Oleh: Didin S Damanhuri*
Serangan Israel atas instalasi nuklir ke Iran, meski tidak secara terbuka, sebenarnya secara diam-diam didukung Amerika Serikat (AS), setidaknya atas sepengetahuan Presiden Trump. Bukan hanya Israel tidak berhasil menghancurkan instalasi nuklir Iran tersebut, malahan serangan balasan Iran dengan ratusaan rudal ke Israel, sebagian besar telah merusak secara signifikan infrastruktur Israel baik militer maupun sipil.
Dengan begitu, akhirnya Netanyahu berterus terang meminta bantuan Trump untuk menghancurkan instalasi nuklir Iran. Serangan pertama AS terhadap instalasi Nuklir Iran kurang berhasil. Baru setelah setelah serangan AS berikutnya, Bangunan-bangunan dari situs nuklir Iran tersebut rusak parah. Para pengamat banyak berpendapat, instalasi nuklir di banyak tempat di Iran, konon masih tetap aman.
Tulisan ini akan melihat dampak terhadap perekonomian global, khususnya perekonomian nasional Indonesia. Apalagi serangan AS terhadap Iran tersebut diangggap telah melanggar kedaulatan sebuah negara. Lebih parah lagi karena menyangkut serangan terhadap instalasi Nuklir Iran yang oleh Badan Tenaga Atom Internasional pun dinilai, bahwa instalasi nuklir Iran tersebut bukan untuk tujuan militer.
Oleh karena itu, dapat dipahami kecaman atas serangan AS terhadap Iran bukan hanya berasal dari negara-negara yang prihatin atas nasib Palestina di Gaza dimana Iran adalah negara yang sangat konsisten membelanya. Bahkan PBB serta berbagai warga dan negara-negara di dunia yang prihatin atas terbunuhnya lebih 55.000 warga Palestina di Gaza, menganggap bahwa Israel harus bertanggungjawab atas kejahatan perang.
Baca juga: Risiko Penutupan Selat Hormuz dan Peran Strategis RI di Tengah Krisis
Dengan serangan balasan Iran tersebut setidaknya, untuk sementara, sudah menurunkan nafsu Israel untuk membantai warga Palestina di Gaza yang lebih banyak lagi. Namun, apapun latar belakang politik terjadinya eskalasi perang yang meluas di Timur Tengah akibat setrangan AS terhadap Iran tersebut, telah menimbulkan ketidakpastian ekonomi global, disrupsi pasok, goncangan pasar keuangan, inflasi yang meningkat tajam, harga komoditas (Migas, CPO, Tambang-tambang lain) cenderung melambung.
Apalagi kalau Iran akhirnya menutup Selat Hormuz yang merupakan jalur penting lalu lintas 20% perdagangan minyak dunia. Dengan dua kali serangan AS terhadap Iran disusul serangan balasan Iran terhadap pangkalan militer AS di Qatar yang merupakan pangkalan terbesar di Timur Tengah, antara lain harga minyak brent melonjak 5,7% menjadi 81,40 USD/barel. Kalau Iran menutup Selat Hormuz, diperkirakan harga minyak bisa mencapai bahkan bisa melebihi 130 USD/barel.
Dampak lebih lanjut adalah mengerek inflasi, diperkirakan inflasi AS naik ke angka 6% (sekarang sekitar 3%). Tentu saja, inflasi di Indonesia pun akan ikut terkerek naik ke arah 8%. Dengan daya beli yang sudah tertekan selama ini, maka akan makin memerosotkan daya beli masyarakat.
Dengan konstribusi Konsumsi terhadap PDB sekitar 57%, maka pertumbuhan ekonomi triwulan I-2025 yang sudah menurun jadi 4,87% (t-on-Y) akan lebih melambat lagi. Maka dengan investasi dan belanja pemerintah yang juga sudah menurun, maka proyeksi ekonomi Indonesia tahun 2025 akan ke arah 4,6% atau kurang.
Baca juga: Eskalasi Trump di Iran: Ancaman Serius terhadap Perdamaian Global
Dampak lanjutannya, karena investor akan lebih memilih aset lebih aman (seperti Dollar AS dan emas), maka nilai tukar rupiah per USD bisa menembus Rp17.000. Dan subsidi energi dan subsidi lainnya (antara lain bansos) tentu saja akan meningkat tajam. Dengan demikian, akan memaksa Pemerintah untuk menaikan utang luar Negeri. Utang LN total Pemerintah per januari 2025 jadi Rp8.909 triliun (40% PDB).
Sementara utang luar negeri BUMN dan swasta, kurang dipublikasikan. Padahal menurut anggota DPR Fauzi Amro, utang BUMN hingga tahun 2022 saja sudah mencapai Rp8.350 triliun. Juga utang total swasta triwulan I-2025, mencapai Rp3.226 triliun (kurs Rp16.500).
Dengan begitu, utang luar negeri Indonesia keseluruhan telah melebihi Rp20.000 triliun dan dengan PDB menurut harga yang berlaku tahun 2024 Rp22.139 triliun. Oleh karena itu, rasio utang luar negeri total sudah mencapai 80% PDB.
Hingga perkembangan terakhir, untungnya dengan tekanan dari Trump khususnya terhadap Israel dan karena Iran merasa permintaan genjatan senjata berasal dari AS, maka Iran pun akhirnya menyetujui genjatan senjata tersebut. Maka untuk sementara, ada deeskalasi (mungkin dalam waktu singkat). Dengan demikian, harga minyak yang naik ke 90 USD/barel, menurun Kembali, Iran belum jadi menutup Selat Hormuz dan negara besar (AS, Eropa, Rusia dan China) mendorong deeskalasi.
Baca juga: Bila AS Menyerang Iran, Apa Selanjutnya?
Dampaknya terhadap Indonesia, untuk sementara: Harga BBM dan kurs rupiah terhadap USD dapat dikendalikan dan masih sesuai dengan asumsi makro APBN, inflasi masih dapat terkendali, pasar saham pulih kembali sehingga pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5% atau lebih.
Pemerintah Indonesia sebaiknya terus memitigasi jika perkebangan perang terjadi eskalasi kembali. Antara lain misalnya Israel menyerang warga Gaza kembali yang akan disusul oleh serangan Iran terhadap Israel dan AS pun kembali akan menyerang Iran. Kemudian Iran akan menutup Selat Hormuz. Maka risiko geopolitik dan geoekonomi akan mengalami ketidakpastian yang sangat tinggi dengan ancaman perang yang sangat mengerikan (ancaman Perang Dunia III dan Perang Nuklir).
Tentu upaya Pemerintah Indonesia, bukan hanya harus memitigasi dampak ekonomi yang diikuti kebijakan yang kompatibel, namun juga harus aktif bersama negara-negara pecinta damai untuk mengupayakan perdamaian dunia semaksimal mungkin. Semoga.
*) Pendiri dan Ekonom Senior INDEF