apakabar.co.id, JAKARTA – Kelompok Kerja Pendidikan dan Pelatihan Peradilan (Working Group in Judicial Education and Training/ WG JET) dari Dewan Ketua Hakim ASEAN (Council of ASEAN Chief Justices/CACJ) melalui Judicial Training Center (JTC) Mahkamah Agung RI menggelar program unik bertajuk Asia Pacific Judicial Convening on Environmental and Climate Law Adjudication.
Acara tersebut dihadiri oleh 20 hakim di Indonesia dan 30 hakim di kawasan Asia yang berpengalaman dalam mengadili perkara lingkungan dan iklim, serta akademisi dan ilmuwan iklim.
Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Raynaldo G. Sembiring mengungkapkan kolaborasi untuk mencapai keadilan lingkungan berlangsung mulai 2 Desember 2024 di Ciawi, Bogor.
Program berdurasi lima hari itu, ungkap Raynaldo merupakan upaya kolektif yang melibatkan ICEL, dan ClientEarth, sebuah organisasi nirlaba yang memanfaatkan hukum untuk menciptakan perubahan lingkungan dan Bumi.
Setelah sukses diselenggarakan pertama kali pada tahun 2023 lalu, program kedua ini mempertemukan para hakim terkemuka untuk mendiskusikan perkembangan terbaru dalam ajudikasi hukum lingkungan dan iklim.
Tujuannya sangat strategis, ujar Raynaldo, yakni meningkatkan kemampuan para hakim dalam menangani sengketa lingkungan dan iklim melalui pendekatan interdisipliner terkini.
“Acara Asia Pacific Judicial Convening on Environmental and Climate Law Adjudication ini merupakan forum strategis untuk memastikan kami bekerja mencapai keadilan antargenerasi, serta mendorong masa depan berkelanjutan yang adil bagi semua,” papar Raynaldo dalam keterangannya di Jakarta, Senin (2/11).
Pentingnya peran hukum untuk mencapai keadilan iklim dan lingkungan melalui kerangka kerja CACJ WG-JET 2020-2025, tutur Raynaldo, juga diperlukan untuk memperkuat pemahaman dan implementasi regulasi yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan.
Ini penting demi memastikan bahwa kebijakan yang diambil bisa diimplementasikan secara efektif di tingkat nasional dan regional, serta menjawab tantangan yang muncul akibat perubahan iklim.
Raynaldo menekankan bahwa pengadilan memiliki peran kunci dalam mempromosikan keadilan lingkungan. “Dalam menangani krisis iklim, pengadilan memainkan peran penting untuk mempromosikan keadilan dengan mengaitkan HAM, keberlanjutan, dan restorasi lingkungan,” terangnya.
Sementara itu, dokumen ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint 2025 mencakup berbagai inisiatif untuk menciptakan komunitas yang lebih adaptif terhadap perubahan iklim.
Salah satu poin penting dalam blueprint tersebut adalah Action Line D.3 tentang A Climate Adaptive ASEAN with Enhanced Institutional and Human Capacity to Adapt to Climate Change Impacts.
Poin itu, ungkap Raynaldo, berfokus pada pengembangan kapasitas institusi dan manusia dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Mengacu pada cetak biru tersebut, inisiatif yang diusulkan oleh JTC, ICEL, dan ClientEarth sejalan dengan komitmen kawasan untuk membangun masyarakat yang adaptif terhadap perubahan iklim.
Dalam konteks itu, papar Raynaldo, upaya meningkatkan pemahaman dan penanganan isu lingkungan serta perubahan iklim di kawasan Asia-Pasifik menjadi hal yang sangat krusial.
Melalui program tersebut, para hakim dibekali kemampuan untuk memahami perkembangan hukum lingkungan dan iklim global terkini. Program juga mengintegrasikan bukti ilmiah iklim dalam putusan hukum, dan mengembangkan pendekatan komprehensif dalam menyelesaikan isu lingkungan.
Tak hanya itu, program ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kapasitas mengadili para hakim terkait isu lingkungan.
Kepala Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI Bambang Hery Mulyono menjelaskan program tersebut sangat penting bagi para hakim untuk bisa mengikuti perkembangan hukum terkait isu lingkungan dan dampak perubahan iklim terkini.
“Kami berharap pertemuan ini bisa membantu dalam menginterpretasikan prinsip-prinsip hukum lingkungan,” kata Hakim Hery Mulyono.
Selain itu, kegiatan tersebut juga menyediakan platform bagi para hakim untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman, memupuk lingkungan yang kolaboratif untuk pertukaran wawasan dan praktik-praktik terbaik (best practices) guna mendukung peradilan yang efektif atas sengketa terkait.
“Kami juga mendorong para peserta untuk dapat belajar bagaimana memperlakukan ilmu pengetahuan iklim sebagai bukti, serta dalam menyusun argumen hukum yang sah serta mencerminkan konteks lebih luas dari keputusan yang diambil,” imbuh Hakim Hery Mulyono.
Sementara itu, Legal Consultant Energy Systems, Asia, ClientEarth, Elizabeth Wu menuturkan, kegiatan mengumpulkan para hakim dari berbagai negara merupakan upaya strategis dan kolektif kawasan Asia Pasifik menuju keadilan lingkungan, melalui peningkatan kapasitas hukum dan pendidikan.
Pertemuan itu menandakan babak baru dalam perjuangan melawan krisis iklim, di mana hukum, sains, dan komitmen bersama berpadu untuk melindungi planet Bumi.
“Ini sebuah kehormatan dan keistimewaan untuk berkolaborasi kembali dengan Mahkamah Agung Indonesia dan ICEL,” ujarnya.
Elizabeth Wu berharap wadah itu bisa terus mendorong pertukaran pengetahuan dan praktik terbaik, sekaligus mendukung perlindungan lingkungan dan iklim.