Percepatan Penutupan PLTU Batu Bara, Aktivis: Waspadai Solusi Palsu

Ilustrasi - Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di bawah CPEC resmi beroperasi di Pakistan untuk memenuhi permintaan energi dari hampir 4 juta keluarga setempat di Pakistan. Foto: Antara

apakabar.co.id, JAKARTA – Pendiri Indonesian Climate Justice Literacy Firdaus Cahyadi mengingatkan agar publik bersikap kritis terhadap janji Presiden Prabowo Subianto di forum G20 yang berencana mempercepat penutupan PLTU batu bara.

“Kita harus melihat rekam jejak Prabowo Subianto di industri ekstraktif dan juga beberapa pidato yang mengindikasikan arah kebijakan energi Indonesia kedepannya,” ujar Firdaus Cahyadi dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (23/11).

Saat menghadiri forum G20, Presiden Prabowo Subianto, kata Firdaus Cahyadi, menegaskan pemerintahannya akan menghentikan semua pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dan fosil dalam 15 tahun ke depan. Artinya, upaya itu juga cepat dari target sebelumnya yakni tahun 2056.

Menurut Firdaus Cahyadi, target pemenuhan net zero emission bukan hanya menghentikan PLTU batu bara. Namun yang terpenting adalah menggantikan PLTU dengan pembangkit dari energi terbarukan.

“Pertanyaan berikutnya adalah, energi terbarukan seperti apa yang akan menggantikan PLTU batu bara yang hendak dipensiunkan?” tanya Firdaus Cahyadi.

Arah kebijakan sektor energi Prabowo Subianto, imbuh Firdaus Cahyadi, terlihat dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden Indonesia ke-8 beberapa waktu yang lalu.

“Fokus Prabowo adalah swasembada energi,” tegasnya. Celakanya, swasembada energi tersebut berbasiskan energi terbarukan skala besar, di antaranya geothermal (panas bumi) yang masih tetap mengandalkan batu bara.

Konsekuensinya, imbuh Firdaus Cahyadi, pengembangan energi terbarukan skala besar itu rentan terhadap perampasan ruang hidup warga. Di berbagai daerah, pembangunan geothermal justru mendapat perlawanan besar dari warga sekitar.

“Jika pembangunan energi terbarukan justru menggusur warga sekitar, itu sama saja menghancurkan kapasitas masyarakat untuk beradaptasi terhadap krisis iklim,” jelasnya.

Bukan hanya itu, swasembada energi era Prabowo, menurut Firdaus Cahyadi, ternyata masih mengandalkan energi kotor (batu bara). Dengan begitu, penutupan PLTU batu bara tidak serta merta diikuti penghentian operasional tambangnya serta penggunaan produknya.

“Di berbagai kesempatan Prabowo menjelaskan bahwa batu bara perlu diolah menjadi produk energi lain. Ini jelas solusi palsu transisi energi,” ungkap Firdaus Cahyadi.

Penutupan PLTU batu bara, beber Firdaus Cahyadi, mensyaratkan perubahan paradigma dalam melihat transisi energi dan krisis iklim. Hingga sekarang, pemerintah ternyata masih menggunakan paradigma usang dalam transisi energi.

“Transisi energi hanya dilihat dari kaca mata ekonomi yang merupakan peluang baru untuk mengakumulasikan laba,” katanya.

Dengan masih digunakannya paradigma lama tersebut, Firdaus Cahyadi menilai membuat aspek keadilan sosial dan ekologi telah diabaikan dalam agenda transisi energi.

Jika penutupan PLTU batu bara masih berpijak pada paradigma usang yang hanya akan mereproduksi solusi palsu transisi energi, hal tersebut justru menimbulkan persoalan baru.

“Ketika krisis iklim diakibatkan oleh paradigma usang dalam pembangunan, sangat tidak mungkin kita menggunakan paradigma yang sama dalam menyelesaikan persoalan krisis tersebut,” tandasnya.

558 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *