehadiran proyek. Hal itu, menurut koalisi, merupakan konfirmasi bahwa ‘geruduk panas-bumi’ yang sedang berkecamuk saat ini tak ubahnya investasi paksa.
Tuntutan koalisi
Atas dasar itu, koalisi menuntut Kementerian ESDM segera melakukan evaluasi menyeluruh atas seluruh kejahatan industri tambang panas bumi, serta membuka diri untuk audit publik menyeluruh serta penegakan hukum termasuk tanggung-jawab pemulihan kerusakan.
Koalisi juga menuntut Kementerian ESDM dan asosiasi pertambangan termasuk pertambangan panas bumi untuk berhenti melakukan pemasaran sosial dan operasi media untuk menyebar-luaskan citra bahwa tambang panas-bumi untuk pembangkitan listrik adalah baik, rendah karbon, aman bagi lingkungan.
Lebih jauh, koalisi menuntut Kapolri dan Panglima TNI segera menertibkan anggotanya yang menjadi centeng korporasi industri tambang panas bumi, serta memberikan sanksi tegas bagi anggota TNI maupun POLRI yang terbukti dikerahkan untuk menerapkan teror bagi warga yang menolak proyek tambang panas bumi.
Selain itu, koalisi mendesak seluruh lembaga keuangan dan perbankan, mulai dari World Bank, ADB, KfW, serta organisasi-organisasi konservasi internasional yang justru ikut mendorong investasi tambang panas-bumi, agar mengakhiri dukungannya. Selanjutnya menghentikan pendanaan pada proyek panas bumi di Indonesia.
“Terakhir, meminta pembatalan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi yang secara resmi hendak menyesatkan warga-negara Indonesia dengan menyatakan bahwa industri ekstraksi panas-bumi untuk pembangkitan listrik tidak termasuk dalam kegiatan industri pertambangan,” tutup koalisi.