apakabar.co.id, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutus perkara atas pengujian materiil (judicial review) yang diajukan oleh PT Gema Kreasi Perdana (PT GKP). Dalam amar putusannya, MK menyatakan menolak permohonan yang diajukan dengan register perkara nomor 35/PUU-XXI/2023.
MK menyatakan Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU Nomor 1 Tahun 2014 yang mengubah UU Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K) yang diuji oleh PT GKP tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945), tidak diskriminatif, dan telah memberikan kepastian hukum.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyebut pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sangat rentan sehingga harus dilakukan secara hati-hati agar aktivitasnya tidak menimbulkan kerusakan yang bisa membahayakan atau termasuk dalam doktrin abnormally dangerous activity.
MK juga mempertimbangkan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam rangka pembangunan ekonomi yang didasarkan pada prinsip berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan efisiensi berkeadilan sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, perlu penetapan critical natural capital untuk ekosistem tertentu.
Prinsip tersebut bertolak pada strong sustainable development yang tidak menolak Pembangunan ekonomi, tetapi berfungsi sebagai pelindung dan pencegah terjadinya kerusakan bumi dan kepunahan keanekaragaman hayati di Indonesia.
Dalam konteks ini, MK menilai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah memenuhi syarat elemen critically apabila melihat dari kadar pentingnya (degree of importance), maupun kadar keterancamannya (degree of threats).
MK juga menegaskan kata ‘pengecualian’ dalam Pasal 35 huruf k UU PWP3K yang dipersoalkan PT GKP dalam permohonannya tidak dapat dilepaskan dari pemahaman secara komprehensif UU PWP3K, khususnya Pasal 23.
Pasal tersebut menentukan adanya kewajiban memenuhi syarat kumulatif apabila akan dilakukan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya di luar kepentingan yang diprioritaskan untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan.
Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan juga diwajibkan untuk memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan, memerhatikan kemampuan dan kelestarian sistem tata air setempat, dan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan serta memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait.
Menanggapi pertimbangan hukum dan amar putusan MK, salah satu kuasa hukum warga Wawonii, Harimuddin, menyambut baik putusan tersebut yang menolak permohonan PT GKP.
“Kami mengapresiasi keputusan MK untuk menolak seluruh permohonan PT GKP untuk melegalisasi kegiatan pertambangan di pulau-pulau kecil,” ujarnya dalam keterangan yang diterima apakabar, Senin (25/39)
Permohonan tersebut tidak hanya berdampak pada keberlangsungan pulau kecil Wawonii saja, namun seluruh pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia yang berjumlah lebih dari 16 ribu pulau.
“Karenanya, kami berterima kasih kepada MK yang masih menjaga mandat rakyat sebagai penjaga konstitusi”, jelasnya.
Harimuddin menambahkan, putusan MK tersebut seharusnya menjadi pertimbangan bagi Mahkamah Agung untuk mengabulkan permohonan Kasasi warga yang sebelumnya menggugat Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan milik PT GKP.
Selain itu, warga juga sedang mempersiapkan dokumen Peninjauan Kembali (PK) atas Putusan Kasasi terhadap Izin Tambang milik PT GKP yang sebelumnya ditolak pada tingkat Banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar.
Di kesempatan terpisah, mantan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Konawe Kepulauan periode 2014-2019, Sahidin, juga berpendapat serupa.
“Putusan MK ini jelas menjadi kabar bahagia bagi masyarakat pulau kecil Wawonii, terlebih di bulan suci ramadan. Perjuangan bertahun-tahun masyarakat menolak tambang kini menemui titik terang,” ujarnya.
Dengan begitu, kata Sahidin, masyarakat bisa mendapatkan kembali Pulau Wawonii seperti yang dulu, yakni menjadi kawasan perikanan dan pertanian, bukan pertambangan.
Sebagai informasi, PT GKP, perusahaan tambang anak usaha Harita Group yang dimiliki oleh Lim Hariyanto orang terkaya Indonesia ke-6, dalam permohonannya menilai terdapat ambiguitas dalam Pasal 23 ayat (2) soal kata ‘prioritas’ UU PWP3K.
Selain itu, pihaknya juga mempersoalkan ketentuan dalam Pasal 35 huruf k UU PWP3K, khususnya terkait kata ‘apabila’ yang semestinya dipahami bukan sebagai larangan mutlak untuk melakukan kegiatan pertambangan, namun alternatif yang dapat dilakukan selama memenuhi kondisi yang dipersyaratkan, yakni secara teknis, ekologis, sosial dan budaya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan dan merugikan masyarakat sekitar.